Perumusan Masalah Structuring Forest Tenure development of Forest Management Unit (FMU), (Case in KPHP Model Gunung Sinopa North Molucas).

3 dampak dari kebijakan pemerintah ini, sehingga klaim tanah dan SDA dalam kawasan hutan oleh masyarakat menjadi tidak pasti dan berpotensi diklaim sebagai hutan negara oleh pemerintah. Wilayah KPH umumnya berada pada areal yang tidak dibebani hak dan cenderung open access dan berpotensi menimbulkan konflik di dalamnya, hal ini sangat dimungkinkan pada kawasan hutan di luar Pulau Jawa, di mana institusi lokal mengakui siapa yang membuka hutan pertama kali maka dialah pemiliknya, sehingga lahan-lahan usaha ladang tersebut menjadi hak milik peladang secara de facto Nugroho 2011, sehingga menjadi sangat penting adanya suatu penataan tenurial dalam wilayah KPH. Pada situasi seperti ini keberadaan pembangunan KPH menjadi solusi strategis yang diharapkan dapat memfasilitasi penataan tenurial kawasan hutan dalam wilayahnya. Hubungan antara kepastian tenurial dengan penyelesaian konflik adalah tesis yang sangat populer dalam berbagai diskursus akademik, pembangunan dan gerakan sosial Safitri 2006. Kepastian tenurial tenure security merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik tenurial, oleh karena itu penelitian tentang penataan kepastian tenurial atas tanah dan sumber daya alam yang ada dalam wilayah KPH sangat diperlukan.

2.2 Perumusan Masalah

Sering kali pada objek yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh beberapa pihak. Inilah yang kemudian menyebabkan mengapa konsep tenurial ini seringkali dijelaskan dengan prinsip “bundle of rights” Afiff 2005. Schlager dan Ostrom 1992 menyatakan bahwa hak-hak dalam hak kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut: 1 Hak atas akses rights of access: adalah hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu. 2 Hak pemanfaatan rights of withdrawal: adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya. 4 3 Hak pengelolaan rights of management: adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi. 4 Hak pembatasan rights of exclusion: adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses ini dari seseorang ke orang lainnya atau kelompok lain. 5 Hak memindahtangankan rights of alienation: adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Semakin banyak kumpulan hak-hak bundle of rigths tersebut dimiliki oleh seseorang atau kelompok, semakin sempurna hak kepemilikannya Alston Muller 2008, diacu dalam Nugroho 2011. Ketidakpastian dalam klaim tanah dan SDA dalam kawasan hutan sering diakibatkan karena pada areal yang sama terdapat dua legitimasi klaim, yakni secara de jure dan de facto. Afiff 2005 mengemukakan bahwa klaim secara de jure berarti kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh pemerintah, contohnya pemberian izin pemanfaatan hutan oleh pemerintah kepada pihak ketiga atau penguasaan kawasan hutan di Indonesia oleh Negara. Sedangkan istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku, berdasarkan hukum atau aturan yang telah dipraktekkan oleh masyarakat selama ini. Ellsworth 2002 menjabarkan ada 4 empat aliran yang berkembang saat ini dalam menjawab persoalan yang terkait dengan tenure security yakni: 1 Property Rights; 2 Agrarian Structure Traditions; 3 Common Property Advocates; dan 4 Institutionalist. Aliran hak-hak Property Property Rights memahami hak-hak properti sebagai kepemilikan properti secara individu, privat, yang dapat secara bebas diperdagangkan. Aliran ini menekankan bahwa ketersediaan sertifikat tanah secara individual atau perorangan adalah prasyarat penting untuk pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, kepemilikan individual adalah cara yang terbaik untuk mendorong proses produksi secara lebih efisien. Aliran Agrarian Structure Traditions Ketimpangan Struktur Agraria banyak mempersoalkan dampak dari ketimpangan yang ditimbulkan dari adanya aset yang diperdagangkan. Kelompok ini melihat persoalan tenure security lebih 5 luas dari sekedar sertifikasi, yaitu sangat terkait dengan political will kemauan politik dari penguasa untuk melindungi kelompok miskin serta kelompok menengah ekonomi kecil dari ancaman dampak pasar bebas. Kelompok ini tetap berpendapat land reform adalah strategi yang paling penting untuk dilakukan dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Aliran Common Property Advocates Advokasi Hak Properti Masyarakat Adat mengangkat pentingnya pengakuan dan dukungan untuk hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam yang secara turun temurun yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pendukung aliran ini mengemukakan bahwa tanah-tanah ulayat seperti ini penting untuk tidak diprivatisasi sebab tanah-tanah seperti ini adalah katup penyelamat untuk kelompok masyarakat miskin terutama di saat-saat darurat. Walaupun penganut aliran ini setuju dengan pendukung aliran Property Rights, namun mereka tidak setuju dengan pendekatan sertifikasi individual untuk tanah-tanah komunal sebagai jalan keluarnya. Bahkan menurut mereka proyek- proyek sertifikasi seperti ini dapat berdampak pada menurunnya keadilan dan memperbesar jurang ketimpangan sosial dalam masyarakat. Aliran Institutionalist Institusionalis mengajak kita untuk memperhatikan bagaimana pengaruh dari makro politik ekonomi terhadap rejim-rejim properti yang ada, selanjutnya akan menentukan apakah muncul kepastian hukum atau tidak untuk mereka yang mengklaim hak atas suatu properti seperti tanah, misalnya. Pendekatan ini menurut penuturan Mearns 2001, diacu dalam Ellsworth 2002 sebuah perspektif alternatif yang pandangannya dimulai dari melihat politik atas akses dan kontrol atas sumber alam seperti tanah diantara beragam aktor sosial, dan perubahan lingkungan dilihat sebagai hasil negosiasi dan kontestasi antar aktor tersebut yang masing-masing mungkin punya prioritas yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber alam tersebut. Menurut pandangan institusionalis rejim-rejim properti selalu dalam kondisi berubah untuk menunjukkan bahwa hal itu muncul dari hasil negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang ada dalam masyarakat yang punya nilai yang selalu berubah seperti halnya juga tarik menarik kekuasaan yang selalu berubah-ubah dalam masyarakat itu. Aliran ini melihat status penguasaan sumber daya alam dipandang sebagai relasi sosial dari tiga pihak: pihak yang memiliki 6 berbagai bentuk hak, pihak yang dilarang untuk melanggar hak-hak tersebut dan pihak biasanya pemerintah atau pengadilan yang menjamin hak-hak tersebut dan berkewajiban untuk melarang Afiff 2005. Ellsworth 2002 faktor-faktor yang mempengaruhi relasi ketiga pihak tersebut adalah: 1 Sejarah kekuasaan, untuk mengetahui perubahan status kawasan dalam konteks jenis kepemilikan property right, peran dan fungsi parapihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam SDA; 2 Demografi, untuk melihat cakupan area dimana institusi yang dibangun akan memberikan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung; 3 Budaya, untuk mengetahui sejauh mana unsur-unsur budaya mempengaruhi proses pembentukan institusi pengelolaan SDA; 4 Organisasi sosial dari masyarakat, sistem nilai dan penetapan harga-harga secara relatif mesti diperhatikan untuk melihat bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi relasi diantara ke tiga pihak tersebut dalam rejim hukum dan dalam menjelaskan bagaimana suatu jenis sumber daya hutan, air, tanah, komoditi di kelola pada suatu masa tertentu. Penelitian ini mencoba menghubungkan konflik tenurial atas tanah dan SDA dalam kawasan hutan dengan KPH sebagai suatu institusi pengelola hutan di tingkat tapak. Diharapkan keberadaan institusi KPH dapat lebih memahami bagaimana seharusnya KPH dapat menata relasi sosial antara para pihak dalam wilayah KPH terkait dengan tenurial. Untuk dapat menganalisis peran institusi KPH dalam menata tenurial kawasan hutan maka penelitian ini menggunakan pendekatan Institutionalist Tenure Security, pendekatan ini dipilih karena persoalan utama terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal 3 di Wilayah KPHP Model Gunung Sinopa adalah kondisi ketidaksamaan hak dan akses atas tanah dan sumber daya alam tenure insecurity. Penataan kepastian tenurial dapat dimediasi dan difasilitasi oleh institusi KPH sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi hutan di tingkat tapak, baik kondisi sumber daya alam maupun kondisi sosial budaya masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan. Institusi KPH memiliki kapasitas untuk menentukan alokasi sumber daya hutan dengan tepat, berkeadilan, dan berimplikasi minimum 3 Yang dimaksud dengan masyarakat lokal di sini adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dan atau ekosistem hutan, tetapi tidak mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat DKN 2011a. 7 konflik. Dengan demikian institusi KPH merupakan lembaga yang secara sosial politik mendapat legitimasi dari masyarakat dengan kewenangan teknis dan fungsi dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak namun mempunyai posisi strategis dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara adil dan aman Kartodihardjo et al. 2011. Pada posisi inilah peran institusi KPH dapat memetakan persoalan di lapangan dengan sejelas mungkin, kondisi de facto sangat penting untuk diketahui karena kehidupan sehari-hari suatu masyarakat komunitas berlangsung dalam kondisi de facto ini Afiff 2005, yang jika diabaikan oleh negara maupun oleh mereka yang memegang hak de jure, dapat memunculkan konflik. Oleh karena itu institusi KPH harus mampu memahami konflik-konflik yang terjadi mulai dari proses konflik mencakup tahapan potensi konflik conditional, pra-konflik monadic, konflik diadic, dan sengketa Pasya Sirait 2011. Institusi KPH harus memahami juga bahwa setiap aktor yang mewakili kepentingan- kepentingannya memiliki gaya dan sikap yang beragam terhadap konflik yang sedang dihadapinya, mulai dari sikap menghindar, akomodatif, kompetitif, kompromistis hingga kolaboratif dimana terdapat keseimbangan kekuatan. Gaya dan sikap terhadap konflik ini yang akan menentukan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa alternative dispute resolution yang mencakup ajukasi ajucation, arbitrasi arbitration, mediasi mediation, negosiasi negotiation, atau tanpa bantuan pihak ketiga yaitu dengan paksaan coercion, penaklukan conquest, penghindaran avoidance, dan pembiaran lumpingit Nader 1978, diacu dalam DKN 2011b. Berdasarkan kerangka teori dan perumusan masalah yang diuraikan di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan sebagai berikut: 1 Bagaimana potensi konflik tenurial kawasan hutan di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa? 2 Bagaimana sekumpulan hak bundle of rights dalam sistem tenurial atas tanah dan SDA yang diklaim oleh parapihak di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa? 3 Bagaimana keamanan tenurial atas tanah dan SDA menurut persepsi parapihak yang memiliki klaim dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa? 8 4 Bagaimana masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa?

1.3 Tujuan Penelitian