Potensi Konflik Masyarakat Lokal dengan Masyarakat Transmigrasi
83 transmigrasi. Lahan usaha II tersebut sudah diterbitkan sertifikat hak milik atas
nama tiap-tiap kepala keluarga masyarakat transmigrasi. Dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA , sertifikat adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah dan
hak atas tanggungan yang sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Hasil observasi terhadap obyek tanah lahan usaha II yang berada dalam
wilayah KPHP GS secara de facto dikuasai dan diolah oleh masyarakat lokal. Umumnya tanaman yang diusahakan oleh masyarakat lokal adalah kelapa, kakao
dan pala. Pada saat penelitian dilaksanakan keseluruhan tanaman yang diusahakan masyarakat lokal pada lahan usaha II tersebut sudah berproduksi dan menjadi
penopang kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang menguasai dan mengolah tanah dan SDA tersebut.
Affif 2005 adanya dua sifat kepemilikan secara de jure dan de facto memunculkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas tanah ataupun
sumber-sumber alam. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan Pemkab Halmahera Tengah bapak Fehby Alting, SIP., MSi.
“ Kalau konflik masyarakat ini dibawa ke ranah hukum maka masyarakat lokal kita juga
mengalami kerepotan karena mereka mengelola lahan yang sudah disertifikat atas nama orang lain, selain itu memang harus diakui bahwa sampai saat ini
pembagian lahan usaha II mengalami ketidakjelasan lokasi.” Sedangkan wawancara dengan Zain Asraruddin Staf BPN Kabupaten Halmahera Tengah:
“Harus ditelusuri mengapa ada masyarakat yang mengelola lahan usaha II, karena BPN tidak mungkin menerbitkan sertifikat kalau di situ ada lahan yang diolah
masyarakat. Pengukuran lahan untuk sertifikat harus jelas siapa pemilik dan persetujuan pemilik lain yang berbatasan. Dan khusus untuk transmigrasi sudah
ada kerja sama dan BPN mengukur tanah sesuai nama dan lokasi yang disampaikan pihak Departemen Transmigrasi. Pendapat bapak Umar Assegaf
Kabid Transmigrasi Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Halmahera Tengah:
“Kalau ada yang bilang lokasi lahan II adalah milik masyarakat maka saya sangsi, karena areal itu sudah dibuat tataruang untuk transmigrasi sesuai daya
tampung, dan merupakan satu kesatuan areal yang terdiri dari Lahan pemukiman, lahan usaha I dan lahan usaha II, jadi dengan demikian boleh dikatakan
masyarakat lokal mengokupasi lahan usaha II.
84 Berdasarkan uraian di atas potensi konflik antara masyarakat lokal dengan
masyarakat transmigrasi dalam wilayah KPHP GS diakibatkan oleh perbedaan dasar legitimasi, dimana masyarakat lokal mengklaim penguasaan tanah dan SDA
secara de facto dan masyarakat transmigrasi mengklaim penguasanaan tanah secara de jure. Potensi konflik yang terus dibiarkan oleh pemerintah seperti ini
hanya menyimpan bom waktu sebagaimana diungkapkan oleh masyarakat transmigrasi Bapak Endang Supriadi 41 tahun:
“Masyarakat transmigrasi setuju saja atas pilihan penyelesaian sengketa yang penting ada penyelesaian yang jelas.
Karena kami tidak mau hal ini menjadi bom waktu, dikemudian hari “.
Peristiwa-peristiwa di atas menggambarkan dengan jelas bahwa konflik antara masyarakat lokal dengan transmigrasi sudah pada konflik yang
termanifestasikan dan memerlukan penanganan yang tepat, guna menyelesaikan
konflik tersebut. Jenis konflik ini dikategorikan konflik terbuka, Fisher et al.
2001 mengemukakan bahwa pada dasarnya konflik merupakan hubungan antara berbagai sasaran dengan perilaku yang tidak sejalan, sehingga terdapat beberapa
jenis konflik diantaranya jenis konflik terbuka yakni konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab
dan berbagai efeknya.
5.2 Posisi Kepemilikan Parapihak dikaitkan dengan Sekumpulan Hak Bundle of Rights pada Sistem Penguasaan Tanah dan SDA Dalam
Wilayah KPHP GS.
Sering kali pada objek yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang atau
kelompok yang sama. Inilah yang kemudian menyebabkan mengapa konsep tenurial penguasaan tanah dan SDA ini seringkali dijelaskan dengan prinsip
“bundle of rights” Affif 2005, hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini
bersifat multidimensi dan berlapis-lapis. Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau
sesuatu sumber daya alam yang sama Emila Suwito 2006.
85