Makna dan Tindakan KeamananKepastian Tenurial KPHP

102 Sinopa awalnya harus ditatabatas terlebih dahulu dan membuat batas yang jelas pada sisi luar kebun yang digarap masyarakat, sehingga masyarakat sudah tidak diperkenankan merambah lebih lanjut terhadap kawasan hutan yang tersisa. Konsep pelibatan masyarakat dalam pengelolaan wilayah KPHP Gunung Sinopa dengan pola HKm dan Hutan Desa diharapkan dapat menimbulkan rasa bertanggung jawab masyarakat dalam bersama-sama mengelola hutan dengan pemerintah. Menurut pihak Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara: KeamananKepastian tenurial tenure secuirity pada KPHP GS lebih terjamin jika kepastian klaim itu dilakukan bersama-sama masyarakat dengan saling mengakui. Masyarakat diakui keberadaannya dan pemerintah diakui oleh masyarakat sebagai pengatur kawasan hutan, sedangkan menurut Anggota DPRD Provinsi Malut: sebaiknya menghidupkan kelembagaan kesulatanan Ternate dan Kesultanan Tidore, yang memiliki wilayah kekuasaan sampai dengan lokasi wilayah KPHP GS. Kelembagaan kesultanan seperti Kiemalaha dan Sangaji yang berada ditengah- tengah masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mensosialisasikan program pemerintah kepada masyarakat, karena tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kelembagaan kesultanan ini cukup tinggi, apalagi struktur kelembagaan ini menguasai hutan dan laut daratan dan lautan. Berdasarkan persepsi yang diungkapkan calon KKPH yang terkait dengan kemanankepastian tenurial KPHP GS di atas, lebih ke arah konstruksi normatif dari sebuah sistem hukum yang dikaitkan dengan keamanankepastian tenurial, sebagaimana diungkapkan bahwa kepastian tenurial KPHP GS dapat terjamin jika adanya tatabatas yang jelas pada wilayah KPHP GS dan mengakomodir masyarakat yang ada dalamnya dengan program HTR, HKm dan HD sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Dari ungkapan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara dan salah satu Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara Komisi II, mempersepsikan makna kemanankepastian tenurial bersifat lokal, praktis, plural dan kontekstual Safitri 2006. Keamanankepastian tenurial lebih pasti jika melibatkan semua unsur mulai dari pemerintah, masyarakat, sosial budaya yang masih hidup dalam masyarakat dan sampai pada perangkat kesultanan yang dianggap efektif untuk memberi pemahaman suatu 103 program pemerintah kepada masyarakat. Selama terpenuhinya unsur-unsur persepsi individual tentang kepemilikan atas tanah atau sebuah sumber daya secara langgeng, bebas dari kendali atau intervensi pihak lain, dan memungkinkan orang yang bersangkutan memperoleh keuntungan atas tanah dan sumber daya tersebut serta mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau mengalihkannya kepada orang lain. Pendekatan yang digunakan pihak yang terkait dengan keamanankepastian tenurial KPHP GS pada level Provinsi Maluku Utara menggunakan pendekatan Institutionalist Tenure Security ITS, hal ini tercermin dari pengakuan parapihak di tingkat Provinsi Maluku Utara bahwasa akses dan kontrol terhadap tanah dan SDA berada pada beragam aktor lainnya seperti PEMDA, masyarakat lokal, dan masyarakat transmigrasi. Kesepakatan pengelolaan tanah dan SDA yang ada dalam wilayah KPHP GS dapat dinegoisasikan sehingga masing-masing pihak mendapatkan jaminan keamanankepastian tenurial dari konstruksi normatif sebuah sistem hukum dan persepsi subyektif terhadap keamanankepastian tenurial. Pendekatan Institutionalist Tenure Security ITS menurut penuturan Mearns 2001 yang diacu dalam Ellsworth 2002 adalah: sebuah perspektif alternatif yang pandangannya dimulai dari melihat politik atas akses dan kontrol atas sumber alam seperti tanah diantara beragam aktor sosial, dan perubahan lingkungan dilihat sebagai hasil negosiasi dan kontestasi antar aktor tersebut yang masing-masing mungkin punya prioritas yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber alam tersebut. Hasil wawancara dan observasi pada lokasi penelitian sebagian upaya tindakan nyata di lapangan terkait dengan makna keamanankepastian tenurial KPHP GS seperti tatabatas wilayah masih dalam suatu perencanaan yang dituangkan dalam dokumen action plan pembangunan KPHP GS yang sudah diuji publik. Selain itu hal yang mendasar sehingga belum dilaksanakan tatabatas adalah pengesahan Perda RTRW Kabupaten Halmahera Tengah sebagai acuan wilayah KPHP yang final. Tindakan lain yang sudah dilaksanakan adalah sebatas sosialisasi penetapan wilayah KPHP GS ke berbagai pihak seperti PEMDA Kabupaten Halmahera Tengah dan masyarakat di dalam dan sekitar wilayah KPHP GS. 104 Untuk dapat memahami situasi terkait dengan makna dan tindakan keamanankepastian tenurial KPHP oleh UPTD KPHP GS dapat digambarkan dengan matrik seperti terlihat pada Tabel 18. Apabila makna dipahami dan dikuti dengan tindakan maka dinilai yang terbaik, jika makna dipahami tindakan tidak ada berarti tidak konsisten. Demikian pula jika makna tidak dipahami tetapi ada tindakan yang dilakukan maka berarti bertindak tanpa pemahaman dan terakhir adalah tidak memahami makna dan tidak berbuat apa mempunyai nilai yang paling jelek. Tabel 18 Matrik makna dan tindakan terkait keamanankepastian tenurial dalam wilayah KPHP oleh pihak UPTD KPHP GS Makna Tindakan Ya  Tidak  Sumber: diolah dari data primer. Matriks di atas menggambarkan bahwa pihak UPTD KPHP GS sudah memahami keamanankepastian wilayah KPHP sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 337Menhut-II2010 tanggal 25 Mei 2010. Pada sisi lain belum ada suatu konsistensi pemahaman makna kemananankepastian tenurial tenure security KPHP yang diaplikasikan dalam tindakan-tindakan sesuai dengan makna tenure security itu. Beberapa hal yang menjadi hambatan: 1 Organiasi KPHP GS belum berjalan dengan efektif; 2 Perubahan RTRW KabupatenKota dan RTRW Provinsi Maluku Utara yang belum final; 3 Pengakuan pihak-pihak lain terhadap wilayah KPHP GS belum ada.

5.3.2 KeamananKepastian Tenurial Menurit PEMDA

5.3.2.1 Peristiwa yang Menjadi Ancaman KeamananKepastian Tenurial

Pengelolaan perkebunan kelapa sebagai aset PEMDA, saat ini sudah mengalami penurunan produktifitas, tidak seperti pada masa pengelolaan PNP XXVIII Tilopi dengan produksi kopra setiap tahun dapat mencapai 240 ton, 105 sedangkan saat ini produktifitas perkebunan kelapa hanya mencapai 60 ton pertahun. Menurut Habel Kurung petugas lapangan Dinas Perkebunan Halmahera Tengah produktifitas kelapa menurun diakibatkan: 1 Areal perkebunan kelapa yang masih produktif hanya mencapai 40 Ha dari total luas areal perkebunan 411 Ha; 2 Tinggi tanaman kelapa rata-rata mencapai 30 m sehingga sulit dalam pemanenan; 3 Umur tanaman kelapa sudah di atas masa produktif. Penurunan produktifitas perkebunan kelapa membawa dampak pada pengelolaan yang tidak intensif lagi dan berpeluang untuk dikelola oleh pihak lain terutama masyarakat di sekitar. Areal yang tidak produktif dan jauh dari jangkauan petugas perlahan-lahan ditanami oleh masyarakat setempat dengan tanaman kelapa, hasil wawancara dengan sdr. Habel Kurung terungkap bahwa penyerobotan masyarakat tidak bisa diatasi oleh petugas di lapangan yang hanya seorang diri ditambah 3 tiga orang mandor. Langkah yang dilakukan adalah dengan melaporkan ke Dinas Perkebunan untuk dilakukan tindakan bagi masyarakat yang menyerobot ke areal perkebunan kelapa. Pada dasarnya masyarakat yang menanam dalam areal perkebunan kelapa milik PEMDA menyadari bahwa tanah tersebut adalah milik PEMDA, akan tetapi bagi Dinas Perkebunan hal itu sudah menjadi ancaman bila tidak segera diatasi, karena tanaman kelapa merupakan bukti klaim kepemilikan yang cukup kuat pada kehidupan sosial masyarakat setempat, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah dimana dikemudian hari bisa diklaim oleh masyarakat yang menanam.

5.3.2.2 Makna dan Tindakan KeamananKepastian Tenurial

Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perkebunan dan Petugas Lapangan Dinas Perkebunan Halmahera Tengah dijelaskan bahwa perkebunan kelapa milik PEMDA tetap terus dikelola dan dikembangkan karena: 1 Perkebunan Kelapa eks PNP XXVIII Tilopi merupakan asset daerah yang pengelolaanya dapat menjadi sumber PAD; 2 Lokasi perkebunan memiliki batas-batas yang jelas di lapangan dan diakui oleh masyarakat sekitar; 3 Pengelolaan melibatkan masyarakat dengan sistem bagi hasil; 4 Struktur pengamanan dan pengawasan