Teori kedaulatan rakyat Volkssouvereniteit

97 golongan yang lain, serta antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, sehingga tidak dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian tidak akan ada perasaan hukum yang sama, sehingga tidak dapat dijadikan sumber hukum, sebab apabila hukum itu didasarkan pada perasaan hukum dari tiap-tiap individu, maka tidak akan terbentuk hukum yang bersifat umum, bahkan akan menimbulkan anarki. Dalam hubungan ini Kranenburg membela pendapat Krabbe dengan mengemukakan hukum keseimbangan. Menurut Kranenburg setelah diadakan penyelidikan secara empiris analitis, ternyata di dalam masyarakat terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia, yaitu setiap orang itu bersikap dan berkeyakinan bahwa setiap orang itu adalah berkesamaan hak terhadap penerimaan keuntungan dan kerugian atau terhadap keadilan dan ketidakadilan, kecuali apabila ada syarat-syarat khusus yang menentukan lain. 172 Namun demikian, Kranenburg sendiri menolak teori kedaulatan hukum Krabbe, dengan alasan kesadaran hukum bukanlah satu-satunya kekuatan yang bergerak dalam psyche manusia, akan tetapi terdapat pula kekuatan-kekuatan lain, yang sangat tergantung pada keseimbangan masing-masing kekuatan itu, yang erat kaitannya dengan tabiat rakyat.

4. Teori kedaulatan rakyat Volkssouvereniteit

Teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan negara, dan teori kedaulatan hukum didasarkan pada subjek bukan manusia, akan tetapi berada di luar diri manusia, 172 Soehino, op.cit., hlm. 158. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 98 sehingga lahirlah ajaran teori kedaulatan rakyat, yang menyatakan kedaulatan yang tertinggi terletak pada rakyat. Ajaran ini sebenarnya telah berkembang dan dipraktekkan sekitar abad V sebelum Masehi, yaitu pada masa Yunani Kuno, dalam suatu negara yang disebut “Polis”, yang dalam pelaksanaan kehidupan negaranya dilaksanakan secara langsung oleh semua warga kota yang memenuhi syarat direct democracy, dan di tangan mereka terletak kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai kebijaksanaan polisnya. Namun dalam perkembangannya, direct democracy tidak mungkin lagi diselenggarakan dengan menghadirkan seluruh warga negara hadir dalam memberikan suaranya dalam Majelis. Majelis tidak lagi merupakan perwakilan rakyat yang riil, tetapi mereka mewakili rakyat yang bertindak untuk dan atas nama rakyat. Sejalan dengan sistem perwakilan, rakyat melaksanakan kedaulatannya, Jean Jakcues Rousseau mengajarkan kontrak sosial. Menurut Rousseau, konsep kedaulatan itu bersifat dan didasarkan pada kemauan umum rakyat yang menjelma melalui peraturan perundang-undangan. 173 Dengan demikian dalam ajarannya yang penting adalah bahwa kedaulatan itu dinyatakan dalam bentuk kehendak, sehingga kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk menyampaikan kehendaknya yang disampaikan dalam 2 dua cara : Pertama, kehendak rakyat seluruhnya yang dinamakan “volunte de 173 Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional KRHN–Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MKRI, 2005, hlm. 17. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 99 tous”, dan Kedua, kehendak sebagian besar dari rakyat yang dinamakan “volunte generale”. 174 Volunte de tous hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja pada waktu negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Maksud volunte de tous ini adalah untuk memberi dasar bagi negara dapat berdiri abadi, karena ini merupakan kebulatan kehendak, dan jika negara itu sudah berdiri, pernyataan kehendak tersebut tidak dapat ditarik kembali. Sedangkan Volunte generale dinyatakan setelah negara berdiri, yaitu dengan pernyataan kehendak rakyat melalui suara terbanyak. Jadi kedaulatan rakyat yang dimaksud oleh Rousseau itu sama dengan keputusan suara terbanyak meerderheids- dictatuur. Teori kedaulatan rakyat ini juga diikuti oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warga negaranya. Kebebasan dalam hal ini diartikan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan, sedangkan undang-undang tersebut yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, undang-undang adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. 175 Selain keempat ajaran dimaksud, diantara para sarjana juga ada yang menyebutkan teori kedaulatan raja souvereignty of the king, berpendapat bahwa 174 Moh. Kusnardi, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum …, op.cit., hlm. 125-126. 175 Soehino, op.cit., hlm. 161. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 100 kekuasaan yang tertinggi ada pada raja. Salah satu tokoh sentral dalam paham ini adalah Machiavelli. Menurutnya yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja. 176 Berdasarkan berbagai ajaran kedaulatan tersebut, di Indonesia sendiri, sejak kemerdekaan, para founding fathers secara resmi telah memilih bentuk pemerintahan republik 177 dan meninggalkan ide kerajaan. Demikian pula konsep kedaulatan negara yang biasa dipahami dalam konteks hubungan internasional, dengan sendirinya setelah Indonesia merdeka telah mendapat pengakuan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, secara yuridis konstitusional, ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat itu berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia. Kekuasaan kenegaraan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa Indonesia mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang dijadikan sebagai dasar-dasar berpikir sistematik dan konstruksi UUD negara. 178 176 Firmansyah Arifin, op.cit., hlm. 17. 177 Perhatikan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 178 Jimly Asshiddiqie, Pengorganisasian Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, Jakarta: Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 6. Hal ini secara eksplisit dapat dijumpai dalam Pembukaan UUD 1945 alinea Ketiga dan Keempat, Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 101

B. Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi