Makna dan Tindakan Keamanan Kepastian Tenurial

113 ancaman. Pada saat yang sama masyarakat transmigrasi lebih memilih tidak melakukan perlawanan secara langsung dan cenderung membiarkan masyarakat lokal melakukan pengolahan lahan tersebut, hal ini sejalan dengan Ellsworth 2002 bahwa menurut pendekatan institusional, kemampuan memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakan atau mempertahankan klaim adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting, dari fakta bahwa seseorang memegang sertifikat. Pada tahun 1994 dengan masuknya perusahaan PT Sumalindo dengan ijin pemanfaatan kayu IPK, akses jalan menuju lahan usaha II terbuka, sehingga masyarakat lokal memanfatkan keadaan ini untuk mengolah lahan ini dengan menanami kelapa sebagai bukti klaim. Kondisi ini menyebabkan lahan usaha II tadinya kurang menarik untuk dikelola karena masih dalam bentuk hutan, tetapi setelah kayunya diambil dan lahannya dibersihkan oleh PT. Sumalindo, maka lahan usaha II berubah menjadi lahan yang secara ekonomi mempunyai nilai yang berarti dengan kondisi ada akses jalan dan lahan siap tanam. Perubahan nilai ekonomi lahan usaha II yang tadinya hutan belantara menjadi lahan yang mempunyai akses jalan dan siap ditanami mendorong masyarakat lokal lebih kuat mempertahankan klaim atas tanah SDA yang sudah dikuasai, hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan intitusioanal dalam memahami keamanankepastian tenurial, sebagaimana diungkapkan Ellsworth 2002, pemikiran institusionalis mengamati bagaimana perubahan kondisi ekonomi berdampak pada hak-hak properti. Suatu sumber daya yang awalnya tidak bernilai tiba-tiba berubah jadi punya nilai jual tinggi yang diakibatkan dari input teknologi atau pengaruh pasar dapat mendorong klaim dari berbagai pihak yang merasa memiliki sumber daya tersebut. Dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat transmigrasi sampai saat ini tidak mengelola dan menguasai lahan usaha II yang sudah diterbitkan sertifikat hak milik atas nama mereka. Dengan kondisi seperti itu , masyarakat transmigrasi tidak bisa melakukan tindakan-tindakan sesuai makna keamanankepastian tenurial dengan adanya sertifikat hak milik, yakni : 1 Mengusai secara turun temurun, 2 memanfaatkan untuk tanah pertanian, 3 dapat mengalihkan, 4 menjadi jaminan kredit di bank. 114 Untuk dapat memahami situasi terkait dengan makna dan tindakan keamanankepastian tenurial masyarakat transmigrasi atas lahan usaha II dalam wilayah KPHP GS dapat digambarkan dengan sebuah matrik seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21 Matrik makna dan tindakan keamanankepastian tenurial transmigrasi dalam wilayah KPHP GS Makna Tindakan Ya  Tidak  Sumber: diolah dari data primer Matrik di atas memberi gambaran bahwa ada ketidak konsistenan antara persepsi makna dan tindakan dari masyarakat transmigrasi dikaitkan dengan makna dan tindakan keamanan, kepastian tenurial tenure security atas lahan usaha II. Beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi yakni: 1 Klaim masyarakat lokal atas lahan yang sama lahan usaha II dengan menggunakan penekanan adat, penduduk asli, sejarah, bahkan ancaman fisik. 2 Masyarakat transmigrasi memilih mengadukan permasalahan ini ke pemerintah untuk diselesaikan walau sengekta ini sudah berlangsung selama 18 tahun dan sampai saat ini belum ada kejelasan penyelesaian. 3. Masyarakat transmigrasi memilih alternatif lain dengan mengelola lahan “R” lahan kelebihan dari hasil pengukuran tanah oleh Departemen Transmigrasi yang belum disertifikat tetapi masuk dalam wilayah transmigrasi. Lahan tersebut diolah untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari masyarakat transmigrasi sebagai pengganti lahan usaha II.

5.4 Identifikasi Tipologi Masalah Sosial Terkait Tenurial Dalam Wilayah KPHP GS

Dari uraian terkait dengan kepentingan parapihak, penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak yang dimulai dengan sejarah penguasaan, aturan-aturan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, bukti-bukti penguasaan tanah dan SDA yang keseluruhannya terletak dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa tentunya 115 berpoteni menimbulkan konflik parapihak. Selain itu pembentukan wilayah KPHP Gunung Sinopa diperhadapkan dengan proses penataan ruang Kabupaten Halmahera Tengah, akibat dari perintah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Realitas tersebut memberikan gambaran bahwa ada persoalan sosial dalam wilayah KPHP GS dalam proses pembangunan dan pengembangan KPHP ke depan. Kartodihardjo et al. 2011 menguraikan bahwa berdasarkan fakta yang dialami beberapa KPH baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa diidentifikasi ada 4 empat tipologi masalah sosial dalam wilayah KPH, yakni: 1 Konflik tenurial berat; masalah ini dicirikan oleh adanya alas hak yang kuat dari masyarakat, baik secara hukum adat mupun secara hukum positif. Masalah keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran masayarakat beraktifitas dalam kawasan hutan. 2 Konflik tenurial ringan; masalah ini dicirkan dengan oleh adanya penguasaan lahan yang dapat dibuktikan kelemahan atas haknya. 3Masalah akses terhadap sumberdaya hutan; masalah ini dicirikan dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan tanpa adanya klaim penguasaan lahan dalam kawasan hutan 4. Masalah aktivitas haram ; masalah ini dicirkan dengan penguasaan lahan dan atau akses terhadap sumber daya hutan yang tidak memiliki alas hak dan bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap parapihak yang ada dalam wilayah KPHP GS secara sosial budaya sudah terdapat klaim penguasaan atas tanah dan sumber daya alam yang cukup panjang akar sejarahnya, sudah memiliki alas hak yang diakui institusi lokal dan institusi formal. Klaim penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak dalam wilayah KPHP GS jauh sebelum adanya penunjukan kawasan hutan dan perairan Maluku, sesuai SK Menhut Nomor 415Kpts-II1999, jauh sebelum penetapan wilayah KPHP GS berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010. Berdasarkan hasil analisis sekumpulan hak Bundle of rights parapihak dalam wilayah KPHP GS, dapat dipetakan sebagai berikut: 1 PEMDA dan Masyarakat Lokal berposisi sebagai Pemilik owner atas klaim penguasaan tanah dan SDA; 2 Masyarakat Transmigrasi berposisi sebagai pengunjung yang