Identifikasi Tipologi Masalah Sosial Terkait Tenurial Dalam Wilayah KPHP GS

115 berpoteni menimbulkan konflik parapihak. Selain itu pembentukan wilayah KPHP Gunung Sinopa diperhadapkan dengan proses penataan ruang Kabupaten Halmahera Tengah, akibat dari perintah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Realitas tersebut memberikan gambaran bahwa ada persoalan sosial dalam wilayah KPHP GS dalam proses pembangunan dan pengembangan KPHP ke depan. Kartodihardjo et al. 2011 menguraikan bahwa berdasarkan fakta yang dialami beberapa KPH baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa diidentifikasi ada 4 empat tipologi masalah sosial dalam wilayah KPH, yakni: 1 Konflik tenurial berat; masalah ini dicirikan oleh adanya alas hak yang kuat dari masyarakat, baik secara hukum adat mupun secara hukum positif. Masalah keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran masayarakat beraktifitas dalam kawasan hutan. 2 Konflik tenurial ringan; masalah ini dicirkan dengan oleh adanya penguasaan lahan yang dapat dibuktikan kelemahan atas haknya. 3Masalah akses terhadap sumberdaya hutan; masalah ini dicirikan dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan tanpa adanya klaim penguasaan lahan dalam kawasan hutan 4. Masalah aktivitas haram ; masalah ini dicirkan dengan penguasaan lahan dan atau akses terhadap sumber daya hutan yang tidak memiliki alas hak dan bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap parapihak yang ada dalam wilayah KPHP GS secara sosial budaya sudah terdapat klaim penguasaan atas tanah dan sumber daya alam yang cukup panjang akar sejarahnya, sudah memiliki alas hak yang diakui institusi lokal dan institusi formal. Klaim penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak dalam wilayah KPHP GS jauh sebelum adanya penunjukan kawasan hutan dan perairan Maluku, sesuai SK Menhut Nomor 415Kpts-II1999, jauh sebelum penetapan wilayah KPHP GS berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010. Berdasarkan hasil analisis sekumpulan hak Bundle of rights parapihak dalam wilayah KPHP GS, dapat dipetakan sebagai berikut: 1 PEMDA dan Masyarakat Lokal berposisi sebagai Pemilik owner atas klaim penguasaan tanah dan SDA; 2 Masyarakat Transmigrasi berposisi sebagai pengunjung yang 116 diijinkan authorized entrant atas klaim lahan usaha II dalam wilayah KPHP GS karena secara fakta masyarakat transmigrasi hanya memiliki hak akses, 3 masyarakat transmigrasi berposisi sebagai pengelola tetap proprietor atas klaim lahan R yang berada dalam wilayah KPHP GS, kondisi faktual ini semakin menambah masalah sosial yang mengarah pada konflik tenurial berat. Posisi masing-masing pihak terkait dengan sekumpulan hak yang melekat pada dirinya berdampak pada masalah ekonomi, politik dan kehidupan sehari-hari parapihak. Persepsi parapihak terkait dengan kepastiankeamanan tenurial Tenure secuirity terhadap tanah dan SDA yang diklaim dalam wilayah KPHP GS membawa masalah tersendiri dalam pembangunan KPH. Untuk mengamankan dan memastikan klaim atas tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS parapihak mengambil tindakan sesuai yang dipersepsikan sehingga ada konsistensi antara makan dan tindakan terkait keamanankepastian tenurial. Tindakan nyata di lapangan mulai dari membuat tanda penguasaan tanaman kelapa, memobilisasi kekuatan penekan baik secara politik, adat, sampai kekuatan fisik. Keadaan seperti ini mencirikan adanya persoalan sosial dan jika dikaitkan dengan tenurial maka dapat dikategorikan konflik tenurial berat. Berdasarkan uraian di atas, maka tipologi masalah sosial di dalam wilayah KPHP GS dapat diidentifikasi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP GS Tipologi Masalah Sosial Alas Hak klaim Tanah Ketergantu- ngan hidup pada klaim tanah Bukti Sejarah Keterlanjuran dalam kawasan hutan Konflik Tenurial Berat Kuat Tinggi Ada Terlanjur Sumber: Kartodihardjo et al. 2011 dimodifikasi 117 6 PENATAAN TENURIAL DALAM WILAYAH KPHP GS Tenurial merupakan suatu penguasaan atas tanah dan segala tanaman yang ada di atasnya Fauzi 2002. Tenurial menunjukkan kompleksitas kepemilikan dan penguasaan serta akses atas tanah dan sumber-sumber alam, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baik berdasarkan norma yang berkembang dan hukum legal formal, maupun berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekkan masyarakat, diantara orang-orang, baik sebagai individu ataupun kelompok Afiff 2005. Penataan tenurial dalam wilayah KPH adalah suatu proses menata wilayah KPH dengan memperhatikan klaim penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak sehingga diharapkan saling bersinergi dalam pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya alam baik berdasarkan norma yang berkembang dan hukum legal formal maupun berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekkan masyarakat. Penataan tenurial dalam wilayah KPHP GS merupakan suatu kegiatan yang dapat dikaitkan dengan kegiatan tata hutan. Kartodihardjo et al. 2011 menyatakan bahwa kegiatan tata hutan pada dasarnya dilaksanakan untuk memastikan pemanfaatan dan penggunaan sumber daya hutan yang dilaksanakan secara terencana berdasarkan informasi sumberdaya hutan, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang akurat dengan memperhatikan kebijakan pemerintah, provinsi, kabupatenkota termasuk integrasi tata ruang. Salah satu kegiatan tata hutan adalah inventarisasi hutan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi potensi, kakarteristik, bentang alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta informasi lainnya pada wilayah KPH. Dalam penelitian ini, aspek sosial, budaya dan ekonomi terkait dengan tenurial menjadi perhatian utama dengan segala dinamikanya dalam mewarnai pembangunan KPHP GS, yang didasarkan pada kebijakan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, kondisi sosial, budaya, sejarah, kependudukan, pemukiman, ekonomi dan politik lokal yang berhubungan dengan masalah klaim penguasaan atas tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS. Penataan tenurial dalam hal ini menjadi suatu yang penting dalam mendukung manajemen UPTD KPHP GS dalam melaksanakan tata hutan yang baik dan menyeluruh. 118 Penataan tenurial sangat diharapkan dapat bermanfaat dan bisa menjadi arah menuju solusi konflik dalam wilayah KPH, keberadaan UPTD KPHP GS di tingkat tapak sangat diharapkan berperan aktif dalam proses penataan tenurial guna mengidentifikasi peluang-peluang penyelesaian konflik dalam wilayah KPHP GS. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses penataan tenurial dalam wilayah KPHP GS bisa dimulai dari mengidentifikasi tipologi masalah sosial terkait tenurial, kemudian pemetaan tenurial berdasarkan permasalahan yang ada. Berangkat dari tiplogi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP GS yang telah diidentifikasi melalui suatu analisis menyeluruh terkait dengan konflik klaim parapihak, kuatnya hak kepemilikan parapihak atas klaim penguasaan tanah dan SDA serta cara untuk mendapatkan dan mempertahankan keamanankepastian tenurial parapihak maka tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam KPHP GS adalah tipologi konflik tenurial berat. Penataan tenurial dalam wilayah KPHP GS dengan didasari konflik tenurial berat dapat dilaksanakan dengan arahan setrategis sebagai berikut Kartodihardjo et al. 2011: 1 Mengembangkan tata ruang mikro bersama parapihak untuk menyepakati norma pemanfaatan masing-masing fungsi ruang yang disepakati; 2 Merekomendasikan penyelesaian hukum melalui revisi tata ruang bagi areal yang tidak dapat dipertahankan sebagai kawasan hutan.

6.1 Pemetaan Tenurial dalam wilayah KPHP

Hasil identifikasi masalah sosial yang ada dalam wilayah KPHP GS dan arahan strategis yang telah digariskan, selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk pemetaan tenurial berdasarkan lama waktu penguasaan tanah dan SDA dan arahan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah. Pemetaan dimaksudkan agar wilayah KPHP GS dapat terbagi habis atas wilayah-wilayah kelola masyarakat, wilayah kelola Pemda, wilayah kelola pihak ketiga dan UPTD KPHP GS sendiri. Wilayah KPHP Model GS berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010 seluas ± 44.577,14 Ha terdiri dari Hutan Lindung seluas 21.056,89 Ha , Hutan Produksi Terbatas seluas 13.916,75 Ha, dan Hutan Produksi seluas 9.603,50 Ha. Sebagian dari luasan tersebut secara de facto 119 terdapat desa Loleo dengan luas wilayah 10.455 Ha BPS 2011, dengan demikian hampir seperempat dari wilayah KPHP GS juga merupakan wilayah desa Loleo. Dari sejarah keberadaan desa Loleo harus menjadi perhatian pihak UPTD KPHP GS sehubungan dengan lamanya waktu interaksi masyarakatnya dengan wilayah yang diklaim dalam wilayah KPHP GS. Selain masalah keberadaan masyarakat dalam wilayah KPHP, yang menarik adalah RTRW Kabupaten Halmahera Tengah. Sebagai Kabupaten yang baru dimekarkan, pemanfaatan ruang untuk pembangunan yang tertuang dalam RTRW Kabupaten menjadi sesuatu yang mutlak, sehingga irisan antara ruang yang akan dimanfaatkan oleh Pemda dengan klaim wilayah KPHP GS harus mendapatkan solusi sebaik-baiknya sehingga menjadi suatu peluang saling menguatkan antara Pemda dengan UPTD KPHP GS. 6.1.1 Berdasarkan Lama Waktu Penguasaan Tanah dan SDA 6.1.1.1 Penguasaan lebih dari 20 Tahun secara berturut-turut Tanah dan SDA yang diklaim penguasaannya oleh parapihak secara berturut-turut selama 20 tahun atau lebih dan dengan itikad baik serta tidak ada komplain dari masyarakat lain sudah berhak didaftarkan untuk mendapatkan sertifikat hak milik sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan data sekunder dari berbagai instansi terkait, bahwa dalam wilayah KPHP GS terdapat beberapa pihak yang mengklaim penguasaan tanah dan SDA lebih dari 20 tahun yakni: 1 Klaim penguasaan atas perkebunan kelapa eks PNP XXVIII Tilopi oleh Pemda Kabupaten Halmahera Tengah seluas 411 Ha; 2 Masyarakat lokal Desa Loleo mengklaim penguasaan atas tanah pada pemukiman mereka yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, selain pemukiman terdapat juga kebun yang sudah diusahakan masyarakat desa Loleo sejak tahun 1910, luas tanah yang diusahakan untuk pertanian di desa Loleo seluas 3.957 Ha BPS 2011. Dari luasan tersebut tidak semua klaim penguasaan tanah dan SDA sudah lebih dari 20 tahun, untuk dapat memastikan klaim penguasaan sudah lebih dari 20 tahun maka dapat ditelusuri dari umur pohon kelapa yang tumbuh di atas tanah yang diklaim tersebut seperti pada Gambar 14 dimana tanaman kelapa dapat memberi petunjuk