Kebijakan Tataruang Wilayah. Pilihan-pilihan Kebijakan Untuk Rekonsiliasi

130 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Perbedaan basis legitimasi klaim parapihak yag terdiri dari status tata kelola, tata kuasa dan tata perijinan pada objek klaim tanah dan SDA yang sama berimplikasi pada situasi sifat sistem penguasaan tanah dan SDA memiliki sifat-sifat kepentingan yang saling bersilangan web of intersecting interests satu sama lain yang pada akhirnya melahirkan konflik atas penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS, mulai yang bersifat laten sampai yang termanifestasikan. 2. Pemetaan posisi yang dikaitkan dengan bundle of rights pada sistem penguasaan tanah dan SDA menempatkan masyarakat lokal dan Pemda sebagai pemilik Owner, UPTD KPKHP GS sebagai pengelola tetap Proprietor dan transmigrasi sebagai pengunjung yang dizinkan authorized entrant, kondisi ini dapat memberi pengaruh resistensi bagi masyarakat lokal dan Pemda atas pilihan kebijakan mengakomodir parapihak melalui kebijakan yang selama ini tersdeia berupa HTR, KHm dan HD dalam wilayah KPHP GS, dimana keseluruhan kebijakan tersebut sesungguhnya mengurangi hak parapihak dari sudut pandang sekumpulan hak bundle of rights pada sistem penguasaaan tanah dan SDA. 3. Persepsi parapihak mengenai makna tenure security merupakan gabungan dari konstruksi normatif dari sebuah sistem hukum dan persepsi tenure security yang bersifat lokal, praktis, dan kontekstual. Dari sudut pandang pendekatan Institutionalist Tenure Security terdapat peluang titik temu parapihak dalam memandang kepastian tenurial atas klaim penguasaan tanah dan SDA yang pada akhirnya dapat menjadi pintu masuk pada pelaksanaan penataan tenurial yang partisipatif. 4. Tipologi permasalahan sosial dalam wilayah KPHP GS adalah konflik tenurial berat, yang dicirikan kuatnya klaim penguasaan tanah dan SDA dari parapihak dengan bukti fisik yang jelas, sekumpulan hak yang melekat pada parapihak yang diakui baik secara norma yang hidup dalam masyarakat 131 mupun secara hukum positif, serta masalah keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran masayarakat beraktifitas dalam kawasan hutan.

7.2 Saran

1. UPTD KPHP GS segera melakukan tatabatas dan mendelienasi tanah dan SDA yang dikuasai parapihak dengan penataan ruang mikro KPH sebagai berikut: 1 penguasaan tanah dan SDA di atas 20 Tahun dijadikan sebagai wilayah pengelolaan khusus KPH dan disesuaikan dengan eksesting wilayah tersebut dengan pengelola penuh oleh pihak yang membuktikan klaim kepemilikannya, 2 Penguasaaan tanah dan SDA dibawah 20 tahun diarahkan mengikuti pola HKm, 3 pemukiman diusulkan untuk dirubah status fungsi kawasan hutannya menadi APL, dengan menggunakan mekanisme pengukuhan kawasan hutan berdasarkan Permenhut Nomor P50Menhut-II2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan 2. Perlu adanya terobosan kebijakan yang dapat mengakomodir klaim penguasaan tanah dan SDA oleh masyarakat akibat keterlanjuran keberadaan usaha dan kebun masyarakat dalam wilayah KPH tanpa harus merubah pola pengelolaan yang sudah ada, sehingga Kementrian Kehutanan dapat mempertimbangkan penyempurnaan Permenhut P.372007 tentang Hutan Kemasyarakatan HKm khususnya pasal 17, dimana sebaiknya jenis-jenis tanaman untuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lebih fleksibel, sehingga program HKm bisa berjalan sesuai kemauan masyarakat atas jenis tanaman yang sudah terlanjur diusahakan. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dapat memulai proses penyelesaian sengketa lahan usaha II, antara masyarakat lokal dan masyarakat transmigrasi dengan mempertimbangkan opsi-opsi penyelesaian sengketa yang berasal dari masyarakat yakni: 1 memfasilitasi masyarakat transmigrasi memperoleh sertifikat tanah atas lahan R yang sudah diolah selama ini sebagai pengganti lahan usaha II yang disengketakan. 2 membayar ganti rugi masyarakat transmigrasi atas lahan usaha II yang disengketakan dan kemudian sertifikatnya ditarik oleh pemerintah, dan membiarkan masyarakat lokal tetap mengelola lahan tersebut.