Status Tata Perijinan Menurut Masyarakat Lokal

75 yang kedua tadi apabila ingin menyambung kebun yang telah diolahnya, sehingga tidak ada terjadi tumpang tindih lahan.

5.1.4 Analisis Potensi Konflik

Galudra et al. 2006 dalam menganalisis data dan informasi yang sudah dihimpun, dengan menggunakan RaTA maka perlu diperhatikan seberapa pasti para pihak memiliki hak-hak atas tanah-tanah dan SDA yang diklaim dan kebijakan-kebijakan apa saja yang mengakui atau memperkuat klaim-klaim parapihak atas tanah tersebut dan adakah bentuk kebijakan-kebijakan yang memungkinkan hak-hak parapihak dapat saling terintegrasi. Dalam penelitian ini pihak-pihak yang secara de jure dan de facto mengklaim penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS adalah: UPTD KPHP GS, PEMDA, Masyarakat Lokal dan Masyarakat Transmigrasi. Kepentingan parapihak dalam suatu objek yang sama dalam hal ini adalah tanah dan SDA yang berada dalam wilayah KPHP GS dapat menimbulkan suatu potensi konflik terkait dengan penguasaan tenurial yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dan definisi konflik yang disebut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, potensi konflik yang terjadi di lokasi studi adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki sasaran atau kepentingan yang tidak sejalan hingga menimbulkan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau kelompok atau sesuatu lahan dan akses terhadap SDA. Parapihak utama yang memiliki kepentingan dan dasar klaim yang berbeda terhadap tanah dan SDA yang dikuasai adalah: 1 UPTD KPHP GS mengklaim penguasaan wilayah KPHP berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.337Menhut-II2010 tentang Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Model Gunung Sinopa, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. 2 PEMDA mengklaim penguasaan tanah dan SDA didasarkan pada Rancangan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah, terkait dengan lahan seluas 300 Ha untuk pengembangan Bandar Udara dan Perkebunan Kelapa milik Pemerintah Daerah seluas 411 Ha. 3 Masyarakat lokal, pengelolaan tanah dan SDA oleh masyarakat lokal sudah ada jauh sebelum adanya penetapan 76 wilayah KPHP GS, berdasarkan sejarahnya, penguasaan tanah dan SDA oleh masyarakat lokal sudah ada sebelum kemerdekaan RI. Klaim penguasaan tanah dan SDA saat ini merupakan hasil pewarisan kepemilikan secara turun temurun. 4 Masyarakat transmigrasi, penguasaan lahan usaha II didasarkan kepada pemberian pemerintah melalui sertifikat hak milik tanah atas nama masyarakat transmigrasi.

5.1.4.1 Klaim Penguasaan Tanah dan SDA Secara De Jure

Parapihak yang mengklaim penguasaan tanah dan SDA didasarkan pada dua aspek, ada yang menggunakan aspek de jure dan ada pula yang menggunakan aspek de facto. Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Sementara itu istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan diberlakukan oleh masyarakat setempat Afiff 2005. Pihak UPTD KPHP GS mengklaim penguasaan tanah dan SDA berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.337Menhut-II2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Model Gunung Sinopa, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Pihak masyarakat transmigrasi mengklaim penguasaan tanah berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasinoal Kabupaten Halmahera Tengah. Pihak PEMDA dalam melaksanakan pembangunan didasarkan pada RTRW Kabupaten yang telah diperdakan dan saat ini dalam proses revisi sesuai UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengalokasian ruang disesuaikan dengan kebutuhan daerah guna mencapai pembangunan yang maju dengan dukungan pemanfaatan ruang yang efisien dan efektif. Secara de jure lokasi pembangunan bandara diklaim berdasarkan rencana struktur ruang yang termuat dalam RTRW Kabupaten Halmahera Tengah yang saat penelitian berlangsung dalam tahap proses pembuatan Perdanya. Klaim penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa eks PNP XXVIII Tilopi seluas 411 Ha yang pada kenyataannya didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Halamhera Tengah Nomor