Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam

melindungi haknya; 7 aparat pemerintah yang memberikan atau mengakui hak itu mempunyai posisi dan kewenangan yang sah dan tepat. Selanjutnya, ketujuh elemen itu perlu ditambah dengan elemen baru 8 secara nyata masyarakat pemegang hak dapat melaksanakan dan mengambil manfaat dari kegiatan yang sesuai dengan ruang lingkup hak-haknya itu secara aman tanpa gangguan dari pihak lain. Penilaian akan rasa aman kembali bergantung pada persepsi dan konteks.

2.5 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam

Berubahnya sistem politik di Indonesia ternyata tidak dengan serta merta diikuti oleh kemudahan penterjemahan peraturan-peraturan di tingkat pusat ke dalam peraturan-peraturan di tingkat daerah kabupaten Pudjiastuti 2010. Hal ini terjadi pada peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan saat ini sehingga sering terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persepsi yang telah berkembang mengenai pelaksanaan otonomi daerah maupun bagaimana sumberdaya hutan seharusnya dikelola Khan et al. 2004. Peraturan daerah yang disusun tanpa memperhatikan peraturan yang lebih tinggi cenderung menjadi potensi konflik antarlembaga Pudjiastuti 2010. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri dalam kenyataanya bahwa terkadang substansi peraturan di tingkat pusat tidak cukup memberi pedoman kepada pemerintah daerah, karena kurangnya sosialiasi peraturan tersebut sehingga pemerintah daerah menerjemahkan peraturan-peraturan pemerintah pusat sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Suasana dilematik ini ternyata terus berlangsung sampai saat ini. Desentralisasi menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih antara pusat, provinsi dan daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah memang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, termasuk hutan. Masalahnya kewenangan tersebut tidak disertai dengan kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur. Bukti aktual konflik antarlembaga dalam hal pengelolaan hutan dapat dilihat dari tindakan pemerintah pusat yang mencabut ijin pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan IPPHH yang menjadi kewenangan pemrintah daaerah. Konflik antarlembaga dalam hal pengelolaan hutan juga terjadi antara HPH BUMN dengan HPH BUMD. Inhutani merupakan perusahaan yang diberikan hak kontrak swasta sebagai mitra kerja pemerintah sekligus mendapatkan konsesi sebagai BUMN. Dengan adanya desentralisasi, apakah hak kontrak yang disepakati dengan pemerintah pusat apakah bersifat tetap atau dapat dibatalkan Chalid 2005. Ngakan et al. 2008, mengingat masih simpang siurnya pemahaman para stakeholder terhadap konsep kesatuan pengelolaan hutan KPH, maka konsep ini masih perlu dimantapkan, diperjelas dan disosialisasikan secara lebih intensif. Perbedaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 terkait pembentukan wilayah hutan perlu segera diperjelas. Pembagian kewenangan merupakan persoalan krusial yang memerlukan pemecahan yang dapat diterima oleh semua pihak, terutama pembagian kewenangan antar lembaga dalam pembangunan kesatuan pengelolaan hutan. Potensi konflik antar lembaga dalam kesatuan pengelolaan hutan harus diminimalisasi dan dilakukan strategi yang tepat guna mengatasi potensi konflik tersebut. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Di Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Provinsi dan KabupatenKota mengenai pembentukan organisasi pengelola KPHL dan KPHP sebagai satuan kerja perangkat daerah tidak menutup kemungkinan menimbulkan potensi konflik antara KPHL atau KPHP dengan lembaga yang selama ini sudah ada dalam urusan kehutanan baik lembaga pemerintah daerah maupum UPTD Kementrian Kehutanan yang ada di daerah.

2.6 Persepsi