Status Tata Kelola UPTD KPHP GS.

67 Dalam pengelolaan KPH sebenarnya terjadi alokasi dan realokasi sumberdaya yang menyebabkan pihak-pihak tertentu diuntungkan atau dirugikan. Realitas demikian ini tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari kenyataan pembangunan Kartodihardjo et al. 2011. Dengan demikian UPTD KPHP GS merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya yang ada dalam wilayahnya untuk dapat dikelola sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 5.1.2.2 Status Tata Kelola PEMDA Sebagai Kabupaten Hasil Pemekaran tahun 2003, Kabupaten Halmahera Tengah sedang menata pembangunan yang dimulai dengan penyusunan rancangan RTRW Kabupaten sebagai pedoman pembangunan yang berkelanjutan dan diharapkan dapat efisien dan efektif dalam memanfaatkan ruang wilayah. Dengan karakteristik wilayah kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah membutuhkan suatu struktur ruang yang kompak serta didukung oleh sistem transportasi regional yang handal. BAPPEDA Halteng 2011 untuk itu dalam pengembangan struktur ruang Kabupaten, sesuai kaidah penataan ruang, perlu memperhatikan unsur-unsur pokok seperti: 1 Pusat-pusat pertumbuhan; 2 Pelabuhan sebagai simpul penghubung sistem transportasi; 3 Kawasan strategis. Pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir merupakan komponen penting dalam membangun struktur ruang wilayah kepulauan. Dalam hal ini pusat-pusat tersebut berfungsi sebagai tempat berkumpulnya berbagai aktivitas yang ada di suatu pulau. Pusat pertumbuhan di pesisir ini menjadi titik temu dari aktivitas di wilayah daratan hinterland dengan aktivitas di wilayah lautan. BAPPEDA Halteng 2011 rencana struktur ruang Kabupaten Halmahera Tengah dengan membagi wilayah kota ke dalam beberapa zona pengembangan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang efisien dalam pemanfaatan ruang dan efektif dalam membentuk struktur-struktur pelayanan umum serta terpadu dan bersinergi dalam memanfaatkan semua potensi dan sumberdaya yang tersedia. Kabupaten Halmahera Tengah sebagai wilayah yang relatif baru telah mengalami perubahan 68 yang sangat besar terhadap struktur ruangnya, dimana sebelumnya hanya sebagai kawasan dengan fungsi sekunder maka setelah pemekaran, menjadi kawasan dengan fungsi primer. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala BAPPEDA Kabupaten Halmahera Tengah Bapak Saiful Samad, SE., MSi dan dokumen rancangan RTRW , Weda Bagian Selatan telah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan II dengan fungsi yang dikembangkan adalah pertanian tanaman pangan dan Bandar Udara. Hasil observasi lokasi rencana pembangunan bandar udara dengan menggunakan GPS menunjukkan bahwa lokasi rencana pengembangan bandar udara di desa Loleo berada dalam wilayah KPHP GS, seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar 9 Peta struktur ruang rancangan RTRW Kab. Halmahera Tengah. Beberapa alasan penetapan lokasi pembangunan bandar udara di desa Loleo yaitu: 1 Lokasi yang datar dan memiliki struktur permukaan bumi yang didominasi batu cadas yang rata sehingga pemadatan landasan pacu tidak menelan anggaran yang besar, 2 Jarak rencana lokasi pembangunan bandar udara dengan pusat pemerintahan dan perkotaan sangat dekat. 3 masih tersedia lahan yang Lokasi Rencana Pembangunan Bandara Yang Lokasinya Berada dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa 69 kompak seluas 300 Ha yang belum ada pemukiman maupun bangunan lainnya, 4 rencana lokasi pembangunan bandra udara berada pada bagian tanjung. BAPPEDA Halteng 2011, sehubungan dengan akan dibangunnya pabrik Nikel Weda Bay di Lelilef terbesar kedua di dunia yang rencananya akan beroperasi tahun 2012 dan menyerap tenaga kerja 10 15 ribu orang, maka diharapkan permintaan akan transportasi udara menjadi meningkat. Dengan demikian pengembangan transportasi udara rute Weda Ternate dapat dilakukan. Bandara yang ada saat ini di Lelilef tidak dapat lagi dikembangkan mengingat lokasinya sangat terbatas dan adanya dugaan sumber minyak lepas pantai di teluk Weda dan teluk Mafa, sehingga perlu dikembangkan bandara baru di desa Loleo Kecamatan Weda Selatan dengan kebutuhan lahan 300 Ha. Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah berkepentingan dengan adanya pengelolaan perkebunan kelapa milik PEMDA Halmahera Tengah seluas 411 Ha yang terletak di desa Tilopi dan Sosowomo. Berdasarkan hasil observasi di lapangan dengan menggunakan GPS maka posisi perkebunan Kelapa PEMDA Halmahera Tengah berada dalam wilayah KPHP GS. Pengelolaan perkebunan kelapa eks Perusahaan Nasional Perkebunan PNP XXVIII Tilopi oleh Dinas Perkebunan dilakukan bersama dengan masyarakat setempat dengan sistem bagi hasil. Masyarakat dikoordinir oleh beberapa orang mandor lapangan guna memanen kelapa setiap 4 bulan untuk kemudian diolah menjadi kopra. Hasil pembagian kopra dengan perbandingan 50 bagian masyarakat dan 50 merupakan bagian dari PEMDA Kabupaten Halmahera Tengah yang dihitung sebagai PAD. Dalam tahun anggaran 2012, Dinas Perkebunan telah ditargetkan untuk memasukan PAD dari perkebunan kelapa sebanyak Rp. 45.000.000 empat puluh lima juta rupiah. Dalam diktum memperhatikan dalam Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor 525KEP46.a2005, disebutkan bahwa Kebun Eks PNP XXVIII Tilopi Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah merupakan aset daerah dan masih berproduksi dan dapat memberikan kontribusi bagi daerah dalam bentuk PAD. Sehingga pengelolaan perkebunan kelapa eks PNP XXVIII Tilopi merupakan kepentingan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Tengah yang sampai saat ini masih aktif dijalankan bahkan terus dipertahankan dan 70 dikembangkan lebih lanjut sesuai arah kebijakan pembangunan perkebunan, dengan umur tanaman kelapa yang sudah tua sebagaimana terlihat pada Gambar 10. Gambar 10 Perkebunan Kelapa Eks PNP XXVIII yang menjadi asset PEMDA Pengelolaan perkebunan kelapa eks PNP XXVIII Tilopi oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah didasarkan pada Keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor 525KEP46.a2005. Pengelolaan perkebunan kelapa eks PNP XXVIII Tilopi sesuai dengan SK ini meliputi: 1 Pengelolaan sumber daya secara optimal dan berkelanjutan; 2 Melakukan rehabilitasi, intensifikasi, dan diversifikasi terhadap kebun eks PNP XXVIII Tilopi; 3 Pengelolaan hasil produksi kopra secara periodikberkala. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah Bapak Ir. Said M. Yastab, MM., terkait dengan pengelolaan perkebunan kelapa milik Pemkab Halmahera Tengah eks PNP XXVIII Tilopi, beliau mengungkapkan beberapa rencana startegis antara lain: dalam APBD Kabupaten Halmahera Tengah maupuan sharing dari APBD Provinsi Maluku Utara, setiap tahun dianggarkan untuk peremajaan kelapa terutama pada Blok yang masih memungkinkan untuk diusahakan sedangkan untuk Blok C yang sudah tidak dapat diharapkan untuk dilanjutkan pengelolaan komoditi kelapa akan dialokasikan menjadi Kebun Induk Benih Perkebunan Kabupaten Halmahera 71 Tangah dengan berbagi komoditi seperti pala, kelapa mapanit kelapa dari Gorontalo, kakao dan cengkeh. Sedangkan tanah-tanah yang kosong akan dilakukan optimalisasi dengan melakukan pengayaan tanaman kelapa untuk meningkatkan angka indeks pertanaman yang ideal yakni 100 pohon Ha.

5.1.2.3 Status Tata Kelola Masyarakat Lokal

Pengelolaan tanah dan SDA yang diklaim oleh masyarakat lokal pada dasarnya terbagi menjadi pemanfaatan untuk pemukiman dan kebun. Pemukiman masyarakat lokal umumnya berada di pesisir pantai dengan bangunan rumah yang sudah permanen dan merupkan desa defintif pada masa kesultanan Tidore 1921, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pembangunan fasilitas umum dan sosial seperti sekolah, puskesmas dan tempat ibadah saat ini sudah dibangun oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Penguasaan tanah dan SDA pada kawasan hutan untuk kebun di Desa Loleo sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Biasanya masyarakat lokal mengklaim suatu lokasi tanah dengan menanam pohon kelapa, merawatnya sampai menghasilkan buah untuk kemudian diolah lebih lanjut menjadi Kopra. Tanah-tanah yang sudah ditanami tanaman kelapa merupakan sumber kehidupan sehari-hari masyarakat lokal dan mereka hidup dalam realitas seperti itu. Dengan adanya akses jalan raya yang melintasi Wilayah KPHP GS semakin memudahkan masyarakat lokal mengolah tanah dan SDA yang ada sehingga pembukaan wilayah hutan untuk menjadi lahan perkebunan menjadi hal yang tidak dapat dihindari, sehingga kiri kanan jalan raya dipenuhi dengan perkebunan kelapa milik masyarakat. Ketergantungan masyarakat lokal terhadap kebun tersebut sangat tinggi, di mana hampir seluruh kebutuhan pokok hidup mereka digantungkan pada kebun tersebut. Berdasarkan hasil observasi dengan menggunakan GPS, seluruh kebun masyarakat lokal berada dalam kawasan hutan produksi tetap dan wilayah KPHP GS sesuai Peta Kawasan Hutan dan Perairan Maluku yang merupakan Lampiran SK Menteri Kehutanan Nomor 415Kpts-II1999. BPS 2011, Luas perkebunan yang diusahakan oleh masyarakat Desa Loleo : 3.957 Ha, Desa Sosowomo seluas 2.357 Ha dan desa Tilopi seluas 5.482 Ha. 72

5.1.2.4 Status Tata Kelola Masyarakat Transmigrasi

Selain masyarakat lokal yang keseluruhan wilayah desanya masuk dalam wilayah KPHP GS, terdapat juga masyarakat transmigrasi yang memiliki lahan usaha II yang sudah bersertifikat hak milik yang sebagian 94 Ha berada dalam wilayah KPHP GS berdasarkan hasil observasi lapangan dengan menggunakan GPS. Berdasarkan hasil wawancara, pemanfaatan lahan usaha II yang berada dalam wilayah KPHP GS oleh transmigrasi hanya sebagian kecil ditanami palawija pada tahun 1993-1994 karena masyarakat transmigrasi masih fokus dalam pengelolaan lahan usaha I yang ditanami tanaman pangan. Rencana pemanfaatan lahan usaha II oleh transmigrasi adalah ditanami tanaman keras yang komersial seperti kakao, kelapa setelah lahan tersebut dibersihkan oleh PT Sulindo melalaui kegiatan ijin pemanfaatan kayu IPK. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, lahan usaha II dimaksud didominasi dengan tanaman kelapa yang dikuasai oleh masyarakat lokal sejak tahun 1994 sampai sekarang. Tanaman kelapa tersebut menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat lokal mengingat saat ini tanaman kelapa memasuki masa produksi yang maksimal, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Tanaman kelapa yang sudah berproduksi pada lahan usaha II yang dikuasai oleh masyarakat lokal sejak tahun 1994.