Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Lokal

60 Luasan pembukaan hutan untuk pembuatan kebun tergantung kemampuan masing-masing individu. Kebun yang telah diolah diberi batas kepemilikan dengan menggunakan batas alam seperti batu besar, alor, sungai, goa dan sesuatu yang menonjol di alam dan tidak hilang dan berubah. Kalau tidak terdapat tanda- tanda alam maka biasanya dibuatkan batas buatan berupa tanaman kelapa kembar dua kelapa yang ditanam berhimpitan sebagai pembatas sebagaimana terlihat pada Gambar 5. BPS 2011 mengeluarkan angka luas penggunan lahan yang diusahakan untuk tanaman kelapa di desa Loleo rata-rata 2 3 Ha KK. Gambar 5 Batas-batas kepemilikan kebun dengan tanaman kelapa kembar. Untuk menguatkan hak kepemilikan tanah pemukiman di desa Loleo sebagian besar masyarakat sudah mendaftarkan tanahnya ke BPN untuk memperoleh sertifikat hak milik, menurut Zain Staf BPN Kab Hal-Teng sebagian besar pemukiman di desa Loleo sudah didaftarkan ke BPN untuk disertifikatkan dan sebagian lagi sudah kami terbitkan sertifikat hak milik. Sertifikat hak milik yang diterbitkan BPN Kabupaten Halmahera Tengah sebagai penguatan hak-hak rakyat atas tanah. Sebagai konsekuensi dari penerbitan sertifikat hak milik tanah adalah kewajiban membayar pajak, dan hal ini pun telah dilaksanakan masyarakat dalam pelunasan pajak sesuai bukti SPPT, sebagaimana terlihat pada Gambar 6. 61 Gambar 6 Sertifikat tanah di Desa Loleo dan bukti pelunasan pajak. Penguasaan tanah dan SDA yang ada saat ini pada masyarakat desa Loleo secara turun temurun khususnya dalam bentuk kebun, masih dapat dilihat bukti fisiknya dengan umur tanaman kelapa sudah lebih dari 70 tahun sebagaimana tersaji pada Gambar 7. Kondisi tanaman kelapa tersebut tetap dirawat secara turun temurun oleh masyarakat desa Loleo dikarenakan sampai saat ini salah satu sumber penghasilan masyarakat adalah dari produksi kelapa tersebut. Gambar 7 Bukti klaim penguasaan tanah dengan menggunakan tanaman kelapa oleh masyarakat lokal. Norma dan aturan yang tidak tertulis dalam masyarakat namun dipatuhi dalam mengatur masyarakat terkait penguasaan lahan dan SDA di desa Loleo 62 terlihat dari beberapa hal: 1 Sistem Minta Izin; 2 Ritual pembukaan lahan dan; 3 Sanksi-sanksi, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: 1 Sistem Minta Izin, pembukaan hutan untuk membuat kebun baru harus melalui suatu mekanisme minta izin kepada pemilik kebun atau yang memberi tanda di hutan yang terdahulu. Prosesnya pertama orang yang ingin membuka hutan untuk berkebun harus mencari tahu terlebih dahulu siapa yang sudah berkebun di sekitar lokasi tersebut, atau mencari tahu orang yang sudah memberi tanda di hutan untuk meminta izin berkebun di sebelahnya, Kedua pemilik kebun yang lebih duluan akan mengarahkan di mana yang bersangkutan boleh memulai membuka hutan dan di mana batas-batas kebun awal, Ketiga batas yang telah ditunjukan oleh pemilik kebun yang lebih dahulu dijadikan batas, batas selanjutnya ditentukan oleh kemampuan orang kedua tadi membuka hutan untuk dijadikan kebun, Keempat begitu selanjutnya orang ketiga yang ingin berkebun harus meminta izin ke orang yang kedua tadi apabila ingin menyambung kebun yang telah diolahnya, sehingga tidak ada terjadi tumpang tindih lahan. 2 Ritual pembukaan lahan, kebiasaan masyarakat desa Loleo dalam membuka hutan untuk pembangunan kebun dilakukan dengan ritual pengujian lokasi dengan 2 dua cara yakni Pertama: menancapkan kampak pada salah satu pohon yang paling besar di sekitar lokasi hutan yang akan dibuka untuk menjadi kebun. Kemudian dibiarkan selama 2 hari, jika kampak yang ditancapkan tetap berada pada tempatnya, maka itu menjadi pertanda lokasi tersebut cocok untuk dijadikan kebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tempat tersebut aman untuk melakukan aktifitas berkebun dan masyarakat merasa aman untuk bisa membangun gubuk untuk dapat bermalam pada saat- saat tertentu. Sebaliknya apabila kampak terjatuh dari pohon maka pertanda ada penolakan dari alam terhadap seseorang untuk berkebun, dan keamanan dalam berkebun kurang baik sehingga biasanya orang bersangkutan lebih memilih lokasi lain. Kedua: pada lokasi calon kebun digali tanahnya kemudian membenamkan seutas tali yang telah diukur setengah depah sampai ke mulut, kemudian membiarkan selama 1 hari, keesokan harinya tali tersebut diukur kembali setengah depah sampai ke mulut, jika ukuran tali masih seperti semula 63 menandakan lokasi tersebut cocok untuk dijadikan kebun, tetapi kalau ukurannya berubah maka lokasi tersebut jika diusahakan untuk kebun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga biasanya untuk lokasi seperti ini sebelum diolah menjadi kebun biasanya didoakan terlebih dahulu oleh bapak Imam desa Loleo. 3 Sanksi-sanksi, dengan kebiasaan meminta izin untuk membuka kebun yang berbatasan dengan kebun yang lebih awal, maka hal ini memperkuat pengakuan kepemilikan orang lain dan sekaligus memastikan agar tumpang tindih kebun tidak terjadi, namun dalam berjalannya kehidupan sehari-hari maka serobot menyerbot lahan orang lain kadang terjadi baik yang sengaja maupun yang tidak disengaja, sehingga sanksi yang berlaku di desa Loleo cukup dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, bentuk-bentuk sanksi terkait dengan penyerobotan lalan orang lain yakni: 1 Tukar tenaga; kondisi ini diberlakukan jika tanpa sengaja seseorang terlanjur membersihkan hingga menerobos ke kebun sebelahnya sampai dihentikan oleh pemilik sebenarnya. Maka pemilik yang lahannya diserobot memanggil bersangkutan untuk sama- sama mengukur luasan yang telah dibersihkan untuk ditaksir berapa hari yang digunakan untuk membersihakan luasan tersebut untuk diganti tenaganya oleh pemilik lahan yang diterobos. Pemilik lahan tersebut harus membersihkan kebun dari orang yang menerobos selama hari yang telah disepakati; 2 Mencabut Tanaman; bagi orang yang tidak sengaja menerobos kebun orang lain dan menanam tanaman seperti kelapa, maka yang bersangkutan diwajibkan mencabut seluruh tanaman yang telah ditanam tanpa ada yang tersisa; 3 Ganti rugi dengan uang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 5.1.1.4 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Transmigrasi Masyarakat desa Lembah Asri awalnya adalah Masyarakat transmigrasi yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Melalui program Transmigrasi Nasional pada tahun 1991, masyarakat transmigrasi menempati SP1 Wairoro desa Nusliko Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah yang terdiri dari 254 KK. Setiap kepala keluarga di beri jatah lahan seluas 2 Ha terdiri dari lahan pekarangan seluas 0,25 Ha, lahan usaha I seluas 0,75 Ha dan lahan usaha II 64 seluas 1 Ha. Pada tahun 1993 BPN menyerahkan sertifikat hak milik atas ketiga lahan tersebut kepada masing-masing kepala keluarga. Dengan demikian kepastian hak atas tanah yang akan digarap dan ditempati semakin kuat. Proses penguasaan lahan usaha II dimulai dengan pengundian terlebih dahulu nomor petak tanah yang telah dibagi-bagi oleh pihak Departemen Transmigrasi. Nomor lahan yang diambil masing-masing kepala keluarga kemudian dicek ke lapangan guna memastikan posisi lokasi lahan II masing- masing KK yang dipandu oleh petugas dari Transmigrasi. Untuk memperjelas batas kepemilikan seluruh kepala keluarga masyarakat transmigrasi membersihkan rintisan batas secara beramai-ramai. Beberapa waktu kemudian ada masyarakat transmigrasi yang langsung menanami dengan palawija selama 2 tahun berturut-turut tahun 1992 –1993. Untuk lebih memperkuat penguasaan lahan usaha II pada tahun 1993 BPN menyerahkan sertifikat hak milik tanah kepada masyarakat transmigrasi pada lahan tersebut. Pada tahun 1994, sebagian lahan usaha II 94 Ha yang berada di bagian utara pemukiman transmigrasi diklaim oleh masyarakat lokal yang merasa bahwa tanah yang dijadikan lahan usaha II merupakan tanah perkebunan mereka. Peristiwa ini dimulai pada saat masuknya PT Sulindo atas persetujuan masyarakat transmigrasi untuk melakukan pembersihan areal lahan usaha II dan kayunya diambil oleh PT Sulindo. Lokasi-lokasi yang sudah diambil kayunya dan ada akses jalan, oleh masyarakat lokal ditanami kelapa sebagai suatu bentuk klaim kepemilikan. Secara fakta saat ini, lahan usaha II tersebut sudah menjadi areal kebun kelapa yang dikuasai oleh masyarakat lokal. Menyikapi hal tersebut di atas masyarakat transmigrasi mengadukannya ke pihak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sertifikat tanah yang ada di tangan masyarakat transmigrasi tetapi tanahnya diolah oleh masyarakat lokal, karena berlarut-larutnya persoalan ini tanpa adanya penyelesaian, maka masyarakat transmigrasi yang lahan usaha II-nya dikuasai masyarakat lokal berinisiatif untuk mengolah lahan-lahan milik pemerintah yang belum disertifikasi lahan R 1 sebagai alternatif lahan usaha II. Masyarakat transmigrasi memilih mengolah tanah di tempat lain daripada harus beradu fisik dengan masyarakat 1 Lahan sisa pengukuran pada wilayah transmigrasi yang belum disertifikat. 65 lokal. Lahan-lahan alternatif yang diolah masyarakat transmigrasi berdasarkan pengecekan di lapangan menggunakn GPS masuk dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Pada lahan R ini masyarakat transmigrasi mengolahnya dengan menanam tanaman keras seperti kelapa, kakao, pala, dan tanaman pangan lainnya seperti pisang dan ubi kayu. Gambar 8 Posisi lahan R sebagai alternatif pengganti Lahan Usaha II dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa. Dalam kehidupan sosial masyarakat desa Lembah Asri yang terkait dengan norma-norma penguasaan tanah dan SDA tidak terdapat sesuatu yang khas, hal ini dikarenakan keberadaan masyarakat Lembah Asri merupakan suatu program pemerintah untuk meratakan kepadatan penduduk dan mendatangkan masyarakat transmigrasi untuk membangun di Kabupaten Halmahera Tengah. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat transmigrasi dikatakan bahwa sebelum diberangkatkan ke lokasi mereka sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan termasuk masalah hukum, hak dan kewajiban. Salah satu hak mereka adalah memperoleh lahan seluas 2 Ha yang dibuktikan dengan sertifikat. Aturan penguasaan lahan mengikuti aturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah seperti Departemen Transmigrasi dan Badan Pertanahan Nasional . 66

5.1.2 Status Tata Kelola Dalam Wilayah KPHP GS

Galudra et al. 2006 menyatakan bahwa bentuk perencanaan pengelolaan tata kelola atas tanah dan SDA yang diklaim oleh masyarakat dapat berupa pemukiman, kebun dan hutan, sedangkan oleh pemerintah dapat berupa rencana tataruang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rencana pengelolaan tata kelola atas tanah dan SDA yang diklaim oleh UPTD KPHP GS, PEMDA, Masyarakat Lokal dan Masyarakat Transmigrasi cukup bervariasi.

5.1.2.1 Status Tata Kelola UPTD KPHP GS.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Gunung Sinopa, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara, pada diktum keempat dinyatakan bahwa Wilayah KPHP model sebagaimana diktum Kesatu agar dikelola secara lestari oleh unit organisasi pengelola KPHP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Unit organisasi tersebut telah ditindaklanjuti oleh Gubernur Maluku Utara dengan terbitnya peraturan Gubernur Maluku Utara Nomor 7 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP GS pada Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Peraturan Gubernur Maluku Utara tersebut di atas dapat dimaknai bahwa UPTD KPHP GS memiliki legitimasi wilayah pengelolaan seluas ± 44.577,14 Ha untuk dikelola secara lestari sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Adapun kegiatan pengelolaan hutan yang dimaksud meliputi: 1 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, 2 Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3 Rehabilitasi dan reklamasi hutan dan 4 perlindungan hutan dan konservasi hutan. Kartodihardjo et al. 2011 kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan dalam wilayah KPH dapat merupakan kombinasi antara pemegang ijin dan pengelola KPH, oleh karena itu pengelolaan hutan seperti tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi hutan perlu dipertimbangkan kebutuhan bersama di dalam KPH. 67 Dalam pengelolaan KPH sebenarnya terjadi alokasi dan realokasi sumberdaya yang menyebabkan pihak-pihak tertentu diuntungkan atau dirugikan. Realitas demikian ini tidak dapat dihindari karena merupakan bagian dari kenyataan pembangunan Kartodihardjo et al. 2011. Dengan demikian UPTD KPHP GS merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya yang ada dalam wilayahnya untuk dapat dikelola sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 5.1.2.2 Status Tata Kelola PEMDA Sebagai Kabupaten Hasil Pemekaran tahun 2003, Kabupaten Halmahera Tengah sedang menata pembangunan yang dimulai dengan penyusunan rancangan RTRW Kabupaten sebagai pedoman pembangunan yang berkelanjutan dan diharapkan dapat efisien dan efektif dalam memanfaatkan ruang wilayah. Dengan karakteristik wilayah kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah membutuhkan suatu struktur ruang yang kompak serta didukung oleh sistem transportasi regional yang handal. BAPPEDA Halteng 2011 untuk itu dalam pengembangan struktur ruang Kabupaten, sesuai kaidah penataan ruang, perlu memperhatikan unsur-unsur pokok seperti: 1 Pusat-pusat pertumbuhan; 2 Pelabuhan sebagai simpul penghubung sistem transportasi; 3 Kawasan strategis. Pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir merupakan komponen penting dalam membangun struktur ruang wilayah kepulauan. Dalam hal ini pusat-pusat tersebut berfungsi sebagai tempat berkumpulnya berbagai aktivitas yang ada di suatu pulau. Pusat pertumbuhan di pesisir ini menjadi titik temu dari aktivitas di wilayah daratan hinterland dengan aktivitas di wilayah lautan. BAPPEDA Halteng 2011 rencana struktur ruang Kabupaten Halmahera Tengah dengan membagi wilayah kota ke dalam beberapa zona pengembangan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang efisien dalam pemanfaatan ruang dan efektif dalam membentuk struktur-struktur pelayanan umum serta terpadu dan bersinergi dalam memanfaatkan semua potensi dan sumberdaya yang tersedia. Kabupaten Halmahera Tengah sebagai wilayah yang relatif baru telah mengalami perubahan