Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Konsep Hak Kepemilikan

8 4 Bagaimana masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan infomasi terkait penataan tenurial atas tanah dan SDA dalam wilayah KPH. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1 Menganalisis potensi konflik tenurial kawasan hutan di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa. 2 Memetakan sekumpulan hak bundle of rights sistem tenurial atas tanah dan SDA yang diklaim parapihak di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa. 3 Mengidentikiasi makna keamanan tenurial atas tanah dan SDA menurut persepsi parapihak yang ada dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa. 4 Mengidentifikasi tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terkait permasalahan konflik tenurial dalam wilayah KPH, dan diharapkan juga bermanfaat untuk lembaga pengelola KPH dalam memahami masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPH, sehingga dapat mengambil langkah dan tindakan yang tepat sesuai dengan tupoksi, guna memfasilitasi penyelesaian konflik sehingga dapat berimbas pada kelancaran pembangunan KPH. 9 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 12 disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat propinsi, kabupatenkota serta pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung KPHL, kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP, dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi KPHK. KPH sebagai institusi penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan, dimana peran ini sangat diperlukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai “pemilik” sumberdaya hutan yang didasarkan pada mandat dari Undang-Undang. Sesungguhnya KPH tidak memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan hutan, akan tetapi sebagai pengelola hutan di tingkat tapak sehingga sangat diharapkan kondisi suatu wilayah KPH dapat terinformasikan dengan lengkap terkait keaneka ragaman potensi dari wilayah tersebut. Selain itu peran institusi KPH diharapkan mampu melakukan penataan pemanfaatan hutan sesuai dengan potensinya dan menjadi penengah bagi parapihak yang berkepentingan dalam wilayah KPH.

2.1.1 Hubungan KPH dengan Berbagai Element Terkait

Kartodihardjo et al. 2011 menguraikan hubungan KPH dengan berbagai elemen yang terkait dalam pengelolaan hutan seperti KPH dan ragam fungsi hutan; KPH dan akses masyarakat; KPH dan usaha kehutanan; KPH dan organisasi daerah; KPH dan pengembangan wilayah; dan KPH dan kelestarian hutan. KPH dan ragam fungsi hutan, keberadaan KPH akan lebih memastikan diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan yang terjadi maupun kondisi masyarakat yang tergantung pada manfaat sumberdaya hutan. Dalam hal ini KPH dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun informasi sumberdaya hutan untuk melakukan pengelolaan hutan yang tidak dijalankan secara langsung oleh lembaga seperti Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan. KPH dan akses masyarakat, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk. Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada pada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat tehadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan. KPH dan usaha kehutanan, dengan beroperasinya organisasi KPH, informasi mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh para pemegang ijin diharapkan akan semakin akurat. Karakteristik dan sifat-sifat khas sumberdaya hutan juga diharapkan dapat diketahui. Kondisi demikian itu akan memudahkan penetapan manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah, sehingga diharapakan mengurangi kegiatan-kegiatan yang selama ini seolah-olah hanya bersifat administratif, harus dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi usaha kehutanan tersebut. Efektivitas kegiatan demikian itu pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan. KPH dan organisasi daerah, keberadaan KPH bersifat unik. Organisasi daerah yang dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 tidak mengenal adanya organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat teritorial. Organisasi KPH meskipun bidang kehutanan namun bukan identik dengan organisasi kehutanan yang telah dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. KPH merupakan organisasi yang spesifik yang khususnya di luar Pulau Jawa belum pernah ada. KPH dan pengembangan wilayah, pengembangan wilayah dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan apabila memperhatikan kepentingan ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat menyediakan barang dan jasa untuk menopang pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu tujuan pengembangan KPH perlu diselaraskan dengan tujuan pengembangan wilayah KabupatenKota dan atau Propinsi. KPH yang lokasinya lintas wilayah KabupatenKota dapat menjadi penyelaras arah pengelolaan sumberdaya hutan khususnya maupun sumberdaya alam pada umumnya di kedua wilayah administrasi tersebut. KPH dan kelestarian hutan, faktor yang menentukan kelestarian hutan cukup banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian hutan ditentukan oleh kapasitas pemegang ijin atau pengelola hutan. KPH menjadi faktor pemungkin kapasitas tersebut dapat ditingkatkan atau bahkan pengadaan pengelola hutan yang selama ini tidak ada, misalnya dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan yang tidak ada pengelolanya terbukti tidak membawa hasil.

2.1.2 Pembangunan KPH

Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, pengelola KPH adalah pihak yang paling mengetahui kondisi hutan di tingkat tapak. Oleh karena itu, meskipun proses administrasi perijinan berada di tangan pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya, namun pengelola KPH mempunyai peran penting dalam menentukan bagaimana masyarakat akan siap menerima dan menjalankan ijin itu atau bagaimana pengusaha aman dalam menjalankan usahanya setelah menerima ijin serta dalam konteks yang lebih luas, pengelola KPH menentukan bagaimana alokasi sumberdaya hutan dilaksanakan dengan peluang keberhasilan yang tinggi ataupun implikasi konflik minimal. Kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan di dalam suatu KPH merupakan kombinasi antara para pemegang ijin dan pengelola KPH. Oleh karena itu selain kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang secara konvensional telah dilakukan, seperti melakukan tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi hutan, serta pengawasan, di dalam kegiatan itu perlu dipertimbangkan kebutuhan bersama semua pihak di dalam KPH itu. Misalnya aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja, informasi, penyelesaian konflik, dan pendampingan sesuai dengan karakteristik wilayah suatu KPH. Keberadaan KPH diharapkan dapat memecahkan permasalahan kehutanan terkait dengan pengelolaan hutan ditingkat tapak, akses masyarakat, pelestarian hutan, dan permasalahan sosial terkait tenurial. Kartodihardjo et al. 2011 dalam prakteknya KPH menyelenggarakan penguasaan sumberdaya hutan itu bukan dalam arti memberi ijin pemanfaatan hutan melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari-hari. Dalam hal demikian itu, KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan alam sekaligus menata kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin maupun dimanfaatkan melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Selain sebagai pusat informasi mengenai potensi suatu kawasan hutan, KPH dapat memainkan peran sebagai mediator bagi akses masyarakat dalam kawasan hutan secara legal, Kartodihardjo et al. 2011 keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat tehadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan. Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis besar pembangunan KPH menunjukan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini daapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan Agustus 2011 Sumber Kemenhut, penetapan wilayah KPHL sebanyak 167 Unit dengan luas ± 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit dengan luas ± 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 Provinsi, dan Khusus DI Jogyakarta tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP dengan luas: ± 16.357 Ha. Selain itu Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH maka telah ditetapkan KPH model di masing-masing Provinsi, sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan KPH model sebanyak 33 dengan rincian KPHL model sebanyak 12 unit dan KPHP model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 Unit dengan KPH model sebanyak 28 Unit dan bukan KPH model sebanya 4 unit.

2.1.3 Tugas dan Fungsi KPH

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 17 ayat 1 mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, KabupatenKota dan Unit Pengelolaan. Tujuan pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Bentuk unit pengelolaan hutan adalah dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung danatau hutan konservasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008, dijelaskan bahwa KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan Nasional, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota. Dalam Peraturan Pemerintah ini juga ditetapkan tugas pokok dan fungsi KPH, yakni: 1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: a Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b Pemanfaatan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; c Penggunaan kawasan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; d Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu; e Rehabilitasi hutan dan reklamasi; f Perlindungan hutan dan konservasi alam. 2. Menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, KabupatenKota untuk diimplementasikan. 3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian. 4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya. Tugas pokok dan fungsi KPH tersebut terutama untuk KPHP dan KPHL sebelum ada KPH sebagian dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan KabupatenKota dan sebagian diantaranya dilaksanakan oleh para pemegang ijin. Dengan demikian, maka sebelum ada KPH, seluruh tugas pokok dan fungsi KPH tetap dijalankan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan KabupatenKota. Kartodihardjo 2008 mengemukakan bahwa organisasi KPH ditetapkan dalam tiga fase yaitu: fase pertumbuhan, fase pengembangan dan fase pemantapan. Fase pertumbuhan merupakan suatu proses menuju pembentukan organisasi KPH, di saat KPH belum terbentuk. Fase ini diharapkan berjalan sampai akhir tahun 2009, dimana telah terbentuk minimal 1 satu KPH di setiap propinsi. Bagi setiap KPH yang telah terbentuk segera memasuki fase berikutnya yaitu fase pengembangan. Fase pengembangan adalah fase dimana KPH telah terbentuk, dimana perhatian pembangunan KPH diarahkan pada struktur dan fungsi organisasi, jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia, manajemen dan kepemimpinan, serta ketersediaan sumberdaya lainnya. Sedangkan fase pemantapan adalah fase dimana Pemerintah diharapkan telah mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH.

2.2 Konsep Hak Kepemilikan

Konsep dasar dari ekonomi kelembagaan baru NIE adalah teori North 1990 menyatakan bahwa ekonomi kelembagaan merupakan faktor kunci dalam pembangunan ekonomi, sebuah hipotesis penting dari teori ini adalah bahwa kelembagaan membentuk perilaku para aktor politik dan ekonomi, namun pada kesempatan lain para aktor termotivasi untuk bereaksi dan mengubah kelembagaan yang tidak lagi melayani kepentingan mereka Irimie Essmann 2009. NIE umumnya terdiri dari tiga teori yang berbeda: 1 teori hak milik 2 teori biaya transaksi, dan 3 principal-agent teori. Mengingat studi ini terkait dengan teori hak kepemilikan secara empiris namun tidak menutup kemungkinan menggunakan teori-teori lain guna memperjelas teori hak kepemilikan pada sumber daya hutan. Teori principal-agent dan teori biaya transaksi dapat melengkapi dan memperjelas teori hak kepemilikian sumber daya hutan Ebers Gotsch 1999, diacu dalam Irimie Essmann 2009. Hak kepemilikan property right adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya assetendowment untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya, hak ini merupakan implikasi hubungan antara sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan Nugroho 2009. Oleh karenanya hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak ‐hak bundle of rights yang diatur melalui aturan tertentu, sehingga North 1990 menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma ‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak right dan kewajiban obligation yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan ‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu: 1 Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud. 2 Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi ‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi ‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak transaction and enforcement costs yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia ‐sia. Kasper dan Streit 1998 mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya. 3 Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi exclusion costs. Semakin mahal biaya ‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu assetsumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus. 4 Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North 1990 hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan biaya penegakan hak mahal apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing ‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut. Selain persyaratan penegakan hak sebagaimana diuraikan di atas, maka Nugroho 2008 mengungkapkan bahwa syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah 1 dapat diperjual belikan tradable, 2 dapat dipindah tangankan transferable; 3 dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak excludable dan 4 dapat ditegakkan hak ‐haknya enforceable. Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya. Suatu barang property yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik, maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah ‐tangankan misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan yang baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable mengindikasikan bahwa apabila suatu barang walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok ataupun Negara dapat dimanfaatkan oleh individukelompok lain atau siapa saja yang tidak berhak, maka insentif untuk penghematan danatau pengelolaan yang baik akan hilang. Di lain pihak, aset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh entitas pelindung hak ‐hak warga. Akan menjadi sia‐sia apabila kepemilikan seseorangkelompok tidak dihormati oleh orangkelompok lain. Kepemilikan sumber daya alam bersifat kompleks Kartodihardjo Jhamtani 2006, di satu pihak, ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyakpublic benefitcost, di pihak lain sumber daya alam dapat berupa komoditi private goods yang hanya dinikmati oleh perorangan . Hanna et al. 1996 membagi bentuk-bentuk hak yang lazim disebut rezim hak terhadap sumber daya alam yang berkisar dari yang dikuasai negara state property, diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu common property, atau berupa hak individu private property. Pengertian dan asumsi dasar terhadap sumber daya alam akan menentukan siapa pemilik, pengguna, pengatur sumber daya, siapa yang mengendalikan akses pihak lain jika sumberdaya rusak, dan siapa yang mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut White 2004, diacu dalam Kartodihardjo Jhamtani 2006. Hal ini menjadi pokok persoalan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana pengertian dan asumsi dasar dari sumberdaya alam belum secara tegas diartikulisikan dan diimplementasikan secara konsisten. Dalam kaitan ini menurut White 2004 diacu dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, kebijakan tenurial bukanlah berkaitan dengan perubahan hubungan antara orang dengan tanah atau sumberdaya, melainkan menyangkut perubahan sosial dan kekuasaan antara sekolompok orang dengan kelompok lain. Dengan demikian pengertian “tenure” adalah hubungan sosial, yaitu berhubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antara komunitas dan hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara.

2.3 Konsep Tenurial