225
dengan pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS 1949 belum dapat direalisir akibat revolusi kemerdekaan sedang berlangsung, sehingga secara teknis tidak
memungkinkan untuk diselenggarakan.
364
B. Paradigma Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan Konstitusi RIS 1949.
Perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah UUD 1945,
ternyata dihadapkan dengan beraneka ragam tantangan dan perjuangan, tidak hanya berkaitan dengan konstitusi, akan tetapi juga perjuangan fisik melawan Belanda yang
ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Dengan semboyan politik kolonialnya “divide et impera”, Belanda dimana-
mana mendirikan negara-negara dan lain-lain bagian yang berdiri sendiri, seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur dan sebagainya dengan maksud utama untuk menghancurkan dan meniadakan Negara Republik Indonesia yang baru berdiri.
Sejalan dengan usaha Belanda tersebut, maka terjadilah Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Akibat dari hal ini, hanyalah karena kedudukan
politis dan kekuasaan militer Republik Indonesia dan pengaruh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia United Nations Commission for Indonesia
365
, maka di Den Haag diadakan Konfrensi Meja Bundar dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai
2 Nopember 1949.
364
Moh. Mahfud, MD, Perkembangan Politik …, op.cit., hlm. 140.
365
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 77.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
226
Sejalan dengan pandangan tersebut, J.C.T. Simorangkir mengemukakan sebagai berikut :
Akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB ikut campur tangan mencari peyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda, di satu pihak Indonesia sudah
menyatakan kemerdekaannya, dan di lain pihak Belanda ingin mengembalikan kekuasaan jajahannya. Diusahakanlah suatu konfrensi, yang kemudian
terkenal dengan nama Konfrensi Meja Bundar KMB, dalam mana turut ambil bagian :
-
Republik Indonesia -
BFO, singkatan dari Bijeenkomst voor Federal overleg, yang oleh Joeniarto, S.H. diterjemahkan jadi “Pertemuan untuk Permusyawaratan
Federal”
- Dihadiri pula oleh sebuah Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB
untuk Indonesia
366
. Konfrensi Meja Bundar menghasilkan beberapa persetujuan pokok sebagaimana
diputuskan dalam Rapat Umum kedua yang diadakan di Ridderzaal’s-Gravenhage The Haque Negara pada tanggal 2 November 1949, antara lain disepakati mengenai:
- Pembentukan Negara Indonesia Serikat.
- Piagam “Penyerahan” istilah Belanda: overdracht kedaulatan Catatan:
Indonesia membacanya “pemulihan atau pengakuan kedaulatan”. -
Uni antara Indonesia Serikat dengan Negeri Belanda. -
Persetujuan-persetujuan dirumuskan dalam bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
- Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau badan lain dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengikuti pelaksanaan hasil-hasil yang dicapai dalam Konfrensi Meja Bundar
367
. Selama berlangsungnya Konfrensi Meja Bundar di Den Haag, dibentuk
panitia ketatanegaraan dan hukum tata negara, yang antara lain membahas rancangan
366
JCT Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung , 1984, hlm. 33-34.
367
Ibid.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
227
konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat.
368
Panitia ini telah menyelesaikan pekerjaannya, dan pada tanggal 29 Oktober 1949, antara wakil-wakil Republik
Indonesia dan BFO, negara-negara federal yang telah dibentuk Belanda, di tandatangani Piagam Persetujuan tentang Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Pada 14 Nopember 1949 setelah disetujui oleh sidang pleno Komite Nasional Pusat dan badan-badan perwakilan daerah lainnya, Wakil Pemerintah Republik
Indonesia dan Wakil-wakil Pemerintah Daerah Bahagian dalam pertemuan untuk Permusyawaratan Federal membubuhi tanda tangan pada suatu piagam menyetujui
Undang-undang Dasar Sementara, yang disebut juga dengan Konstitusi RIS 1949. Hasil perundingan tersebut kemudian diumumkan secara resmi dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 48 Tahun 1950, tertanggal 31 Januarin 1950, ditanda tangani oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk
Presiden Republik Indonesia Serikat, yang memutuskan mengumumkan dengan menempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat
369
. Dasar pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden ini adalah
sebagaimana yang tertulis dalam konsideran menimbang : Bahwa naskah Undang-undang Dasar Sementara berisi Konstitusi Republik
Indonesia Serikat, yang disetujui oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Daerah-daerah Bahagian dalam perhubungan Pertemuan untuk
Permusyawaratan Federal di Scheveningen, telah disetujui pula oleh Komite
368
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Jakarta: Sekretariat DPR-GR, 1983, hlm. 68.
369
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 123.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
228
Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat dari masing-masing Daerah Bahagian
370
. Menyadari bahwa sebetulnya badan yang membentuk Konstitusi RIS 1949
kurang representatif, maka dalam konsideran di atas secara tegas disebutkan bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah konstitusi sementara, oleh karenanya
dalam konstitusi itu telah disediakan suatu lembaga yang diberi kewenangan khusus membentuk konstitusi yang bersifat tetap, yakni “konstituante” berdasarkan Pasal 186
Konstitusi RIS 1949: “Konstituante sidang pembuat konstitusi, bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat yang akan menggantikan Konstitusi Sementara ini”.
371
Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka Republik Indonesia hanyalah merupakan salah satu Negara
Bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat, dan wilayahnya berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 adalah daerah yang disebut dalam persetujuan Renville,
berkedudukan di Yogyakarta. UUD 1945 yang semula berlaku untuk seluruh Indonesia, maka mulai tanggal 27 Desember 1949, hanya berlaku dalam wilayah
Negara Bagian Republik Indonesia
372
. Sementara itu, bentuk negaranya berubah dari negara kesatuan menjadi federal, dan sistem pemerintahannya dari presidensil versi
UUD 1945 menjadi parlementer.
373
370
Ibid.
371
B. Simanjuntak, Tiga Undang-Undang Dasar RI dan Sekitar Permasalahan, Bandung: Tarsito, 1981, hlm. 100.
372
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 93-94.
373
Taufiqurrohman Syahuri, op.cit., hlm. 125.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
229
Meskipun Konstitusi RIS 1949 telah menggantikan UUD 1945, akan tetapi paradigma yuridis filosofis yang dianutnya tetap berlandaskan Pancasila, akan tetapi
dengan rumusan yang tidak persis serupa dalam Pembukaan UUD itu masing-masing. Tegasnya, baik sewaktu menerapkan sistem ministerial maupun sistem presidensial,
landasan ideal pengelolaan itu tetap Pancasila, walaupun dengan rumusan yang berbeda di dalam Pembukaan UUD itu.
374
Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan Konstitusi RIS 1949 terdiri dari Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial. Berdasarkan sila keempat Kerakyatan erat kaitannya dengan pemilihan umum, karena kerakyatan mengandung makna demokrasi. Kerakyatan atau
kedaulatan rakyat dari sudut politik mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan negara ada pada rakyat, rakyat menentukan sendiri
bagaimana mereka harus diperintah. Moh. Hatta dalam hubungan dengan paham kerakyatan ini mengemukakan
sebagai berikut: Dalam pemerintahan yang berdasarkan paham kerakyatan atau demokrasi
dimana rakyat memerintah diri mereka sendiri dapat dihindari pergolakan atau pemberontakan terhadap pemerintah tersebut. Sebab sebagai yang diperintah
rakyat tidak akan berontak terhadap dirinya sendiri sebagai pemerintah.
375
Oleh karena itu, harus ada hubungan antara yang memerintah dengan yang
diperintah. Menurut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi hubungan tersebut baru
374
M. Solly Lubis, Sistem Nasional, op.cit., hlm. 15.
375
Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Usaha Nasional, 1967, hlm. 13. Perhatikan Bagir Manan, Pemilihan Umum …, op.cit., hlm. 24.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
230
ada kalau sejumlah kecil mereka yang memerintah merupakan wakil dari rakyat banyak. Sebagai wakil rakyat, pemerintah akan berbuat atau bertindak sesuai dengan
kehendak atau keinginan rakyat. Untuk menjamin bahwa mereka yang duduk dalam pemerintahan adalah
benar-benar wakil rakyat, maka untuk jabatan tertentu harus dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa paham kerakyatan yang dilaksanakan melalui perwakilan senantiasa memerlukan pemilihan umum.
Berbeda halnya dengan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 memuat lembaga pemilihan umum secara eksplisit sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Konstitusi RIS :
“Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih
yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin
kebebasan mengeluarkan suara”.
Berdasarkan pengaturan yang demikian, maka dalam Konstitusi RIS 1949 terdapat konstruksi hukum sistem pemilihan umum berdasarkan paradigma yuridis
konstitusional yang mengamanatkan perlunya pemilihan umum secara berkala dalam rangka mewujudkan Negara Republik Indonesia Serikat sebagai negara hukum yang
demokrasi. Dalam konteks yang demikian, Konstitusi RIS 1949 secara yuridis
konstitusional telah menetapkan asas-asas pemilihan umum yang akan diselenggarakan tersebut, meliputi asas umum dan berkesamaan, asas jujur, serta asas rahasia dan
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
231
bebas
376
, namun demikian pengaturan asas ini masih bersifat ambivalen dengan adanya kalimat “yang sedapat mungkin”, sehingga landasan yuridis konstitusional
pemilihan umum tersebut apabila diselenggarakan dapat mengakibatkan deviasi asas pemilihan umum, karena tergantung pada penafsiran masing-masing apabila tidak
dirumuskan secara tegas dalam produk hukum undang-undang, dan bahkan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Implementasi dari amanat-amanat kebijakan yang tersurat dan tersirat dalam Pasal-pasal Konstisusi RIS 1949 yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan
umum ke dalam landasan yuridis politis belum pernah terwujud, karena belum ada pengaturan lebih lanjut ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga
pada masa ini Pemilu juga belum pernah diselenggarakan. Realitas yang demikian tidak terlepas dari berlakunya Konstitusi RIS 1949
yang bersifat sementara ini relatif sangat singkat, karena banyak pemimpin-pemimpin menyatakan, hasil KMB ini hanyalah merupakan batu loncatan untuk menuju kepada
cita-cita yang murni dari rakyat, yaitu kemerdekaan yang bulat yang tidak ada ikatan dengan apapun.
377
Lebih lanjut berkenaan dengan Konstitusi RIS 1949 tersebut, Mohammad Tolchah Mansoer mengemukakan sebagai berikut :
Penerimaan hasil-hasil KMB dianggap sebagai tangga untuk meningkat kepada pembulatan cita-cita rakyat. Hal ini tidak saja nantinya menjadi cita-
cita Negara dan rakyat Republik Indonesia, tetapi juga seluruh Rakyat
376
Perhatikan kembali ketentuan Pasal 34 Konstitusi RIS 1949.
377
Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan- Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977, hlm. 49.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
232
Indonesia. Juga mereka yang hidup di dalam negara-negara bagian ciptaan Belanda. Disini rakyat bergolak. Menolak federalisme. Dengan segala jalan
mereka memperjuangkan bubarnya Negara Serikat.
378
Ternyata Negara Serikat atau Negara Federasi itu tidak tahan lama. Satu persatu negara-negara dan bagian-bagian lain yang berdiri sendiri, oleh desakan
Rakyat terpaksa menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia, sehingga awal bulan Mei 1950 dari 15 Negara-negara tersebut itu tinggal dua saja di
luar Negara Bagian Republik Indonesia, yaitu Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
379
. Pada tanggal 19 Mei 1950 antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik Indonesia Serikat, yang dalam hal ini bertindak juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara
Sumatera Timur, telah diadakan suatu Piagam Persetujuan, yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat dan A. Halim
sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Dalam Piagam Persetujuan itu mengenai Undang-Undang Dasar, telah disetujui untuk dalam waktu sesingkat-
singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan dari pada Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945.
380
Badan Perwakilan Rakyat yang ada ketika Indonesia mengubah bentuk susunan negaranya menjadi negara serikat juga tidak didasarkan pada hasil pemilihan
378
Ibid.
379
HAK Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Jakarta: PT. Pembangunan, 1974, hlm. 13.
380
JCT Simorangkir, op.cit., hlm. 36-37.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
233
umum. Parlemen RIS dalam strukturnya menganut susunan bikameral bicameral system, yaitu DPR dan Senat, sebagaimana diatur dalam Pasal 80, Pasal 98, Pasal 99
dan Pasal 100. Menurut Pasal 80 Senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah
bagian mempunyai dua orang wakil. Sedangkan anggota DPR berdasarkan Pasal 98 berjumlah 150 orang dan berfungsi mewakili seluruh rakyat Indonesia, yang
pengangkatan pertamanya tidak didasarkan pada pemilihan umum, melainkan melalui utusan dari daerah-daerah bagian berdasarkan perimbangan jumlah penduduk rakyat
daerah-daerah bagian Pasal 99 dan Pasal 109. Sementara itu, di dalam Pasal 100 ditentukan golongan kecil Tionghoa, Eropa dan Arab mempunyai wakil dalam DPR
berturut-turut 9, 6 dan 3 anggota. Baru kemudian sesudah 1 satu tahun berlaku Konstitusi RIS, Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pemilihan umum yang
bebas dan rahasia untuk menyusun Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka anggota Lembaga Perwakilan Rakyat
seluruhnya 183 orang, yakni 150 orang anggota DPR dan 32 anggota Senat dari 16 daerah bagian. Tetapi dalam prakteknya pada masa berlakunya Konstitusi RIS yang
tidak sampai 8 delapan bulan itu anggota DPR dan Senat RIS dengan amanat Presiden Soekarno pada tanggal 15 Pebruari, DPR hanya berjumlah 146 orang dan
Senat terdiri dari 32 orang
381
. Keseluruhan anggota DPR-RIS tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
381
Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 116.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
234
Tabel 3.1. Jumlah anggota DPR-RIS
No. Daerah Bagian
Jumlah Wakil
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.
11. 12.
13. 14.
15. 16.
Republik Indonesia Indonesia Timur
Jawa Timur Madura
Pasundan Sumatera Timur
Sumatera Selatan Jawa Tengah
Bangka Belitung
Riau Kalimantan Barat
Dayak Besar Banjar
Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
49 17
15
5 21
4 4
12 2
2 2
4 2
3 2
2 33,56
11,65 10,28
3,42 14,38
2,74 2,74
8,22 1,37
1,37 1,37
2,74 1,37
2,05 1,37
1,37
Total 146
100,00 Sumber : Seperempat Abad DPR-RI, 1983.
Berdasarkan ketentuan Konstitusi RIS 1949 tersebut, menunjukkan penyelenggaraan pemilihan umum dilihat dari pendekatan paradigma yuridis politis
belum terwujud, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 109 dan Pasal 110 ditentukan bahwa untuk pertama kali anggota DPR-RIS 1949 tidak didasarkan pada hasil
pemilihan umum, melainkan diserahkan kepada daerah-daerah bagian untuk menentukan cara pemilihan wakil-wakilnya.
Dalam hubungan ini, Pasal 111 Konstitusi RIS 1949 menentukan dalam tempo satu tahun sesudah Konstitusi RIS 1949 mulai berlaku, akan diselenggarakan
pemilihan umum di seluruh Indonesia untuk menyusun DPR. Namun ketentuan ini dalam sejarah tidak pernah diberlakukan, karena bentuk susunan negara serikat
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
235
berdasarkan Konstitusi RIS 1949 telah diganti dengan bentuk susunan negara kesatuan berdasarkan UUDS 1950.
C. Paradigma Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan UUDS 1950.