412
Secara teoritis sebenarnya bila otonomi seluas-luasnya diselenggarakan, maka DPRD seharusnya diberi posisi yang kuat
kedudukannya dan besar kekuasaannya, bukan Kepala Daerah atau paling tidak kedudukan diantara keduanya seimbang balances, sedangkan bila
kekuasaan terpusat pada kepala daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun alat pemerintah, maka otonomi yang diberikan bukan otonomi
seluas-luasnya, malahan ada upaya penguatan dekonsentrasi. Oleh sebab itu sulit dimengerti maksud pemberian otonomi riil dan seluas-luasnya dalam
undang-undang ini, apalagi adanya pertanggung jawaban DPRD kepada Kepala Daerah, akan tetapi hal seperti itulah yang dikehendaki oleh sistem
ketatanegaraan pada saat itu.
619
F. Pengaturan DPRD Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
1. Tinjauan Umum
Setelah Orde Baru lahir, maka Undang-undang No. 18 Tahun 1965 mulai dikaji ulang, karena dipandang sebagai sesuatu yang sangat tidak demokratis dan
bertentangan dengan UUD 1945. Demokrasi Terpimpin dan Manipol USDEK yang menjadi landasannya bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang oleh Orde Baru
akan ditegakkan secara murni dan konsekuen. Oleh sebab itu pada tanggal 5 Juli 1966 MPRS mengeluarkan suatu Ketetapan yang menyangkut otonomi daerah, yaitu
619
Ibid.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
413
Ketetapan MPR NO. XXIMPRS1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah.
Dalam Ketetapan MPRS tersebut, yang hanya berisi 7 tujuh Pasal mengandung 2 dua pokok pikiran : Pertama, asas desentralisasi harus dilaksanakan
secara konsekuen dengan meletakkan tanggung jawab otonomi riil yang seluas- luasnya di tangan pemerintah daerah, di samping menjalankan politik dekonsentrasi
sebagai komplemen yang vital
620
. Kedua, Pemerintah bersama DPRGR harus meninjau kembali produk hukum sebelumnya untuk disesuaikan dengan paradigma
baru dalam rangka kembali kepada UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk menindaklanjuti amanat Ketetapan MPRS tersebut, maka pada awal
tahun 1968 Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah merumuskan beberapa Rancangan Undang-undang. Pada tanggal 16 Maret 1968 Presiden telah
menyampaikan kepada Pimpinan DPR dua buah Rancangan Undang-undang, yaitu : Rancangan Undang-undang tentang Hubungan Pemerintah dengan Pemerintah di
Daerah, Rancangan Undang-undang tentang Daerah Swatantra, dan kemudian pada tanggal 20 Juni 1970 Rancangan Undang-undang tentang Dekonsentrasi
621
. Akan tetapi format otonomi seluas-luasnya ini kemudian berubah setelah
adanya Sidang Umum MPR tahun 1973 yang melahirkan 2 dua produk MPR berkenaan dengan Pemerintahan Daerah :
620
M. Solly Lubis, Perkembangan Garis …, op.cit., hlm. 173.
621
Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi …, op.cit., hlm. 209. Perhatikan juga The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Yogyakarta:
Liberty, 1995, hlm. 79.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
414
1. Ketetapan MPR No. IVMPR1973 tentang GBHN, yang di dalamnya memuat
garis besar penyelenggaraan pemerintah daerah, yang antara lain mengamanatkan prinsip pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut:
622
“Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan
bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar ketentuan negara kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah
yang nyata dan bertanggung jawab dan yang dapat menjamin perkembangan serta pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan
dekonsentrasi”.
2. Ketetapan MPR No. VMPR1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang
Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, yang antara lain menyatakan tidak berlaku lagi “Ketetapan MPRS No. XXI tentang Pemberian
Otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah”. Berdasarkan kedua Ketetapan MPR tersebut, maka Pemerintah kemudian
menarik kembali tiga rancangan undang-undang yang diajukan terdahulu dan menggantikannya dengan sebuah Rancangan Undang-undang tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Pemerintah mengemukakan dasar pertimbangan utama menggantikan ketiga rancangan undang-undang tersebut dengan satu rancangan
undang-undang, yang disampaikan pada tanggal 30 April 1974, antara lain sebagai berikut
623
: 1.
Untuk lebih menyempurnakan materinya sesuai dengan perkembangan keadaan, terutama disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang telah
ditegaskan dalam GBHN.
622
Perhatikan Moh. Mahfud M.D. , Perkembangan Politik Hukum …, op.cit., hlm. 476.
623
Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi …, op.cit., hlm. 210.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
415
2. Mempermudah penguasaan masalahnya secara menyeluruh
mengingat bahwa materi yang diatur dalam ketiga rancangan undang- undang yang terdahulu sangat erat hubungannya satu dengan yang
lain, sehingga dengan demikian juga akan mempermudah dan mempersingkat waktu pembahasan dalam sidang-sidang DPR
3. Mencegah kemungkinan timbulnya kesimpangsiuran dalam
pelaksanaannya nanti.
Berdasarkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, maka asas dekonsentrasi bukan hanya sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas
desentralisasi, akan tetapi mempunyai arti yang sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Oleh karena itu, Rancangan Undang-
undang ini memandang perlu diselenggarakannya pemerintahan di Daerah berdasarkan tiga asas sekaligus, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, akhirnya pada tanggal 23 Juli 1974 Rancangan Undang-undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Berbeda halnya dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang
berlaku sebelumnya, Undang-undang No. 5 tahun 1974 secara resmi bernama “Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penambahan kata
“di” dalam penamaan tersebut disebabkan : “Oleh karena dalam undang-undang ini diatur tentang Pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan daerah Otonom dan Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di
Daerah, yang berarti bahwa dalam undang-undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi, dan asas pembantuan di daerah” Penjelasan Umum.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
416
Dalam hubungan ini, Irawan Soejito berkenaan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah menyebutkan :
Berbeda dengan peraturan perundang-undangan tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang dahulu, pada umumnya mengatur tentang pokok-
pokok pemerintahan Daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi saja, di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 diatur tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah, sehingga dengan demikian dalam Undang-undang tersebut diatur penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi
dan tugas pembantuan serta asas dekonsentrasi.
624
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 telah meninggalkan prinsip “otonomi riil dan seluas-luasnya” dan diganti dengan prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab”. Dalam Penjelasan Umum angka 1 huruf e antara lain dinyatakan bahwa: “… istilah ‘seluas-luasnya’ tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan
pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam
GBHN”.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah lebih lanjut dalam Penjelasan Umum angka 1 huruf i Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip sebagai berikut : 1
pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan
mempertinggi tingkat kesejahteraan Rakyat Indonesia seluruhnya;
2 pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab; 3
asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas
pembantuan;
624
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 22-23.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
417
4 pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek keserasian
dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian; 5
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan
kesatuan Bangsa.
Sebagai undang-undang produk orde baru, yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundang-undangan ini tidak bisa
terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi pembangunan, yaitu: stabilitas yang makin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan
pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang
diarahkan untuk terbentuknya stabilitas Pemerintahan Daerah, yang ciri-cirinya meliputi:
625
a. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif Kepala Daerah.
b. Dihapusnya lembaga BPH Badan Pemerintahan Harian sebagai
perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah versi Undang-undang No. 1 Tahun 1957.
c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu
keutuhan Kepala Daerah. d.
Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hirarki kepada Presiden.
e. Kepala Daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentang
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun.
625
J. Kaloh, op.cit., hlm. 23.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
418
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka terdapat beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut undang-
undang ini, antara lain:
626
Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas
antara Daerah otonom dengan daerah administratif, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua kedudukan sekaligus, yaitu sebagai daerah
otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga dan sebagai wilayah administratif yang merupakan representasi dari kepentingan Pemerintah Pusat yang
ada di daerah. Prinsip ini diwujudkan sebagai refleksi dari prinsip dekonsentrasi yang diselenggarakan sekaligus dengan desentralisasi.
Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian Wilayah
Administratif berupa Provinsi, KabupatenKotamadya, dan Kecamatan. Daerah otonom yang lebih tinggi berhak memberikan pengawasan terhadap daerah yang
lebih rendah. Hubungan antara Daerah Tingkat I dengan Tingkat II bersifat hirarkis, dalam semua aspek pemerintahan terutama yang menyangkut kekuasaan eksekutif
dan kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, undang-undang ini mengandung prinsip yang bertentangan satu dengan lainnya. Dengan adanya DPRD, maka diharapkan
demokrasi dapat diwujudkan, tetapi dengan sistem otonomi yang bertingkat dan hirarkis dengan sendirinya akan menafikan demokrasi itu sendiri.
626
H.R. Syaukani, dkk, op.cit., hlm. 145-151.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
419
Ketiga, DPRD baik Tingkat I maupun Tingkat II merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 13 ayat 1 undang-undang No. 5
Tahun 1974 yang menyebutkan : Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Prinsip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan pemerintahan daerah di
Indonesia, karena umumnya DPRD terpisah dari Pemerintah Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap Daerah Pasal 67. Hal itu menjadi
bertambah kompleks lagi dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, baik pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan
represif. Kelima, undang-undang ini memberikan kedudukan yang sangat kuat kepada
Kepala Wilayah daripada Kepala Daerah, selaku aparatur pusat, karena Wilayah administratif berlangsung mulai dari Gubernur, BupatiWalikota sampai pada Camat
di tingkat Kecamatan. Keenam, Keuangan Daerah, sebagaimana umumnya dengan undang-undang
terdahulu, diatur secara umum, hanya menyebut sumber keuangan daerah. Akan tetapi daerah sama sekali tidak memiliki keleluasaan dalam menggali sumber daya
keuangan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki oleh Daerah. Sumber daya alam seperti hasil hutan, pertambangan, gas alam, dan mineral
sepenuhnya diatur dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, sementara Daerah hanya menerima sekedar imbalan yang ditentukan oleh Pemerintah.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
420
2. Struktur Pemerintahan Daerah.