Status Tata Perijinan Menurut UPTD KPHP GS

74

5.1.3.2 Status Tata Perijinan Menurut PEMDA

Berdasarkan hasil penelitian bahwa, dalam penguasaaan perkebunan kelapa oleh PEMDA seluas 411 Ha terdapat pola pemberian ijin kepada masyarakat dari PEMDA untuk melakukan pengelolaan kebun kelapa dengan sistem bagi hasil. Izin yang diberikan PEMDA kepada masyarakat sekitar adalah pemetikan buah kelapa yang kemudian diolah lebih lanjut untuk menjadi kopra. Proses pengolahan buah kelapa menjadi kopra terlihat pada gambar 12 merupakan tugas dari masyarakat lokal, sedangkan hasilnya dibagi antara PEMDA dan masyarakat yang diberi izin dengan pembagian hasil kopra dibagi dua. Gambar 12 Proses pengolahan buah kelapa menjadi kopra oleh masyarakat.

5.1.3.3 Status Tata Perijinan Menurut Masyarakat Lokal

Pembukaan hutan untuk membuat kebun baru harus melalaui suatu mekanisme minta izin berman yakni minta izin kepada pemilik kebun atau yang memberi tanda di hutan yang terdahulu. Prosesnya pertama: orang yang ingin membuka hutan untuk berkebun harus mencari tahu terlebih dahulu siapa yang sudah berkebun disekitar lokasi tersebut, atau mencari tau orang yang sudah memberi tanda di hutan untuk meminta izin berkebun di sebelahnya, Kedua: Pemilik kebun yang lebih duluan akan mengarahkan dimana yang bersangkutan boleh memulai membuka hutan dan dimana batas-batas kebun awal, Ketiga: Batas yang telah ditunjukan oleh pemilik kebun yang lebih dahulu dijadikan batas dan kearah lainnya, batas ditentukan oleh kemampuan orang kedua tadi, Keempat begitu selanjutnya orang ketiga yang ingin berkebun harus meminta izin ke orang 75 yang kedua tadi apabila ingin menyambung kebun yang telah diolahnya, sehingga tidak ada terjadi tumpang tindih lahan.

5.1.4 Analisis Potensi Konflik

Galudra et al. 2006 dalam menganalisis data dan informasi yang sudah dihimpun, dengan menggunakan RaTA maka perlu diperhatikan seberapa pasti para pihak memiliki hak-hak atas tanah-tanah dan SDA yang diklaim dan kebijakan-kebijakan apa saja yang mengakui atau memperkuat klaim-klaim parapihak atas tanah tersebut dan adakah bentuk kebijakan-kebijakan yang memungkinkan hak-hak parapihak dapat saling terintegrasi. Dalam penelitian ini pihak-pihak yang secara de jure dan de facto mengklaim penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS adalah: UPTD KPHP GS, PEMDA, Masyarakat Lokal dan Masyarakat Transmigrasi. Kepentingan parapihak dalam suatu objek yang sama dalam hal ini adalah tanah dan SDA yang berada dalam wilayah KPHP GS dapat menimbulkan suatu potensi konflik terkait dengan penguasaan tenurial yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dan definisi konflik yang disebut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, potensi konflik yang terjadi di lokasi studi adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki sasaran atau kepentingan yang tidak sejalan hingga menimbulkan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau kelompok atau sesuatu lahan dan akses terhadap SDA. Parapihak utama yang memiliki kepentingan dan dasar klaim yang berbeda terhadap tanah dan SDA yang dikuasai adalah: 1 UPTD KPHP GS mengklaim penguasaan wilayah KPHP berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.337Menhut-II2010 tentang Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Model Gunung Sinopa, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. 2 PEMDA mengklaim penguasaan tanah dan SDA didasarkan pada Rancangan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah, terkait dengan lahan seluas 300 Ha untuk pengembangan Bandar Udara dan Perkebunan Kelapa milik Pemerintah Daerah seluas 411 Ha. 3 Masyarakat lokal, pengelolaan tanah dan SDA oleh masyarakat lokal sudah ada jauh sebelum adanya penetapan