Paradigma Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan UUD 1945 Periode I

214

A. Paradigma Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan UUD 1945 Periode I

Dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, meskipun tidak memuat secara eksplisit pengaturan tentang pemilihan umum, namun secara implisit keberadaan pemilihan umum merupakan keniscayaan dalam ketatanegaraan Indonesia saat itu yang menganut paham demokrasi Pancasila, sebagai hasil kesepakatan luhur segenap komponen bangsa demi melaksanakan kehidupan ketatanegaraan. Konteks yang demikian berarti landasan filosofis yang dianut berkenaan dengan pemilihan umum adalah Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara. Dengan demikian Pancasila merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Dengan perkataan lain Pancasila merupakan dasar falsafah negara, karena memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses pemerintahan 340 , berdasarkan prinsip demokrasi Pancasila yang mencakup : demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial budaya, 341 dan demokrasi hankam 342 . Nilai demokrasi ini, sebenarnya telah dianut secara berurat berakar dalam sistem nilai value system yang berkembang dan membudaya dalam masyarakat Indonesia, seperti dijumpai dalam semboyan Bulek Aie dek 340 Soerjanto Poespowardojo, ‘Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama’, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Ed., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991, hlm. 44. 341 Alfian, ‘Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik’. Ibid., hlm. 226. 342 M. Soly Lubis, Sistem Nasional, op.cit., hlm. 40. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 215 Pambuluah, Bulek Kato dek Mapakek di Minang, Meusapat di Aceh, Marpokat dan Dalihan Natolu di Tapanuli, Runggun dengan Sangkep Sitelu di Karo, diiringi nilai persatuan seperti Gugur Gunung di Jawa, Marsialap Ari di Tapanuli, Gotong Royong Manunggal Sakato dan Tigo Tungku Sajarang di Minang di Ranah Bundo Kanduang. 343 Sistem nilai ini kemudian dihimpun lalu dijulangkan menjadi dasar negara Pancasila. Itulah sebagai upaya abstraksi nilai oleh para founding fathers kita Soekarno, Mohd. Hatta, Mohd. Yamin, Supomo, Mohammad Hasan dan lain-lain di awal persiapan Konstitusi dan Proklamasi Kemerdekaan RI di tahun 1945, lalu kemudian derivasi dan penjabarannya dilakukan melalui sistem pemerintahan dan pembangunan. 344 Prinsip dari berbagai aspek demokrasi tersebut kemudian dikembangkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Untuk demokrasi politik, diberi nama “kedaulatan rakyat” atau “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan” atau “kedaulatan ada di tangan rakyat”. 345 Sedangkan prinsip demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial budaya tertuang dalam Pancasila Sila Ke-2 dan Sila Ke-5, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang kemudian di implementasikan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, yaitu Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33. Lebih lanjut M. Solly Lubis dalam hubungannya dengan kehidupan demokrasi mengemukakan : 343 M. Solly Lubis, Paradicmatic Democracy, Prinsip Kerakyatan dengan Tolok Ukur yang Khas, Medan: Harian Waspada, Kamis 21 Juli 2005, hlm. 4. 344 Ibid. 345 Perhatikan Pembukaan UUD 1945 Pancasila, Sila Ke-4 dan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 216 Adanya Pemilu, adanya pembentukan badan-badan negara tertinggi MPR, serta badan-badan lainnya di Pusat dan Daerah, seperti DPR, DPA, MA, BPK, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, adanya DPRD, KDH-KDH, adanya perhatian dan bantuan terhadap ekonomi lemah, penyebaran pusat-pusat kesehatan masyarakat, SD-SD ke daerah-daerah dan pelosok, program masuk desa, kerja sama TNI, Polri dan rakyat di bidang pertahanan keamanan, semuanya itu tuntutan yang asasi dari asas kedaulatan rakyat itu sendiri. 346 Hal ini berarti Pancasila yang diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, dalam kehidupan hukum merupakan norma yang tertinggi, yang menciptakan pasal-pasal hukum dasar, dan menentukan isi serta bentuk lapisan- lapisan hukum yang lebih rendah, sebagai konsekuensi logis dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya pertentangan antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Dengan demikian penentuan Pancasila sebagai norma hukum yang menggariskan pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 menjadi jaminan keharusan adanya kesesuaian antara Pancasila sebagai norma hukum yang terdapat dalam hukum dasar dengan norma-norma hukum yang lebih rendah. Berdasarkan konstelasi yang demikian, maka menurut UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia, Pancasila berada dalam dua kedudukan, yaitu 347 : Pertama, sebagai cita hukum. Dalam hubungan ini Pancasila berada pada tata hukum Indonesia, namun terletak di luar sistem norma hukum. Dalam kedudukan ini, Pancasila berfungsi secara regulatif dalam arti menguji suatu hukum positif adil atau tidak, dan secara konstitutif yang menentukan bahwa 346 M. Solly Lubis, Sistem Nasional …, loc.cit. 347 Marzuki, Kedudukan Pancasila sebagai Cita Hukum Rechtsidee dalam Pembangunan Hukum Nasional Suatu Pemikiran Paradigma Hukum Pancasila, Medan: Fakultas Hukum UISU, Jurnal Hukum “Kaidah”, Vol. 1 No. 1, Oktober 2001, hlm. 43. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 217 tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum, terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Kedua, sebagai norma yang tertinggi dalam sistem norma hukum yang bersumber dari pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan norma dasar grundnorm yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum serta menentukan sah atau tidaknya norma-norma dimaksud. Konsekuensi yang demikian berarti Pancasila berperan sebagai landasan filosofis dalam sistem filsafat hukum, yakni merupakan norma dasar tertinggi fundamentalnorm sebagai sumber nilai dan asas-asas bagi seluruh kerangka kehidupan hukum di Indonesia. Maka sebagai sistem filsafat hukum, Pancasila merupakan tolok ukur dan alat uji dalam melahirkan berbagai produk hukum, terutama dalam mewujudkan hakikat hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum yang sesuai dengan dinamika masyarakat, termasuk di dalamnya hukum tentang pemilihan umum. 348 Pelaksanaan demokrasi politik kerakyatan, kedaulatan rakyat dalam konteks Pancasila sebagai suatu paradigma filosofis didasarkan pada asas-asas berikut: 349 Pertama, asas perwakilan. Sesuai dengan keadaan, maka demokrasi politik hanya mungkin dilaksanakan melalui perwakilan. Demokrasi langsung hanya mungkin dilaksanakan secara terbatas, yaitu melalui referendum atau musyawarah penduduk di tingkat desa atau satuan-satuan pemerintahan lebih rendah dari desa RT dan RW. Sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini mempunyai empat lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPD yang merupakan lembaga perwakilan di 348 Ibid., hlm. 52-53. 349 Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 3 September 1994, hlm. 12-15. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 218 tingkat pusat pemerintahan, DPRD Propinsi dan DPRD KabupatenKota sebagai perwakilan di tingkat pemerintahan daerah otonom. 350 Kedua, asas permusyawaratan dan mufakat. Meskipun antara permusyawaratan dan mufakat dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Permusyawaratan dilakukan dengan maksud mencapai mufakat. Permusyawaratan merupakan satu- satunya cara mengambil keputusan dalam tatanan demokrasi. Demokrasi yang tidak memberikan peluang bermusyawarah atau memberikan peluang dengan cara-cara lain diluar musyawarah kecuali dalam hal keputusan langsung oleh rakyat, mungkin dapat diragukan sebagai suatu tatanan demokrasi. Permusyawaratan dalam demokrasi Pancasila bertujuan untuk mencapai kata mufakat. Dalam praktek, mufakat diartikan sebagai persetujuan oleh semua peserta musyawarah. Ketiga, asas hikmat kebijaksanaan. Muhammad Yamin mempersamakan asas hikmat kebijaksanaan dengan rasionalisme. 351 Hikmat kebijaksanaan tidaklah semata- mata berdasarkan rasionalisme. Hikmat kebijaksanaan mengandung aspek kearifan. Mufakat tidak hanya dicapai berdasarkan pertimbangan rasional, akan tetapi harus secara arif mempertimbangkan hal-hal yang bersifat rokhaniah, seperti kemaslahatan, kepentingan persatuan dan lain sebagainya. Keempat, asas kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat tidak hanya dalam badan-badan permusyawaratan, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Karena itu dalam kebebasan berpendapat terkandung pula arti hak untuk 350 Perhatikan antara lain Pasal 2 ayat 1, Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 19 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 351 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan …, op.cit., hlm. 97-98. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 219 berbeda pendapat yang dapat menjelma sebagai hak beroposisi. Perkembangan oposisi sangat penting dalam pengembangan demokrasi Pancasila, antara lain : a Hak-hak untuk berbeda pendapat merupakan salah satu pranata demokrasi Indonesia. b Pelembagaan oposisi akan mendorong masyarakat meneruskan pendapat yang berbeda itu sesuai dengan tatanan yang berlaku, sehingga dapat dihindari pernyataan yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan atau tata krama umum dalam kehidupan suatu masyarakat demokratis. c Pelembagaan oposisi akan mendorong masyarakat menyalurkan pendapat melalui lembaga-lembaga yang dipandang mampu secara teratur memperjuangkan gagasan-gagasan mereka d Pelembagaan oposisi akan mendorong masyarakat menyampaikan pendapat atau pendirian secara terbuka. Dan hal ini akan mengurangi cara- cara menyampaikan pendapat secara gelap yang mungkin akan lebih mengganggu ketertiban masyarakat 352 . Oleh karena itu, demokrasi politik yang terbentuk berdasarkan paradigma yuridis filosofis Pancasila harus berdasarkan kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Jelas bahwa tanpa musyawarah, kedaulatan rakyat tidak akan terwujud. 353 Berdasarkan paradigma yuridis filosofis tersebut, maka nilai- nilai demokrasi politik yang didasarkan pada Pancasila itu diderivasi ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 untuk diejawantahkan ke dalam bentuk norma hukum yang berfungsi sebagai paradigma yuridis konstitusional. Dilihat dari paradigma ini, konstitusi pada dasarnya memuat 3 tiga materi muatan : “adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya, 352 Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila …, op.cit., hlm. 12-13. 353 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, op.cit., hlm. 39-40. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 220 ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, serta adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental”. 354 Konsekuensi logis Indonesia sebagai negara demokrasi, maka penyelenggaraan pemilihan umum merupakan conditio sine quanon untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum selain merupakan salah satu hak asasi yang prinsipil bagi warga negara, 355 juga merupakan bagian yang integral dari pembagian dan pembatasan kekuasaan di dalam negara, sehingga dengan demikian pemilihan umum adalah merupakan materi muatan setiap konstitusi. Meskipun Batang Tubuh UUD 1945 tidak merumuskan secara eksplisit tentang lembaga pemilihan umum, namun dengan adanya infra struktur politik dan supra struktur politik yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul menuntut adanya partai politik, adanya pengaturan lembaga negara seperti MPR yang terdiri atas DPR dan DPD maupun lembaga legislatif daerah DPRD, menunjukkan urgensi pemilihan umum sebagai konsekuensi logis dari paham kedaulatan rakyat. Dalam hubungan ini, Moh. Mahfud mengemukakan ada tiga alasan keberadaan pemilihan umum dalam konteks UUD 1945, yaitu 356 : Pertama, adanya pengaturan lembaga MPR dan DPR termasuk lembaga DPRD dan Kepresidenan, penulis yang menuntut keharusan diselenggarakannya 354 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 18. 355 Saiful, Anwar, Sendi-sendi Hukum Tata Negara Indonesia Era Reformasi, Medan: Gelora Madani Press, 2004, hlm. 119 356 Moh. Mahfud, M.D., Perkembangan Politik …, op.cit., hlm. 135-137. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 221 pemilihan umum. Di sinilah terlihat urgensi pemilihan umum sebagai konsekuensi logis dari paham kedaulatan rakyat, sebagaimana dimuat dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat 2, Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 UUD 1945. Kedua, menurut UUD 1945 sendiri, hukum dasar yang berlaku bukan hanya yang tertulis UUD tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis konvensi, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 : “Undang-undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang- Undang Dasar ialah Hukum Dasar yang tertulis, sedangkan di samping Undang- Undang itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang tumbuh dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis…”. Dalam Hukum Tata Negara, adanya kaidah-kaidah hukum tidak tertulis sangatlah lazim, bahkan merupakan satu kesatuan dalam Hukum Tata Negara. Dengan perkataan kata lain, Hukum Tata Negara sebagai satu sub sistem hukum, selalu dilengkapi dengan kaidah-kaidah hukum tidak tertulis. Pada setiap negara kaidah-kaidah hukum tidak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis. 357 Ketiga, pendekatan historis, terjadinya UUD 1945. Dalam Ilmu Hukum dikenal adanya penafsiran historis yang dimaksudkan untuk memahami maksud suatu aturan hukum. Hal ini juga dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945, Penjelasan Umum angka 1 alinea ketiga yang menyatakan : 357 Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: C.V. Armico, 1987, hlm. 17-18. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 222 “Undang-undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin” Berdasarkan penafsiran historis ini, maka dapat diketemukan lembaga pemilihan umum dalam sejarah persidangan BPUPKI. Soekarno pada saat membicarakan dasar negara mengemukakan dasar ketiga dari negara Indonesia itu adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan : Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, satu buat semua dan semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan …. . Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita sehebat- hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam…. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan- peraturan Negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil-fair play. 358 . Muhammad Yamin pada saat membicarakan tentang kelembagaan negara Majelis Permusyawaratan Rakyat mengemukakan : “Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah- daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. 359 358 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan …, op.cit., hlm. 74-75. 359 Ibid., hlm. 232. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 223 Dengan demikian, baik didasarkan pada aspek demokrasi atau kedaulatan, maupun didasarkan pada konvensi serta pendekatan historis, maka lembaga pemilihan umum merupakan wujud demokrasi konstitusional, dalam arti adanya pembatasan-pembatasan kekuasaan didalam negara yang diatur melalui konstitusi. 360 Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan, gagasan untuk menyelenggarakan pemilihan umum selalu menjadi program pemerintah, akan tetapi selalu terhalang akibat masih adanya peperangan baik fisik maupun diplomasi melawana agresi militer Belanda, namun demikian political will penyelenggaraan pemilihan umum oleh pemerintah telah diwujudkan sejak awal kemerdekaan, yang dapat dipandang sebagai paradigma yuridis politis. Soedarsono dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia mengemukakan : Tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X dan Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. 361 Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada Januari 1946 sebagaimana diamantkan oleh Maklumat X tanggal 3 November 1945 karena belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat Undang-undang Pemilu dan 360 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar …., op.cit., hlm. 52. 361 Soedarsono, Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi, Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 1. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 224 belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat gangguan dari luar yang masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin negara pada masa itu lebih disibukkan dengan urusan konsolidasi dan mempertahankan kemerdekaan. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah mempunyai keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu, dengan lahirnya Undang-undang No. 27 Tahun 1948 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1949 362 , sebagai paradigma yuridis politis. Di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan menggunakan sistem pemilihan bertingkat tidak langsung, artinya anggota lembaga perwakilan dipilih oleh orang-orang tertentu yang dipilih untuk memilih, sedangkan sistem pengangkatan ditiadakan. Daerah pemilihan adalah propinsi berdasarkan imbangan penduduk. 363 Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihan langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Dalam perkembangannya, meskipun telah ada undang-undang tentang pemilihan umum yang berlaku secara nasional, namun pemilihan umum sampai 362 Ibid., hlm. 2. 363 Rusminah, Perwakilan Sistem dan Lembaganya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Padmo Wahjono Ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 75. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 225 dengan pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS 1949 belum dapat direalisir akibat revolusi kemerdekaan sedang berlangsung, sehingga secara teknis tidak memungkinkan untuk diselenggarakan. 364

B. Paradigma Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan Konstitusi RIS 1949.