Makna dan Tindakan KeamananKepastian Tenurial
106 pengelolaan perkebunan menggunakan sistem ancak yang langsung ditangani oleh
seorang mandor yang berasal dari masyarakat setempat. Makna keamanankepastian tenurial tenure security atas klaim tanah dan
SDA dalam wilayah KPHP GS oleh PEMDA pada prinsipnya sesuai dengan konstruksi normatif dari sebuah sistem hukum yang dikonfirmasi melalui
kepastian perkebunan kelapa sebagai asset PEMDA yang diatur dalam perundang- undangan tentang asset daerah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik NegaraDaerah. Pihak PEMDA mempersepsikan keamanankepastian tenurial lebih pasti
jika dalam pengelolaan perkebunan kelapa melibatkan masyarakat setempat baik sebagai pengelola maupun sebagai mandor yang merupakan utusan dari desa-desa
sekitar perkebunan kelapa, sejalan dengan ini Safitri 2006 bahwa memaknai kepastian tenruial tidak hanya dibangun atas konstruksi normatif dari sistem
hukum akan tetapi dipadukan dengan mempresepsikan kemanankepastian tenurial bersifat lokal, praktis, plural dan kontekstual. Konsistensi antara persepsi
pemahaman makna tenurial dan tindakan yang dilakukan sebagai implementasi pemahaman makna tenurial sebagaiman tersaji pada Tabel 19.
Tabel 19 Matrik makna dan tindakan terkait keamanankepastian tenurial dalam wilayah KPHP oleh pihak UPTD KPHP GS
Makna Tindakan
Ya
Tidak
Sumber: diolah dari data primer. Berdasarkan Tabel 19 di atas, mengindikasikan adanya konsistensi antara
pemahaman makna keamanankepastian tenurial yang dipahami pihak PEMDA dengan tindakan nyata di lapangan. Tindakan nyata antara lain; 1 Pemeliharaan
pal batas perkebunan; 2 melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan panen kelapa menjadi kopra dengan sistem bagi hasil; 3 Penyetoran PAD setiap tahun
sebagai pemanfaatan aset daerah. Konsistensi ini mencerminkan adanya upaya
107 untuk mencapai tenure security oleh PEMDA atas klaim tanah dan SDA dalam
wilayah KPHP GS dan sejalan dengan pendekatan Institutionalist Tenure Security Ellsworth 2002; sebuah perspektif alternatif yang pandangannya
dimulai dari melihat politik atas akses dan kontrol atas sumber alam seperti tanah diantara beragam aktor sosial, dan perubahan lingkungan dilihat sebagai
hasil negosiasi dan kontestasi antar aktor tersebut yang masing-masing mungkin punya prioritas yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber alam
tersebut
5.3.3 KeamananKepastian Tenurial Menurut Masyarakat Lokal 5.3.3.1 Peristiwa yang Menjadi Ancaman KeamananKepastian Tenurial
Kepastian tenurial atau keamanan tenurial tenure secuirty dapat dilihat
dari indikator peristiwa-peristiwa yang menjadi ancaman atas kepastian tenurial atau keamanan tenurial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa-
peristiwa tersebut bisa secara langsung mengancam kepastian tenurial masyarakat bisa juga secara tidak langsung. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di
lapangan ditemukan
beberapa peristiwa
yang dapat
mengancam keamanankepastian tenurial masyarakat lokal:
1 Kedatangan orang dari luar desa Loleo yang membeli tanah masyarakat yang
kemudian terjadi pergeseran batas-batas tanah yang sudah disepakati oleh
berman pemilik batas lainnya yang terdahulu. Di beberapa kejadian sempat
menjadi perkara perdata. 2
Masuknya pihak ketiga yang diberi izin oleh Pemerintah untuk izin pemanfaatan hasil hutan kayu. Pada tahun 1970-an, PT Darco sebagai
pemegang HPH melakukan operasi di sekitar desa Loleo, beberapa peristiwa
yang terungkap dari hasil wawancara yang menggambarkan bahwa pertama:
PT. Darco dalam melaksanakan operasionalnya di lapangan sama sekali tidak mengakui kepemilikan lahan-lahan milik masyarakat yang ada di sekitar
wilayah kerjanya, hal ini terbukti dengan tidak ada ganti rugi atas kebun dan tanaman yang digusur untuk membuat jalan , TPk dan pembuatan sarana
lainnya. Kedua: tidak diberi izin masyarakat untuk mengambil kayu bulat di
hutan walaupun hanya untuk dibuat sampan, peristiwa yang terjadi saat itu
108 adalah, beberapa kayu yang ditebang masyarakat Loleo kemudian dicincang
membentuk perahu sampan dan dialirkan melalui sungai saat hujan, hingga ke pantai. Sesampainya di pantai batang pohon yang akan dibuat sampan disita
oleh Satpam PH PT. Darco, dan menganggap masyarakat mencuri kayu milik PT Darco. Pada saat penelitian dilaksanakan peristiwa ini sudah tidak terjadi
lagi disebabkan masa konsesi PT Darco sudah berakhir pada tahun 1990-an. 3
Penerbitan sertifikat lahan usaha II bagi masyarakat transmigrasi SP I sebanyak 94 sertifikat di lahan Masyarakat Loleo. Sampai saat ini sertifikat
hak milik atas tanah tersebut dipegang oleh masyarakat transmigrasi tetapi lahan tersebut tetap dikelola oleh masyarakat Loleo sejak sebelum adanya
transmigrasi. 4
Pemancangan batas Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Selatan yang didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 2003 Tentang tentang
Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, Dan Kota Tidore
Kepulauan Di
Kabupaten Halmahera
Selatan. Berdasarkan
trayek pemancangan batas yang telah dibuat oleh Tim Tapal Batas Kabupaten,
ternyata batas Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halamahera Tengah dimulai dari Pal pertama yang berada di Pulau Movi kemudian
mengikuti trayek selanjutnya sehingga hal tersebut mengakibatkan sebagian kebun dan tanah masyarakat lokal akan berpindah ke Kabupaten Halmahera
Selatan. Beberapa tokoh masyarakat mencoba memprotes pemancangan pal batas antara kebupaten dengan berbagai argumen sejarah dan kondisi faktual
di lapangan sehingga saat itu pemancangan batas kabupaten ditangguhkan. Pada tanggal 23 Agstus 2007 kedua PEMDA bersepakat menetapkan lokasi
Giapopo pada titik koordinat 0º08’11,3” LU dan 127º 52’59,1” BT sebagai salah satu titik batas kedua Kabupaten.