Hubungan Sistem Pemilihan Umum dengan Keterwakilan Politik

BAB V SISTEM PEMILIHAN UMUM DAN KETERWAKILAN POLITIK MASYARAKAT PADA DPRD-DPRD DI PROVINSI SUMATERA UTARA

A. Hubungan Sistem Pemilihan Umum dengan Keterwakilan Politik

Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara Pasca Pemilu 1999. Dalam pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan representative democracy, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah DPR, DPD dan DPRD dipandang sebagai suatu keniscayaan, karena lembaga ini merupakan badan yang ikut berwenang menetapkan kebijakan umum yang mengikat bagi rakyat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Realitas tersebut berarti dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, desentralisasi dan otonomi daerah adalah merupakan wujud sendi pemerintahan yang demokratis, karena di dalamnya terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil suatu keputusan atas dasar aspirasi masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Oleh karena itu, pengelolaan negara yang efektif dan lebih demokratis mensyaratkan adanya praktek-praktek pemerintahan yang lebih baik di tingkat daerah yang menumbuhkan partisipasi warga. Hans Antlov dalam hal ini mengemukakan sebagai berikut : 477 Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 478 Pemerintah lokal memiliki potensi dalam mewujudkan demokratisasi, karena proses desentralisasi mensyaratkan adanya tingkat responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih besar. Desentralisasi secara bersamaan haruslah disertai adanya penguatan kapasitas lokal dan membangun sistem pemerintahan yang responsif tidak saja kekuasaan pemerintah lokal, tetapi juga meyakinkan bahwa mereka betul-betul dapat akuntabel dan memberikan pelayanan sosial yang lebih baik. 685 Konteks yang demikian berarti demokratisasi mencapai kematangan apabila lembaga-lembaga politik yang demokratis tidak hanya terbentuk dan berjalan di pusat pemerintahan nasional, tetapi juga terbentuk dan berjalan di komunitas-komunitas lokal dan tingkat pemerintahan terendah dan pada saat yang sama nilai-nilai demokrasi dijadikan acuan perilaku masyarakat, seperti dikatakan Joseph Schumpeter : 686 “democracy is not just a system in which elites acquire the power to rule through a competitive struggle for the people’s votes. It also a political system in which government must be held accountable to the people, and in which mechanism must exist for making it is responsive to their passions, preference, and interests” demokrasi tidak hanya sistem yang berlaku untuk memperoleh kekuasaan pada tingkat nasional melalui pemilihan untuk memperoleh suara rakyat. Tetapi juga untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat, dan mekanismenya harus memperhatikan pada aturan-aturan pemilihan yang responsif. Keterkaitan antara otonomi dengan demokrasi ini juga dikemukakan oleh M.A. Muthalib dan Moh. Akbar Ali Khan sebagai berikut: 687 Conceptually, local autonomy tends to become a synonym of the freedom of locality for self determination or local democracy. No single body but the 685 Hans Antlov, Mewujudkan Demokrasi Lokal Melalui Forum Warga, Jakarta: Jurnal PSPK, Edisi 3, Juni-Juli 2002, hlm. 44-45. 686 Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, Baltimore: The John Hopskin University Press, 1999, hlm. 219. Perhatikan Andrinof A. Chaniago, Rintangan-Rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik…, op.cit., hlm. 32. 687 Bhenyamin Hoessein, Menelaah Kinerja DPRD Kabupaten di Era Desentralisasi, Makalah Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, Jakarta: Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, 22 Maret 2002, hlm. 3. Perhatikan Husni, Eksistensi Otonomi …,op,cit.,hlm. 57-58. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 479 local people and the representatives enjoy supreme power in regard to the local sphere of action, Government intervention can be justified when the larger interest is involved. Therefore, the people at large and their representatives Secara konseptual, otonomi daerah cenderung menyamakan kebebasan daerah untuk menentukan nasib sendiri atau demokrasi lokal. Tiada satupun lembaga kecuali masyarakat setempat dan para wakil yang menikmati kekuasaan tertinggi cetak tebal, penulis sehubungan dengan suasana tindakan daerah, intervensi pemerintah dapat dibenarkan bila terlibat kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu, rakyat secara luas dan wakil mereka saja dapat menolak masyarakat lokal dan para wakil mereka. Keberadaan wakil rakyat tersebut, tentunya dalam konteks demokrasi harus didasarkan pada Pemilu yang diselenggarakan secara berkala untuk menghasilkan peralihan kekuasaan pemerintahan yang berlangsung secara damai, tertib dan teratur. Hilaire Barnett dalam hubungan ini menyebutkan: 688 “In a democratic state, the electoral process exercises determining power over those who hold political office. It is the electorate which confers the power to govern and calls government to account” Dalam suatu negara demokrasi, penyelenggaraan Pemilu berfungsi untuk menentukan kekuasaan atas mereka yang memegang jabatan politik. Adalah orang- orang yang memilih yang memberikan kekuasaan untuk memerintah dan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah. Indonesia sebagai negara demokratis, dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan perlunya institusi DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat 3 : “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. 688 Hilaire Barnett, Constitutional and Administratif…, loc.cit. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 480 Dengan demikian, salah satu cara konstitusional untuk menjamin agar arah yang akan dituju dalam usaha bernegara itu itu tepat dan sesuai dengan yang dikendaki oleh konstitusi, antara lain dibentuk badan perwakilan rakyat yang secara terus menerus dan dari waktu ke waktu dapat mengadakan pengawasan dan memantau jalannya pemerintahan. Ini berarti demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melahirkan DPRD menuntut adanya lembaga yang dapat mengatur mekanisme rekrutmen terhadap anggota-anggota DPRD itu, yaitu Pemilu, sehingga melalui Pemilu ini seluruh rakyat di daerah seharusnya dapat memilih sendiri orang-orang yang akan menjadi wakil untuk dapat menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi mereka, dan wakil tersebut bertanggung jawab baik secara moral dan politis kepada konsituennya. Rusadi Kantaprawira mengemukakan keberhubungan antara institusi Pemilu dengan masyarakat, sebagai berikut : Apabila dikaji, maka pemilihan umum itu sebenarnya merupakan institusi yang berusaha mengadakan perkaitan kembali terugkoppeling antara pelaku- pelaku politik dalam masyarakat dengan pelaku-pelaku politik dalam struktur pemerintahan yang formal sifatnya, sehingga terdapat hubungan kejiwaaan antar keduanya. Dengan perkaitan yang demikian ini, lembaga-lembaga negara akan mempunyai keabsahan dan kewenangan untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan masyarakat yang menjadi “bumi”-nya. 689 Berkenaan dengan hal tersebut, maka bila rakyat hendak memainkan peranan yang besar dalam partisipasi politik yang dikehendaki oleh demokrasi, salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah rakyat ikut menentukan orang-orang yang 689 Rusadi Kantaprawira, Pengaruh Pemilihan …, op.cit., hlm. 47. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 481 akan memerintah pada pasca Pemilu. Ini berarti bahwa rakyat menentukan partai- partai politik maupun perseorangan yang akan memerintah melalui pilihan bebas dalam Pemilu, sehingga pemerintah yang berkuasa pada masa pasca Pemilu adalah pilihan rakyat yang sesungguhnya, sehingga diperlukan sistem Pemilu yang mendukung adanya keterwakilan politik political representativeness. Sistem Pemilu merupakan rangkaian aturan yang berkaitan dengan dua hal: Pertama, pemilih mengekspresikan preferensi politik mereka, dan Kedua, suara para pemilih diterjemahkan menjadi kursi. 690 Secara umum sistem Pemilu ini dimaknai dengan penggunaan sistem proporsional atau distrik dengan berbagai variannya dalam penyelenggaraan Pemilu electoral laws, yang tentunya akan mempengaruhi derajat keterwakilan politik masyarakat pada lembaga perwakilan rakyat. Memperhatikan pengertian tersebut, maka sistem ini memiliki tiga fungsi utama: Pertama, menerjemahkan suara yang terpungut menjadi kursi dalam badan legislatif. Kedua, menjadi saluran buat rakyat untuk meminta pertanggungjawaban wakil-wakil mereka. Ketiga, memberikan insentif kepada orang-orang yang berebut kekuasaan untuk menyusun imbauan kepada para pemilih dengan cara yang berbeda-beda. Dengan kata lain, sistem pemilu merupakan pelembagaan aturan dan prosedur yang memungkinkan suara yang terpungut dalam suatu pemilihan diterjemahkan menjadi kursi dalam badan legislatif atau instansi lain, seperti lembaga kepresidenan. 691 690 Pipit, Kartawidjaja, R. dan Mulyana, Kusumah, W., Sistem Pemilu dalam Konstitusi, Jakarta: KIPP Eropa, tanpa tahun, hlm. 155 691 Setiawan, Hawe, op.cit., hlm. 27 Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 482 Keterwakilan politik atau M. Solly Lubis menyebut istilah “keterwakilan kepentingan rakyat”, 692 dapat dibagi ke dalam dua pengertian: 1 dari segi formil, berkenaan dengan kwantitas dan kehadiran calon yang dipilih. Artinya terdapat wakil tiap golongan politik pada lembaga perwakilan. 2 dari segi materil, dalam arti tertampungnya aspirasi konsituen dan tersalurnya aspirasi menjadi butir-butir kebijakan policy. Bahkan lebih jauh dukungan politis wakil rakyat terhadap pelaksanaan teknis operasional dari kebijakan dalam mewujudkan kepentingan masyarakat di lapangan. 693 Oleh karena itu, terdapat dua cara untuk menguji keterwakilan kepentingan rakyat dimaksud : Pertama, dilihat bagaimana opini masyarakat terhadap tampilan tokoh-tokoh wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat itu, apakah mereka nilai memberikan harapan akan mewakili kepentingan mereka, termasuk sejauhmana vokalitas para wakil itu. Kedua, bagaimana opini masyarakat terhadap produk perundang-undangan UU, Perda yang lahir dari panggung perwakilan itu, dan lebih jauh dari itu ialah penilaian masyarakat terhadap realisasi program dan proyek-proyek pembangunan yang disajikan Pemerintah bagi mereka. 694 Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kerangka sistem perwakilan para ahli membedakan antara pengertian perwakilan fisik atau keterwakilan fisik representation in presence dan perwakilan pemikiran atau keterwakilan aspirasi representation in ideas. Dalam konsep perwakilan yang pertama, keterwakilan rakyat diwujudkan secara fisik, yaitu dengan terpilihnya seorang wakil dalam 692 M. Solly Lubis, Membudayakan Sikap …, op.cit., hlm. 6-7 693 Perhatikan kembali Marzuki, Strategi Penjaringan …, loc.,cit. 694 M. Solly Lubis, Membudayakan Sikap …, loc.cit. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 483 keanggotaan parlemen DPR, DPD dan DPRD. Akan tetapi, dalam praktek sistem perwakilan fisik ini terbukti tidak atau belum tentu sungguh-sungguh menjamin tersalurnya aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam kenyataan, baik karena faktor pribadi subjektif para wakil rakyat sendiri ataupun karena faktor pilihan sistem yang dipraktekkan. Sistem yang dianut, baik berkenaan dengan sistem pemilihan umum maupun sistem kepartaian, sangat mempengaruhi esensi keterwakilan rakyat. 695 Jika sistem pemilihan umum yang dipakai adalah sistem suara berimbang proporsional, maka derajat hubungan keterwakilan antara rakyat dan para wakilnya cenderung berjarak, tidak sedekat atau seakrab seperti dalam sistem distrik. Dalam rangka sistem kepartaian, juga terdapat kecenderungan makin banyak partai dan makin luas atau terbukanya tingkat persaingan, maka makin terbuka juga peluang aspirasi rakyat dapat sungguh-sungguh diperwakilan oleh para wakil rakyat. Walhasil, dalam sistem perwakilan rakyat melalui lembaga parlemen itu selalu saja terdapat kemungkinan distorsi atau kelemahan-kelemahan. Karena itu, sistem perwakilan fisik saja dianggap tidak atau belum tentu menjamin keterwakilan rakyat secara substantif, sehingga dikembangkan adanya pengertian “representation in ideas”, artinya pemilihan oleh rakyat terhadap partai politik danatau calon anggota legislatif dari partai politik semata-mata didasarkan atas program preferensi dan aspirasi politik yang mereka ajukan yang disetujui rakyat yang memilihnya 696 . Dalam kaitan ini Jimly Asshidiqie memaknai “representation in ideas” yang tidak tergantung hanya kepada mekanisme kelembagaan melalui parlemen. Meskipun sudah ada lembaga parlemen secara resmi, rakyat tetap dapat menyuarakan aspirasinya melalui media massa cetak dan elektronik maupun media tradisional dan 695 Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH-UII Press, 2004, hlm. 43-44. 696 Ramlan Surbakti, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik …, op.cit., hlm. 49. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 484 media inkonvensional lainnya yang secara konstitusional juga dijamin dalam rangka hak asasi manusia. 697 Apabila diamati Pemilu 1999 yang diselenggarakan berdasarkan Undang- undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum jo. Undang-undang No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan stelsel daftar. 698 Penggunaan stelsel daftar list system berarti para calon partai disusun secara sistematis, berurutan dari nomor terkecil sampai terbesar, dengan ketentuan calon terpilih adalah nomor urut teratas sesuai daftar calon tetap. Hal ini berimplikasi terhadap proses pemungutan suara, yaitu rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai tanpa ada kesempatan untuk memilih wakilnya. Di samping itu dari segi daerah pemilihan, khusus untuk pemilihan anggota DPRD, dalam Pasal 3 ayat 2 huruf a dan b Undang-undang No. 3 Tahun 1999, ditentukan bahwa untuk anggota DPRD I, Daerah Tingkat I merupakan satu Daerah Pemilihan, dan untuk DPRD II, Daerah Tingkat II merupakan satu Daerah Pemilihan. 699 697 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…, op.cit., hlm. 178. 698 Perhatikan kembali Pasal 1 ayat 7 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. 699 Penggunaan istilah DPRD I bagi Daerah Tingkat I, dan DPRD II bagi Daerah Tingkat II, setelah keluarnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 diubah menjadi DPRD Provinsi bagi Daerah Provinsi dan DPRD KabupatenKota bagi Daerah KabupatenKota. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 485 Lebih lanjut mengenai jumlah kursi Anggota DPRD I dan DPRD II ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 3 Tahun 1999, yaitu : Pasal 5 1 Jumlah kursi anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 empat puluh lima orang dan sebanyak-banyaknya 100 seratus. 2 Jumlah kursi anggota DPRD I sebagaimana dimaksud ayat 1 didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat I, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 3.000.000 tiga juta jiwa mendapat 45 empat puluh lima kursi; b. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 3.000.001 tiga juta satu sampai dengan 5.000.000 lima juta jiwa mendapat 55 lima puluh lima kursi; c. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 5.000.001 lima juta satu sampai dengan 7.000.000 tujuh juta jiwa mendapat 65 enam puluh lima kursi; d. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 7.000.001 tujuh juta satu sampai dengan 9.000.000 sembilan juta jiwa mendapat 75 tujuh puluh lima kursi; e. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 9.000.001 sembilan juta satu sampai dengan 12.000.000 dua belas juta jiwa mendapat 85 delapan puluh lima kursi; f. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya di atas 12.000.000 dua belas juta jiwa mendapat 100 seratus kursi. 3 Setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang-kurangnya 1 satu kursi untuk Anggota DPRD I. 4 Penetapan jumlah kursi anggota DPRD I untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan oleh KPU. Pasal 6 1 Jumlah kursi anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 dua puluh orang dan sebanyak-banyaknya 45empat puluh lima. 2 Jumlah kursi anggota DPRD II sebagaimana dimaksud ayat 1 didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat II, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 100.000 seratus ribu jiwa mendapat 20 dua puluh kursi; b. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 100.001 seratus ribu satu sampai dengan 200.000 dua ratus ribu jiwa mendapat 25 dua puluh lima kursi; Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 486 c. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 200.001 dua ratus ribu satu sampai dengan 300.000 tiga ratus ribu jiwa mendapat 30 tiga puluh kursi; d. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 300.001 tiga ratus ribu satu sampai dengan 400.000 empat ratus ribu jiwa mendapat 35 tiga puluh lima kursi; e. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 400.001 empat ratus ribu satu sampai dengan 500.000 lima ratus ribu jiwa mendapat 40 empat puluh kursi; f. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya di atas 500.000 lima ratus ribu jiwa mendapat 45 empat puluh lima kursi. 3 Setiap wilayah kecamatan mendapat sekurang-kurangnya 1 satu kursi untuk Anggota DPRD II. 4 Penetapan jumlah kursi anggota DPRD II untuk setiap Daerah Pemilihan Anggota DPRD II ditentukan oleh KPU. Disamping itu, selain pengisian keanggotaan DPRD I dan DPRD II yang didasarkan pada hasil pemilihan umum, Undang-undang No. 3 Tahun 1999 masih memungkinkan pengisian sebahagian anggota DPRD I dan DPRD II yang diangkat dari anggota ABRI dengan ketentuan 10 dari keseluruhan anggota DPRD I dan anggota DPRD II. 700 Sementara itu dalam rangka penyelenggaraan pemilu 2004 juga telah diterbitkan beberapa undang-undang di bidang politik, diantaranya adalah Undang- undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD jo. Undang-undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik jo. Undang- undang No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. 700 Perhatikan Pasal 18 dan Pasal 25 Undang-undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 487 Dalam konteks ini, terdapat sedikit perubahan dalam sistem pemilu yang diterapkan untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota dibandingkan dengan pemilu 1999, yaitu dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka. 701 Demikian juga dengan tata cara pencoblosan, apabila pada pemilu sebelumnya pemilih hanya memberikan suara kepada partai politik, akan tetapi pada pemilu 2004, pemilih diberi kesempatan memilih langsung calon anggota legislatif di samping memilih tanda gambar partai politik. Sekalipun sistem proporsional dengan daftar terbuka selalu disamakan dengan sistem stelsel daftar terbuka seperti yang dikenal dalam literatur ilmu politik, tapi penerapan keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Kedudukan partai politik dalam sistem stelsel daftar terbuka hanya mengusulkan nama calon legislatif. Selanjutnya pemilih langsung memilih calon-calon tersebut. Sedangkan sistem proporsional dengan daftar terbuka masih mengharuskan pemilih untuk memilih tanda gambar partai politik. Bahkan walaupun tidak memilih calon legislatif, dan hanya memilih tanda gambar, suara pemilih dianggap sah, Wajar jika kemudian sebagian kalangan menilai bahwa pemilihan anggota badan legislatif kali ini dilakukan dengan sistem proporsional yang “sedikit terbuka”. 702 Terhadap penetapan jumlah kursi juga terdapat sedikit perbedaan, baik berkaitan dengan jumlah kursi maupun perhitungan jumlah kursi dengan jumlah penduduk, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-undang No. 12 701 Perhatikan kembali Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. 702 Setiawan Hawe Ed., op.cit., hlm. 32-33. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 488 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, sebagai berikut : Pasal 49 1 Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi ditetapkan sekurang-kurangnya 35 tiga puluh lima kursi dan sebanyak-banyaknya 100 seratus kursi. 2 Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan : a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 satu juta jiwa mendapat 35 tiga puluh lima kursi; b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 satu juta sampai dengan 3.000.000 tiga juta jiwa mendapat 45 empat puluh lima kursi; c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 3.000.000 tiga juta sampai dengan 5.000.000 lima juta jiwa mendapat 55 lima puluh lima kursi; d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 5.000.000 lima juta sampai dengan 7.000.000 tujuh juta jiwa mendapat 65 enam puluh lima kursi; e. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 7.000.000 tujuh juta sampai dengan 9.000.000 sembilan juta jiwa mendapat 75 tujuh puluh lima kursi; f. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 9.000.000 sembilan juta jiwa sampai dengan 12.000.000 dua belas juta jiwa mendapat 85 delapan puluh lima kursi. g. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 dua belas juta jiwa mendapat 100 seratus kursi. 3 Jumlah kursi setiap anggota DPRD setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan oleh KPU. Pasal 50 1 Jumlah kursi anggota DPRD KabupatenKota ditetapkan sekurang-kurangnya 20 dua puluh kursi dan sebanyak-banyaknya 45 empat puluh lima kursi. 2 Jumlah kursi anggota DPRD KabupatenKota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada jumlah penduduk di kabupatenkota dengan ketentuan: a. kabupatenkota dengan jumlah penduduk sampai dengan 100.000 seratus ribu jiwa mendapat 20 dua puluh kursi; b. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 100.000 seratus ribu sampai dengan 200.000 dua ratus ribu jiwa mendapat 25 dua puluh lima kursi; c. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 200.000 dua ratus ribu sampai dengan 300.000 tiga ratus ribu jiwa mendapat 30 tiga puluh kursi; Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 489 d. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 300.000 tiga ratus ribu sampai dengan 400.000 empat ratus ribu jiwa mendapat 35 tiga puluh lima kursi; e. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 400.000 empat ratus ribu sampai dengan 500.000 lima ratus ribu jiwa mendapat 40 empat puluh kursi; f. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 lima ratus ribu jiwa mendapat 45 empat puluh lima kursi. 3 Jumlah kursi anggota DPRD setiap kabupatenkota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan oleh KPU. Berdasarkan Perubahan UUD 1945, maka keanggotaan ABRI pada DPR maupun DPRD sudah ditiadakan, karena secara konstitusional dewasa ini lembaga perwakilan rakyat baik DPR, DPD maupun DPRD harus dipilih melalui pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 703 Dalam hubungan ini terdapat berbagai indikator yang dapat dijadikan dasar dalam merefleksikan prilaku politik dan prilaku hukum DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara sebagai wakil rakyat, berdasarkan berbagai karakteristik jumlah penduduk, pluralisme agama maupun suku bangsa, bahkan juga dilihat dari pengelompokan penduduk dari berbagai jenis pekerjaan, seperti petani, nelayan, pengusaha, pegawai negeri dan sebagainya. Oleh karena itu, diharapkan anggota DPRD tersebut dapat menampung dan menyalurkan aspirasi mereka ke dalam berbagai kebijakan publik public policy. 703 Hal ini dapat diperhatikan dalam Pasal 2 ayat 1, Pasal 19 ayat 1 dan 2, Pasal 22C ayat 1 dan Pasal 18 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 490 Tabel 5. 1. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Menurut KabupatenKota Tahun 2000-2003 No. KabupatenKota 2000 2003 1. Nias 683.416 1 422.170 2. Mandailing Natal 359.849 369.691 3. Tapanuli Selatan 734.364 2 596.188 4. Tapanuli Tengah 244.679 272.333 5. Tapanuli Utara 407.711 3 255.162 6. Toba Samosir 304.125 4 166.494 7. Labuhan Batu 844.924 910.502 8. Asahan 935.855 990.230 9. Simalungun 855.802 808.288 10. Dairi 292.857 5 255.847 11. Karo 283.713 306.869 12. Deli Serdang 1.959.488 6 1.486.094 13. Langkat 906.565 940.601 14. Nias Selatan - 275.422 15. Humbang Hasundutan - 152.377 16. Pakpak Bharat - 33.822 17. Samosir - 119.092 18. Serdang Bedagai - 568.613 19. Sibolga 82.310 85.505 20. Tanjung Balai 132.438 144.979 21. Pematang Siantar 241.524 223.949 22. Tebing Tinggi 125.006 132.760 23. Medan 1.905.587 1.979.340 24. Binjai 213.760 225.335 25. Padang Sidempuan - 168.536 Sumatera Utara 11.513.973 11.890.399 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2004 Keterangan : 1 Masih termasuk Kabupaten Nias Selatan 2 Masih termasuk Kota Padang Sidempuan 3 Masih termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan 4 Masih termasuk Kabupaten Samosir 5 Masih termasuk Kabupaten Pakpak Bharat 6 Masih termasuk Kabupaten Serdang Bedagai Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 25 kabupaten dan kota memiliki jumlah penduduk yang bervariasi, ada yang tergolong padat serta terdapat beberapa daerah yang jumlah penduduknya Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 491 sedikit, sehingga memerlukan berbagai pendekatan yang berbeda dalam mengakomodasi berbagai kepentingan masing-masing daerah. Demikian juga dilihat dari segi agama, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini : Tabel 5. 2. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Menurut Agama dan KabupatenKota Tahun 2000 Agama No. Kabupatenkota Islam Katolik Protestan Hindu Budha Lainnya Jumlah 1. Nias 1 30.301 96.562 554.935 45 427 1.146 683.416 2. Mandailing Natal 350.504 1.192 8.086 30 4 33 359.849 3. Tapanuli Selatan 2 671.158 5.912 56.007 53 906 152 74.188 4. Tapanuli Tengah 103.369 32.649 107.478 28 132 1.017 244.637 5. Tapanuli Utara 3 15.903 35.141 356.040 29 136 461 407.710 6. Toba Samosir 4 9.597 70.588 221.855 13 125 1.947 304.125 7. Labuhan Batu 706.579 17.699 110.391 495 8.566 359 844.089 8. Asahan 822.808 13.705 89.559 409 8.538 634 935.653 9. Simalungun 499.741 49.708 302.054 287 2.683 1.310 85.783 10. Dairi 5 50.243 32.949 208.778 70 260 24 292.824 11. Karo 68.267 47.301 163.667 496 1.703 2.279 283.713 12. Deli Serdang 6 1.559.368 58.829 259.740 3.753 39.931 1.637 1.959.258 13. Langkat 812.723 9.557 68.282 782 8.566 3.076 902.986 14. Nias Selatan - - - - - - - 15. Humbang Hasundutan - - - - - - - 16. Pakpak Bharat - - - - - - - 17. Samosir - - - - - - - 18. Serdang Bedagai - - - - - - - 19. Sibolga 47.763 4.259 26.436 115 3.000 126 81.699 20. Tanjung Balai 108.539 1.404 10.296 109 12.002 35 132.385 21. Pematang Siantar 103.504 12.230 108.996 551 16.099 100 241.480 22. Tebing Tinggi 96.824 2.228 14.328 261 11.213 125 124.979 23. Medan 1.291.751 55.002 345.310 12.888 197.986 1.336 1.904.273 24. Binjai 181.897 3.541 14.72 915 12.587 58 213.725 25. Padang Sidempuan - - - - - - - 7.530.839 550.456 3.062.965 21.329 324.864 16.355 11.506.808 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2004 Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 492 Keterangan: tidak termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap 1 Masih termasuk Kabupaten Nias Selatan 2 Masih termasuk Kota Padang Sidempuan 3 Masih termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan 4 Masih termasuk Kabupaten Samosir 5 Masih termasuk Kabupaten Pakpak Bharat 6 Masih termasuk Kabupaten Serdang Bedagai Berdasarkan tabel diatas, penduduk Provinsi Sumatera Utara sangat pluralistik, akan tetapi pada beberapa daerah kabupaten dan kota dilihat dari segi agama ada yang cenderung homogen, bahkan juga dari segi suku bangsa, sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 5. 3. Persentase Penduduk Sumatera Utara menurut Suku Bangsa dan KabupatenKota Tahun 2000 Suku Bangsa No. Kabupatenkota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Nias 1 0,55 0,01 0,00 0,35 0,06 0,04 95,31 0,08 0,41 0,19 0,09 2,90 2. Mandailing Natal 6,74 0,03 0,02 3,02 80,20 0,01 0,26 6,30 1,13 0,00 0,07 2,22 3. Tapanuli Selatan 2 0,14 0,07 0,01 26,60 63,08 0,02 1,74 5,57 0,95 0,11 0,07 1,65 4. Tapanuli Tengah 0,65 0,23 0,17 73,09 3,16 2,10 9,91 6,42 1,78 0,07 0,51 1,90 5. Tapanuli Utara 3 0,05 0,11 0,06 96,51 0,14 1,53 0,21 0,31 0,14 0,11 0,02 0,81 6. Toba Samosir 4 0,05 0,14 0,11 96,72 0,08 0,04 0,35 0,85 0,22 0,04 0,07 1,35 7. Labuhan Batu 3,97 0,44 0,20 30,21 14,85 0,03 0,75 45,50 0,81 0,93 0,21 2,10 8. Asahan 16,73 0,38 0,47 22,26 2,68 0,03 0,11 52,25 1,12 0,71 0,45 2,82 9. Simalungun 0,43 1,32 15,82 31,08 1,77 0,07 0,18 46,53 0,45 0,06 0,14 2,15 10. Dairi 5 0,05 8,61 1,52 66,70 0,20 19,79 0,18 1,48 0,27 0,13 0,14 0,92 11. Karo 0,20 74,87 1,41 11,08 0,42 0,45 0,38 8,32 0,59 0,43 0,55 1,31 12. Deli Serdang 6 7,40 6,95 2,23 13,27 5,36 0,15 0,36 54,45 2,17 1,60 0,88 5,18 13. Langkat 14,93 10,22 0,10 4,50 2,54 0,16 0,12 56,87 1,29 0,88 2,29 6,10 14. Nias Selatan - - - - - - - - - - - - 15. Humbang - - - - - - - - - - - - 16. Pakpak Bharat - - - - - - - - - - 17. Samosir - - - - - - - - - - - - 18. Serdang Bedagai - - - - - - - - - - - - 19. Sibolga 2,91 0,52 0,36 55,93 5,65 0,20 7,70 6,47 10,76 4,23 3,20 2,07 20. Tanjung Balai 15,41 0,73 0,09 42,47 8,39 0,01 0,15 17,06 3,58 9,33 1,11 1,68 21. Pematang Siantar 0,66 1,78 6,69 47,54 5,rA 0,10 0,44 25,47 2,40 3,90 0,29 5,09 22. Tebing Tinggi 4,35 1,34 7,03 14,51 10,47 0,09 0,43 40,16 8,92 9,48 0,62 2,59 23. Medan 6,59 4,10 0,69 19,21 9,36 0,34 0,69 33,03 8,60 10,65 2,78 3,95 24. Binjai 6,32 6,03 0,23 7,45 9,31 0,11 0,23 52,43 7,06 6,10 1,50 3,24 25. Padang Sidempuan - - - - - - - - - - - - 26. 5,86 5,09 2,04 25,62 11,27 0,73 6,36 33,40 2,66 2,71 0,97 3,29 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2004. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 493 Keterangan: tidak termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap 1 Masih termasuk Kabupaten Nias Selatan 2 Masih termasuk Kota Padang Sidempuan 3 Masih termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan 4 Masih termasuk Kabupaten Samosir 5 Masih termasuk Kabupaten Pakpak Bharat 6 Masih termasuk Kabupaten Serdang Bedagai Suku Bangsa : 1 Melayu 7 Nias 2 Karo 8 Jawa 3 Simalungun 9 Minang 4 TapanuliToba 10 Cina 5 Mandailing 11 Aceh 6 Pakpak 12 Lainnya Memperhatikan berbagai data tersebut, menunjukkan karakteristik masyarakat yang terdapat pada Daerah KabupatenKota pada Provinsi Sumatera Utara tersebut, sehingga membawa konsekuensi dibutuhkan kemampuan dari lembaga perwakilan rakyat DPRD yang representatif dalam mewakili kepentingan seluruh masyarakat, terutama dalam meningkatkan pendemokratisasian dalam rangka pelayanan dan pemberdayaan empowering guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Memperhatikan sampel penelitian ini, maka dapat diperhatikan keterwakilan politik political representativeness masyarakat melalui hasil Pemilu 1999 maupun hasil Pemilu 2004, dilihat dari segi jumlah penduduk sebagai berikut : Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 494 Tabel 5.4. Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Jumlah Anggota DPRD-DPRD Pada Propinsi Sumatera Utara Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009. Jumlah Penduduk No. Provinsi, KabupatenKota Pemilu 1999 Pemilu 2004 Jlh anggota DPRD 1. Provinsi Sumatera Utara 11.513.973 11.890.399 85 2. Kabupaten Langkat 899.600 940.601 45 3. Kabupaten Deli Serdang 1.963.100 2.054.707 45 4. Kabupaten Mandailing Natal 359.000 369.691 35 5. Kota Medan 1.905.587 1.979.340 45 6. Kota Tebing Tinggi 125.006 132.760 25 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2003. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa keterwakilan politik masyarakat pada Pemilu 1999 belum sepenuhnya tercermin pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara, karena meskipun sudah ditentukan jumlah anggota DPRD berdasarkan jumlah penduduk, akan tetapi dengan aturan setiap Daerah Tingkat II bagi DPRD Provinsi Sumatera Utara mendapat sekurang-kurangnya 1 satu kursi atau untuk setiap wilayah kecamatan bagi DPRD II memperoleh sekurang-kurangnya 1 satu kursi tentu hanya mencerminkan daerah bukan penduduk, karena baik pada Daerah Tingkat II maupun wilayah kecamatan berbeda kepadatan penduduknya, sedangkan undang-undang menentukan jumlah anggota DPRD tersebut didasarkan pada jumlah penduduk. 704 Bahkan bila diamati jumlah penduduk pada Pemilu 1999, penduduk Kota Medan berjumlah 1.905.587 orang mempunyai jumlah kursi yang sama dengan 704 Perhatikan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang No. 3 Tahun 1999. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 495 Kabupaten Langkat yang jumlah penduduknya 899.600 orang, juga dengan Kabupaten Nias dengan jumlah penduduku 701.800 orang. 705 Dalam Pemilu 2004, meskipun sudah ditentukan jumlah anggota DPRD berdasarkan imbangan jumlah penduduk, akan tetapi dengan penetapan kursi oleh Komisi Pemilihan Umum, termasuk Daerah Pemilihan tentunya belum sepenuhnya mewakili representasi dari keterwakilan politik masyarakat, apalagi tidak jarang partai politik yang dicalonkan adakalanya tidak berasal dari daerah pemilihan tempat tinggal yang bersangkutan. Realitas ini dapat diperhatikan dari keadaan kependudukan untuk Pemilu 2004, Jumlah penduduk Kota Medan sebanyak 1.979.340 orang mempunyai jumlah DPRD yang sama dengan Kabupaten Langkat dengan jumlah penduduk 940.601 orang, dan bahkan sama dengan jumlah anggota DPRD Tapanuli Selatan dengan jumlah penduduk 597.947 orang. 706 Bahkan data tersebut juga menunjukkan perbedaan jumlah penduduk pada pemilihan umum 1999 dengan pemilihan umum 2004 ternyata tidak mengubah jumlah keanggotaan DPRD pada Provinsi Sumatera Utara maupun KabupatenKota yang dijadikan sampel penelitian. Demikian juga dilihat dari segi etnisitas wakil terpilih yang duduk pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera dapat dianalisis dari tabel berikut ini: 705 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka 1999, Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 1999, hlm. 25-27. 706 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Jumlah Penduduk dan Pemilih Pada Wilayah Kecil Kecamatan Menurut KabupatenKota Provinsi Sumatera Utara, Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2003, hlm. 13 Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 496 Tabel 5.5. Jumlah Anggota DPRD-DPRD Pada Provinsi Sumatera Utara Menurut Etnis Periode 1999-2004 No Provinsi, KabupatenKota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jlh 1. DPRD Provinsi Sumut 4 12 7 21 18 1 3 14 3 1 - 1 85 2. DPRD Kabupaten Langkat 11 9 2 1 7 - - 10 3 - 1 1 45 3. DPRD Kabupaten Deli Serdang 4 7 4 5 6 - - 15 3 - 1 - 45 4. DPRD Kabupaten Mandailing Natal - 1 - 2 31 - - - - - - 1 35 5. DPRD Kota Medan 5 5 2 14 6 1 - 3 4 - 1 4 45 6. DPRD Kota Tebing Tinggi 1 3 - 8 3 - - 4 6 - - - 25 Sumber : Sekretariat DPRD, Sampel Penelitian, diolah, 2007. Suku Bangsa : 1 Melayu 7 Nias 2 Karo 8 Jawa 3 Simalungun 9 Minang 4 TapanuliToba 10 Cina 5 Mandailing 11 Aceh 6 Pakpak 12 Lainnya Tabel 5.6. Jumlah Anggota DPRD-DPRD Pada Provinsi Sumatera Utara Menurut Etnis Periode 2004-2009 No Provinsi, KabupatenKota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jlh 1. DPRD Provinsi Sumut 8 6 1 21 22 1 5 9 6 - 3 3 85 2. DPRD Kabupaten Langkat 8 8 1 1 5 - - 19 2 - - 1 45 3. DPRD Kabupaten Deli Serdang 3 12 3 4 6 2 - 14 - - - 1 45 4. DPRD Kabupaten Mandailing Natal - - - - 31 - - - - - - 4 35 5. DPRD Kota Medan 10 4 - 11 8 - - 5 2 - 3 2 45 6. DPRD Kota Tebing Tinggi 2 1 1 2 5 - - 9 4 - - 1 25 Sumber : Sekretariat DPRD Sampel Penelitian, diolah, 2007. Suku Bangsa : 1 Melayu 7 Nias 2 Karo 8 Jawa 3 Simalungun 9 Minang 4 TapanuliToba 10 Cina 5 Mandailing 11 Aceh 6 Pakpak 12 Lainnya Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 497 Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk DPRD Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 1999 sudah cukup representatif, akan tetapi pada Pemilu 2004 masih terdapat etnis yang cukup signifikan penduduk Provinsi Sumatera Utara, diantaranya etnis Cina dengan penduduk sekitar 2,71 berdasarkan data statistik 2004, sementara etnis Minang yang hanya dengan jumlah penduduk 2,66 telah mampu menempatkan wakilnya pada DPRD Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Bahkan di Kota Tebing Tinggi dan Kota Medan dengan masing-masing jumlah etnis Cina mencapai 8,92 dan 8,60 tidak memperoleh wakil di DPRD baik pada hasil Pemilu 1999 maupun hasil Pemilu 2004, demikian juga Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah etnis Cina 1,60 belum memperoleh wakil di DPRD, sehingga tentunya dapat berpengaruh pada komunikasi politik dalam rangka menampung dan menyalurkan aspirasi mereka. Di Kabupaten Mandailing Natal dilihat dari segi etnis di dominasi oleh etnis Mandailing, karena daerah ini sebenarnya cenderung homogen, akan tetapi dilihat dari segi keterwakilan politik penduduk Mandailing Natal, terdapat beberapa etnis yang kurang terwakili pada DPRD hasil Pemilu 2004, yaitu etnis Batak TobaTapanuli dengan jumlah penduduk 3,02, sehingga tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja DPRD dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat konsituennya. Demikian juga dari segi agama, berdasarkan amatan data yang diperoleh, terdapat beberapa pemeluk agama yang juga belum terwakili di DPRD Provinsi Sumatera Utara, yaitu pemeluk agama Budha, dengan jumlah penduduk sekitar Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 498 324.864 orang, termasuk juga di Kota Medan yang jumlahnya sangat signifikan yaitu sekitar 197.986 orang, juga di Tebing Tinggi yang merupakan jumlah penduduk terbesar ketiga. Meskipun keadaan ini tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pemilu yang dianut, akan tetapi tentunya seharusnya format politik pemilu mengakomodir keterwakilan politik setiap penduduk pada lembaga perwakilan rakyat. Fenomena yang cukup menarik juga terjadi pada Pemilu 2004 di Kabupaten Mandailing Natal, dari 35 anggota DPRD yang didominasi etnis Mandailing, terdapat 9 sembilan anggota DPRD atau 25,7 yang terpilih didasarkan pada pendidikan keagamaan baca, ustadz, yang tentunya hal ini tidak terlepas dari daerah berbudaya santri yang melekat pada Kabupaten Mandailing Natal serta homogenitas masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam, di samping tingkat kepercayaan masyarakat kepada para ulama yang masih kuat sebagai sosok yang dipandang bersih guna mewujudkan clean government, sehingga pengaruh mereka cukup kuat. 707 Hal ini dapat diperhatikan dari keberadaan partai-partai yang bercirikan Islam dalam memenangi pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, sebagaimana tabel berikut ini : 707 Hal ini juga terjadi pada beberapa daerah lain, seperti Kabupaten Sampang dan Pasuruan di Provinsi Jawa Timur, Kota Padang, Kabupaten Agam dan Padang Pariaman di Sumatera Barat. Perhatikan Moch Nurhasim, Pengaruh dan Kekuatan Kyai dalam Rekrutmen Politik: Kasus Kabupaten Sampang dan Pasuruan dan Arbi Sanit, Tarik Menarik Antara Politisi Ulama dan Polititsi Pengusaha: Kasus Kota Padang, Kabupaten Agam dan Padang Pariaman, dalam Syamsuddin Haris Ed., Pemilu Langsung …, op.cit., hlm. 29-71 dan hlm. 153-203. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 499 Tabel 5.7. Perbandingan Jumlah Anggota DPRD Mandailing Natal Menurut Partai Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 Jumlah Anggota DPRD No. Partai Periode 1999-2004 Periode 2004-2009 1. PBB 1 1 2. PPP 9 5 3. PKPKS 1 4 4. PBR - 5 5. PKB 2 2 6. PNU 1 - 7. Partai GOLKAR 7 6 8. PAN 5 4 9. PDIP 3 1 10. Partai IPKI 1 - 11. TNIPolri 4 - 12. Partai Demokrat - 1 13. Partai Merdeka - 1 14. PKPPKPI 1 1 15. PKPB - 2 16. Partai Patriot Pancasila - 1 17. PDK - 1 Jumlah 35 35 Sumber : KPU Kabupaten Mandailing Natal, 2004. Realitas ini menunjukkan pada Pemilu 1999 dari 35 tiga puluh lima anggota DPRD Mandailing Natal, terdapat 14 empat belas kursi atau 40, sedangkan hasil Pemilu 2004 terdapat 17 tujuh belas kursi atau 48,5 berasal dari partai-partai yang bercirikan Islam. Dewasa ini dalam rangka persamaan gender, undang-undang Pemilu telah menetapkan, setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap Daerah Pemilihan Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 500 dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 708 , akan tetapi meskipun ada pengaturan yang demikian keterwakilan perempuan belum maksimal, baik dalam Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004 sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 5.8. Perbandingan Keterwakilan Perempuan Pada DPRD Sampel Penelitian Di Provinsi Sumatera Utara Hasil Pemilu 1999 dan 2004 Periode 1999-2004 Periode 2004-2009 No. Provinsi, KabupatenKota Laki-laki Wanita Laki-laki Wanita Jlh 1. Provinsi Sumut 83 2 79 6 85 2. Kabupaten Langkat 43 2 40 5 45 3. Kabupaten Deli Serdang 44 1 40 5 45 4. Kabupaten Mandailing Natal 34 1 34 1 35 5. Kota Medan 43 2 40 5 45 6. Kota Tebing Tinggi 23 2 23 2 25 Sumber : KPU Provinsi Sumatera Utara, 2004. Berdasarkan data tersebut, mengindikasikan keterwakilan perempuan belum maksimal diperoleh melalui Pemilihan umum 1999 maupun 2004, padahal berdasarkan penelitian, perempuan hampir dua kali lebih mungkin terpilih jika menggunakan sistem representasi proporsional, sama halnya dengan sistem pluralitasmayoritas. 709 Tidak semua negara yang menggunakan sistem pemilu Representase Proporsional memiliki tingkat perwakilan perempuan yang relatif lebih tinggi, sebagai contoh ada tingkat yang sangat rendah di Turki 4,2, Brasil 708 Pasal 65 ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. 709 IFES International Foundation for Election Systems, Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya dipilih Melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: IFES, tanpa tahun, hlm. 9. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 501 5,7, Indonesia 8,0 dan Yunani 8,75. Di sisi lain, ada sejumlah kecil negara yang menggunakan sistem pluralitasmayoritas memiliki tingkat keterwakilan politik yang relatif Tinggi, seperti Australia 23,0, Kanada 20,6 dan Inggris 18,2. Meskipun demikian, secara umum terdapat korelasi yang kuat antara jenis sistem pemilihan umum dan proporsi wakil-wakil perempuan dalam parlemen nasional. Jelas terlihat bahwa sistem pluralitasmayoritas menjadikan keterwakilan perempuan agak sulit. Bukti menunjukkan bahwa sistem “campuran” memberikan kesempatan yang lebih baik bagi keterwakilan perempuan. 710 Dalam kaitan dengan sistem pemilihan umum yang berlaku saat ini, Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi mengemukakan : Sistem pemilu legislatif saat ini, yakni sistem proporsional dengan daftar terbuka sudah merupakan langkah maju dibandingkan sistem proporsional dengan daftar tertutup list system pada Pemilu 1999. Terdapat peningkatan derajat keterwakilan masyarakat bila diamati bahwa jumlah wakil terpilih dari setiap daerah pemilihan Dapem ditentukan berdasarkan rasio persentase jumlah penduduk di satu Dapem terhadap jatah kuota kursi di DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD KabupatenKota. Ini tentu saja terkait dengan keterwakilan politik masyarakat yang berhubungan dengan rasio pelayanan terhadap masyarakat di daerah pemilihan. Namun dari sisi keterwakilan etnis, agama maupun gender tidak diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, kecuali “dihimbau” agar setiap parpol peserta pemilu menyusun komposisi para calegnya dengan kuota 30 perempuan. Himbauan tentunya bersifat tidak wajib, sehingga hanya 1-2 partai politik saja di Kota Tebing Tinggi yang memenuhi kuota 30 caleg perempuan untuk masing-masing daerah pemilihan. 711 710 Ibid., hlm. 10. 711 Wawancara dengan Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi, tanggal 5 Pebruari 2007. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 502 Namun demikian apabila diamati data calon legislatif yang diajukan oleh partai politik untuk Provinsi Sumatera Utara, dilihat dari jenis kelamin sudah hampir memenuhi kuota 30 yang dikehendaki oleh undang-undang, sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 5.9. Keterwakilan Perempuan pada Pemilu Tahun 2004 Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara No. Nama Partai Politik Jlh Caleg Perempuan Jlh Caleg Laki-laki Persentase 1. PNI Marhaenisme 14 44 31 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 17 42 40 3. Partai Bulan Bintang 27 65 41 4. Partai Merdeka 14 35 40 5. Partai Persatuan Pembangunan 30 102 29 6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 8 26 30 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 15 44 34 8. Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan 18 50 36 9. Partai Demokrat 25 64 39 10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 10 22 45 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 24 43 55 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 7 25 28 13. Partai Amanat Nasional 20 54 37 14. Partai Karya Perduli Bangsa 19 48 39 15. Partai Kebangkitan Bangsa 20 67 29 16. Partai Keadilan Sejahtera 39 78 50 17. Partai Bintang Reformasi 36 78 46 18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 13 77 16 19. Partai Damai Sejahtera 17 51 33 20. Partai Golongan Karya 35 97 36 21. Partai Patriot Pancasila 8 44 18 22. Partai Serikat Indonesia 17 44 38 23. Partai Persatuan Daerah 8 30 40 24. Partai Pelopor 6 28 15 Jumlah 447 1.261 35 Sumber : KPU Provinsi Sumatera Utara, 2004. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 503 Berdasarkan data tersebut, hanya beberapa partai yang belum memenuhi kuota 30 calon legislatif perempuan, diantaranya, PPP 29, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 28, PDIP 16, Partai Patriot Pancasila 18 dan Partai Pelopor 15, akan tetapi dalam praktek dari beberapa data penetapan perempuan oleh partai politik pada masing-masing daerah pemilihan lebih banyak berada pada nomor urut yang tinggi, sehingga tetap saja keterwakilan politik perempuan belum sepenuhnya berhasil untuk masuk menjadi calon terpilih untuk DPRD Provinsi. Untuk lebih jelasnya keterwakilan unsur perempuan yang terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara hasil Pemilu 2004 adalah sebagai berikut : Tabel 5.10. Keterwakilan Unsur Perempuan Hasil Pemilu 2004 Pada DPRD Provinsi Sumatera Utara No. Nama Perolehan Suara Partai Politik Keterangan 1. Ny. Hj. Wardaty Nasution, BA 17.333 Demokrat 2. Ir. Fanin Nurlita Nainggolan, M.Si 4.087 PKS 3. Hj. Apriani Hakim Nasution, SE 12.846 Golkar 4. Dra. Mary B Harun Br Sitompul 5.089 PDS 5. Ristiawati 4.446 Demokrat 6. Dra. Hj. Darmataksiah YWR 12.056 Golkar Sumber : KPU Provinsi Sumatera Utara, 2004. Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara sebanyak 85 delapan puluh lima orang, dengan tingkat Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 504 keterwakilan perempuan sebanyak 6 enam orang dengan persentase + 7, yang berarti belum memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 ayat 1 Undang- undang No. 12 Tahun 2003. Bahkan untuk Kota Medan, cukup banyak partai politik yang tidak memenuhi quota 30 mengajukan calon legislatif perempuan yang diamanatkan oleh Undang- undang Pemilu, sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 5.11. Keterwakilan Unsur Perempuan Pada Pemilu 2004 Calon Legislatif DPRD Kota Medan No. Nama Partai Politik Jumlah Caleg Laki-laki Jumlah Caleg Perempuan Total Caleg 1. PNI Marhaenisme 23 7 30 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 23 6 20 3. Partai Bulan Bintang 24 10 29 4. Partai Merdeka 16 3 19 5. Partai Persatuan Pembangunan 23 19 42 6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 16 8 24 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 27 9 36 8. Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan 21 8 29 9. Partai Demokrat 28 16 44 10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 27 4 31 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 21 10 31 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 14 13 27 13. Partai Amanat Nasional 32 11 43 14. Partai Karya Perduli Bangsa 25 10 35 15. Partai Kebangkitan Bangsa 19 6 25 16. Partai Keadilan Sejahtera 37 17 54 17. Partai Bintang Reformasi 32 13 45 18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 37 15 52 19. Partai Damai Sejahtera 36 7 43 20. Partai Golongan Karya 36 14 50 21. Partai Patriot Pancasila 34 9 43 22. Partai Serikat Indonesia 11 8 19 23. Partai Persatuan Daerah 14 5 19 24. Partai Pelopor 18 7 25 Sumber : KPU Kota Medan, 2004. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 505 Memperhatikan data tersebut, masih banyak partai politik yang belum memenuhi kuota 30 calon legislatif perempuan, diantaranya, PNI Marhaenisme 23, Partai Buruh Sosial Demokrat 20, PBB 29, Partai Merdeka 15, Partai PIB 25, PNBK 27, PKPI 12, PAN 25, PKPB 24, PKB 24, PBR 28, PDIP 28, PDS 16, Partai Golkar 28, Partai Patriot Pancasila 20, PPD 26, dan Partai Pelopor 28. Berarti dari 24 partai politik peserta pemilu 2004 hanya 7 tujuh partai yang memenuhi kuota undang-undang, yaitu: PPP 45, PPDK 33, Partai Demokrat 36, PPDI 32, PNUI 48, PKS 31, dan PSI 42. Bahkan sama halnya dengan Provinsi Sumatera Utara, dalam praktek dari beberapa data penetapan perempuan oleh partai politik pada masing-masing daerah pemilihan lebih banyak berada pada nomor urut yang tinggi, sehingga tetap saja keterwakilan politik perempuan belum sepenuhnya berhasil untuk masuk menjadi calon terpilih untuk DPRD Provinsi maupun DPRD KabupatenKota. Selain realitas tersebut, keterwakilan gender ini juga tidak terlepas dari budaya hukum legal culture, berupa nilai-nilai, sikap-sikap, kepercayaan- kepercayaan dan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. 712 Siti Musdah Mulia dalam hubungan ini menyebutkan bahwa di Indonesia ketimpangan gender, selain dijumpai pada materi hukum content of law dan struktur hukum structure of law, juga sangat dipengaruhi oleh budaya hukum culture of law. Aspek budaya hukum ini tampak pada kuatnya pengaruh nilai-nilai 712 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai …, op.cit., hlm. 108. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 506 patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum 713 , termasuk tentunya dalam hal keterwakilan politik kaum perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat melalui pemilihan umum. Meskipun berbagai indikator tersebut “tidak mutlak” diperlukan pengklasifikasian demikian untuk mengukur kinerja DPRD dalam menampung dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya, karena pada saat mereka duduk pada DPRD seharusnya berfungsi mewakili seluruh kepentingan warga masyarakat daerah, akan tetapi dalam konteks keterwakilan politik masyarakat dilihat dari segi formil dalam arti kwantitas dan kehadiran mereka pada lembaga perwakilan rakyat DPRD, menunjukkan masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang belum terwakili, sehingg sistem pemilihan umum yang diselenggarakan pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 belum sepenuhnya memenuhi aspek formil. Di sisi lain, sistem pemilihan umum yang menggunakan proporsional dengan daftar tertutup pada Pemilu 1999 maupun sistem proporsional dengan daftar terbuka pada Pemilu 2004 untuk Provinsi Sumatera Utara juga masih menyisakan persoalan, apabila dihubungkan dengan keterwakilan politik masyarakat. Pada Pemilu 1999 pemilih hanya memilih tanda gambar partai saja, sehingga kurang mengenal wakil mereka yang terpilih pada DPRD, karena akhirnya yang menentukan adalah 713 Siti Musdah Mulia, Rekonstruksi Pemikiran …, op.cit., hlm. 7. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 507 berdasarkan nomor urut calon legislatif yang diajukan oleh partai politik, dan pencalonannya lebih banyak didasarkan pada internal partai. Artinya masyarakat belum dilibatkan sepenuhnya untuk ikut menilai calon-calon legislatif yang diusung oleh partai politik, dan kebanyakan yang menjadi calon tersebut adalah dari pengurus partai politik. Realitas ini dapat diperhatikan dari penelitian penulis terhadap sejumlah anggota DPRD yang dijadikan responden penelitian, diperoleh data sebanyak 47 orang atau 67 mengemukakan mekanisme pencalonan anggota DPRD berasal dari internal partai, sedangkan sebagian lagi 23 orang atau 33 mengemukakan selain internal partai juga melibatkan masyarakat. Bahkan menurut anggota dan mantan anggota yang menjadi responden penelitian ini sebanyak 42 responden 60 lebih lanjut menyebutkan bahwa yang dijadikan calon anggota legislatif itu lebih banyak berasal dari pengurus partai politik, dan 22 responden 31,4 menyebutkan sebagian besar berasal dari pengurus partai politik dan selebihnya diambil dari anggota partai politik, dan hanya 6 responden 8,6 yang berpendapat calon anggota DPRD itu berasal dari keseimbangan antara pengurus partai politik dengan anggota partai politik. Keadaan tersebut berarti sistem rekrutmen calon lebih banyak bersifat tertutup dan tidak disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini juga diakui oleh masyarakat yang menjadi responden penelitian sebanyak 375 orang, masing-masing 15 lima belas orang untuk berbagai jenis pekerjaan: PNS, PetaniNelayan, ProfesiJasa, Pekerja dan Pengusaha, pada 5 lima kabupatenkota yang dijadikan sampel Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 508 penelitian, dengan menyatakan bahwa mereka belum diberi kesempatan luas untuk dicalonkan atau menilai kualitas calon anggota DPRD yang diajukan oleh partai politik, sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 5.12. Kesempatan Masyarakat untuk Dicalonkan atau Menilai Kualitas Calon Anggota DPRD No. Jenis Respondens Sering diberi kesempatan Kadang-kadang diberi kesempatan Tidak diberi kesempatan Tidak menjawab 1. PNS 8 28 30 9 2. Petaninelayan 7 34 20 14 3. ProfesiJasa 16 27 28 4 4. Pengusaha 19 21 31 4 5. Pekerja 7 23 36 9 Jumlah 57 133 145 40 Sumber: Data primer, diolah, 2007. Realitas tersebut menunjukkan hanya 57 responden 15,2 yang menyebutkan sering diberi kesempatan untuk menilai kualitas atau dicalonkan oleh partai politik, sedangkan yang menyatakan kadang-kadang diberi kesempatan sebanyak 133 responden 35,4, dan yang tidak menjawab sebanyak 40 responden 10,7. Sementara itu yang menyatakan tidak diberi kesempatan sejumlah 145 responden 38,7. Keadaan ini juga diakui oleh LSM yang dijadikan responden penelitian, tidak ada LSM yang menyatakan sering diberi kesempatan, dan hanya 2 LSM 10 yang menyatakan kadang-kadang diberi kesempatan, sementara itu 13 LSM 65 menyebutkan tidak diberi kesempatan sedangkan sisanya 5 LSM 25 Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 509 tidak memberikan jawaban, sehingga dengan demikian rekrutmen kader oleh partai politik lebih banyak bersifat tertutup. Evi Novida Ginting, anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Medan menyebutkan dalam amatannya terdapat beberapa kelemahan sistem pemilihan umum 1999, diantaranya: institusi penyelenggaranya belum independen, menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, sehingga pemilih hanya diberi kesempatan untuk memilih tanda partai politik, serta tidak adanya pengaturan keterwakilan perempuan dalam undang-undang politik. 714 Akibatnya rakyat yang menggunakan hak pilihnya berdasarkan sistem daftar tertutup telah menyebabkan pemilih tidak memiliki hubungan langsung dengan calon legislatif terpilih, sebab yang dipilih adalah tanda gambar partai politik, dan keadaan ini tentunya akan mempengaruhi akuntabilitas dari wakil yang terpilih dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi konstituennya. Dengan perkataan lain sistem proporsional daftar tertutup telah melahirkan lembaga legislatif yang berjarak dengan rakyat, dan anggota legislatif tersebut lebih memandang dirinya sebagai wakil partai, apalagi dihubungkan dengan dominasi pimpinan partai politik dalam menentukan calon anggota legislatif sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 5 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 yang menyebutkan :”Penyusunan daftar calon anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dilakukan secara demokratis oleh Dewan 714 Wawancara dengan Evi Novida Ginting, Anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Medan, 5 Januari 2007. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 510 Pimpinan Pusat Partai Politik dengan memperhatikan sungguh-sungguh usulan tertulis dari Pimpinan Partai Politik di Daerah Tingkat II”. Meskipun semua kenyataan ini menunjukkan berbagai penyebab ketidakterwakilan masyarakat pada Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004, bukan berarti anggota DPRD tidak memperdulikan pemilih sepenuhnya. Namun hubungan tersebut tidak merupakan pertanggungjawaban politik karena hak politik ini berada di tangan partainya. Hubungan anggota DPRD dan pemilih lebih merupakan pertanggungjawaban moral 715 , semacam hutang budi, atau istilah yang lebih tepat adalah noblesse oblige. Tata cara pertanggungjawaban ini sama sekali tidak efektif untuk membantu anggota DPRD mengerti dan yang lebih penting mau memperjuangkan kepentingan aspirasi pemilih. Dalam kenyataan, karena garis pertanggungjawaban anggota DPRD ditujukan kepada pimpinan partai, maka sulit bagi anggota DPRD untuk berpihak kepada pemilih, apalagi berhadapan dengan kepentingan partai politik. 716 Demikian juga halnya dengan Pemilu 2004 berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 yang menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar calon terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupatenkota, hampir sama dengan sistem proporsional dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Sistem ini digunakan agar perolehan kursi setiap partai politik peserta 715 Bahkan Pasal 45 huruf g Undang-undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan pertanggungjawaban DPRD atas tugas dan kinerjanya secara moral dan politis kepada daerah pemilihannya, sehingga tidak secara langsung kepada konstituennya. 716 Kevin R. Evans, Sistem Pemilihan untuk Indonesia, dalam Yayasan API, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hlm. 104. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 511 pemilu mencerminkan perolehan suara partai politik tersebut dalam pemilu. Sistem proporsional dengan daftar calon terbuka mewakili ciri-ciri dari sistem perwakilan berimbang. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencerminkan keragaman dalam kehidupan masyarakat. Yang membedakannya dari sistem proporsional yang selama ini diterapkan di Indonesia adalah bahwa sistem baru ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih langsung calon legislatif yang dikehendakinya. Secara sederhana, perbedaan ini tampak pula pada bentuk suara yang menampilkan tanda gambar partai politik dan daftar nama calon legislatif yang diajukan oleh partai politik. Meskipun sistem pemilu kali ini berupaya membuka ruang yang lebih luas kepada partisipasi politik masyarakat, tetapi perubahan ini tentu tidak serta merta mengoptimalkan iklim demokrasi di Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah prilaku pemilih yang masih berbasis pada afiliasi komunal dan elite politik yang cenderung melihat pemilu sebagai upaya untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Karena itulah perluasan ruang partisipasi politik harus mendorong peningkatan kesadaran politik rakyat yang terlihat dalam kemandirian rakyat dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilu. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2003, penghitungan perolehan kursi legislatif setiap partai politik terbagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama, menghitung seluruh suara sah yang diperoleh sebuah partai politik di suatu daerah pemilihan. Total perolehan suara akan dibagi dengan BPP Bilangan Pembagi Pemilih yang diketahui dari hasil pembagian jumlah suara yang sah dengan jatah Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 512 kursi di daerah pemilihan. Partai politik yang perolehan suaranya sama dengan BPP dan kelipatannya akan langsung memperoleh kursi. Kelebihan suara dan suara sah yang diperoleh sebuah partai politik tapi kurang dari BPP akan menjadi sisa suara. Tahap kedua, menghitung sisa suara. Pada tahap ini sisa kursi yang tidak terdistribusikan karena sisakelebihan suaranya tidak mencapai BPP akan diberikan kepada partai politik yang memperoleh sisa suara terbanyak. Jika jumlah kursi sisa lebih dari satu, dan tidak ada lagi sisa suara yang mencapai BPP, kursi itu akan dibagikan kepada partai-partai politik berdasarkan urutan suara terbanyak. Setelah semua kursi di suatu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang lain “hangus”. Tidak ada aturan penggabungan suara dengan daerah pemilihan lain, baik dalam satu partai politik maupun gabungan partai politik stembus accord. Syarat BPP ini sebenarnya mengurangi aspek pemilihan calon legislatif secara langsung sebagai kekuatan dari sistem proporsional daftar terbuka. Akibatnya lebih banyak anggota dewan yang berasal dari pilihan partai politik, bukan pilihan rakyat. Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003, pemilih secara jelas tidak diperbolehkan memilih hanya nama calon legislatif, melainkan harus diikuti dengan pilihan atas partai yang bersangkutan. Hal ini bertolak belakang dengan semangat sistem proporsional terbuka yang mendorong pemilih agar memilih calon legislatif pilihannya secara langsung seperti yang tercantum dalam Pasal 84 dan Pasal 93 Undang-undang No. 12 Tahun 2003. Implikasinya kemudian, ternyata sistem pemilu yang dikembangkan dalam konteks Pemilu 1999 melahirkan anggota DPRD yang tidak begitu dikenal oleh Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 513 masyarakat, demikian juga dengan Pemilu 2004 meskipun diberi kesempatan bagi pemilih untuk memilih nama calon dan tanda gambar partai politik, tetapi dengan adanya penetapan BPP Bilangan Pembagi Pemilih telah mengakibatkan pilihan rakyat tidak terjelma ke dalam calon DPRD terpilih, karena masih sangat sulit untuk mencapai BPP, pada akhirnya anggota DPRD terpilih kembali kepada nomor urut calon partai bersangkutan tanpa melihat jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, dan tentunya penyusunan nomor urut daftar calon ini lebih banyak ditentukan oleh partai politik. Berdasarkan data yang diperoleh, untuk Provinsi Sumatera Utara, hanya 1 satu orang anggota DPRD yang lolos BPP, yaitu dari Partai Golkar di Kabupaten Langkat, yaitu Pardianto dengan nomor urut 11 pada Daerah Pemilihan I. Dalam hubungan dengan pola rekrutmen calon legislatif ini, Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi mengemukakan : “Pola rekrutmen oleh parpol untuk menentukan caleg saat ini belum terakomodir dalam Undang-undang Pemilu, hanya ada himbauan untuk menyusun daftar caleg secara demokratis. Disinilah muncul multi tafsir tentang “demokratis”, karena parpol memiliki kewenangan penuh untuk menciptakan sistem rekrutmen caleg-nya. Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Partai Politik tidak mencantumkan parameter-parameter yang harus dilakukan parpol untuk menyusun calegnya, serta tidak ada pula punishment bagi parpol yang tidak demokratis dalam membuat daftar caleg. Kerapkali terdengar bahwa untuk mencegah konflik dalam tubuh parpol, pimpinan parpol membuat kebijakan “perjanjian internal” yang dibuat secara hitam putih di depan Notaris. Namun, karena undang-undang pemilu tidak mengatur dan mengakui kesepakatan internal partai politik, maka otomatis kesepakatan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum positip dalam konteks peraturan pemilu”. 717 717 Wawancara dengan Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi, tanggal 5 Pebruari 2007. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 514 Hal senada juga disampaikan oleh Irham Buana Nasution, Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, terkait dengan pola rekrutmen partai politik dengan mengemukakan : “Rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik untuk menentukan calon legislatif belum dapat mengakomodir keterwakilan politik masyarakat, karena dalam menentukan calon kandidat belum sepenuhnya ada memakai kriteria atau standar yang dapat memuaskan unsur masyarakat, dan yang ada hanya berdasarkan sistem organisasi masa oleh partai politik, sehingga internal organisasi tersebutlah yang menentukan bakal calon kandidat, di samping itu juga dalam pencalonan tidak berukuran kepada kriteria kemampuan SDM namun memandang kepada kemampuan tingkat pendapatan”. 718 Berdasarkan realitas yang demikian, maka kebanyakan warga masyarakat yang menjadi responden menyatakan tidak begitu mengenal wakil mereka yang duduk pada DPRD baik hasil Pemilu 1999 maupun hasil Pemilu 2004, sebagaimana tabel di bawah ini : Tabel 5.13. Hubungan Konstituen dengan Anggota DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara No. Jenis Respondens Sangat kenal Kurang Kenal Tidak Kenal Tidak menjawab 1. PNS 3 24 47 1 2. Petaninelayan 2 18 55 - 3. ProfesiJasa 12 37 25 1 4. Pengusaha 16 34 25 - 5. Pekerja 5 19 47 4 Jumlah 38 132 199 6 Sumber: Data primer, diolah, 2007. 718 Wawancara dengan Irham Buana Nasution, Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, tanggal 19 Pebruari 2007. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 515 Berdasarkan data penelitian tersebut menunjukkan hanya 38 responden 10,1 yang mengemukakan sangat kenal dengan anggota DPRD terpilih, sedangkan 132 responden 35,2 menyebutkan kurang kenal dan 199 responden 53,1 menyebutkan tidak mengenal secara baik anggota DPRD terpilih, sementara responden yang tidak menjawab sebanyak 6 responden 1,6. Demikian juga dengan LSM yang dijadikan responden penelitian hanya 4 LSM 20 yang menyebutkan kenal dengan anggota DPRD, sedangkan sisanya 16 LSM 80 mengatakan kurang mengenal anggota DPRD, baik hasil Pemilu 1999 maupun hasil Pemilu 2004. Oleh sebab itu, hubungan sistem pemilu dengan keterwakilan politik masyarakat tidak hanya semata-mata didasarkan pada sistem pemilihan umum yang diterapkan, melainkan juga terkait erat dengan keberadaan partai politik sebagai instrumen demokrasi. Meskipun saat ini, pendirian partai politik telah diberi kesempatan yang luas, akan tetapi kebanyakan dari partai yang ada jarang melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-undang No. 2 Tahun 1999 jo. Pasal 7 Undang-undang No. 31 Tahun 2002 Tentang partai politik, baik fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, pengatur konflik. Partai politik hanya lebih banyak menggunakan fungsi rekrutmen politik, sehingga tujuan partai politik belum dapat sepenuhnya terwujud. Dalam konteks ini, menurut mantan dan anggota DPRD yang menjadi responden penelitian, sebanyak 36 orang atau 51 menyebutkan bahwa partai politik selalu melaksanakan fungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 516 sedangkan selebihnya, yaitu 34 orang atau 49 menyatakan partai politik hanya kadang-kadang menggunakan fungsinya dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Meski demikian, apabila dihubungkan dengan data penelitian yang diperoleh dari berbagai kelompok masyarakat yang menjadi responden, diperoleh pandangan tentang pelaksanaan fungsi partai politik dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sebagaimana tabel di bawah ini : Tabel 5.14. Pelaksanaan Fungsi Partai Politik dalam Menampung dan Menyalurkan Aspirasi Masyarakat No. Jenis Respondens Selalu Kadang-kadang Tidak pernah Tidak menjawab 1. PNS 8 54 7 6 2. Petaninelayan 12 41 19 3 3. ProfesiJasa 5 55 13 2 4. Pengusaha 3 51 17 4 5. Pekerja 13 42 20 - Jumlah 41 243 76 15 Sumber : Data primer, diolah, 2007 Tabel tersebut mengindikasikan belum banyak partai politik yang melaksanakan berbagai fungsi yang diembannya secara maksimal, sebagaimana dari data penelitian, hanya sebanyak 41 responden 10,9 yang menyebutkan partai politik selalu melaksanakan fungsinya dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sedangkan 243 responden 64,8 mengemukakan hanya kadang-kadang partai politik melaksanakan fungsinya, sementara yang menyatakan tidak pernah Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 517 terdapat 76 responden 20,3, dan sisanya tidak menjawab 15 responden 4. Demikian juga dengan LSM yang dijadikan responden, diperoleh data 10 LSM 50 menyatakan bahwa partai politik hanya kadang-kadang melaksanakan berbagai fungsi yang dimilikinya, dan 9 LSM 45 malahan menyebutkan tidak pernah, sisanya 1 satu LSM 5 tidak memberi jawaban. Keadaan ini menunjukkan partai politik belum sepenuhnya berfungsi dengan baik, bahkan Wakil Rektor Universitas Paramadina, Yudi Latif melihat partai politik di Indonesia telah gagal menjalankan fungsi partai politik sebagaimana mestinya. Sekarang ini, partai politik satu-satunya saluran rekrutmen kepemimpinan politik, karena konstitusi yang ada tidak memberi ruang bagi orang-orang independen untuk mencalonkan diri tanpa dukungan partai politik. Ini berarti, baik buruknya kepemimpinan negara atau pejabat-pejabat publik juga ditentukan oleh hitam putihnya partai politik yang ada. Menjadi persoalan ketika ternyata partai-partai politik yang diharapkan menjadi lokomotif perubahan dalam tata kelola kenegaraan itu sendiri belum mereformasi ke dalam. 719 Lebih lanjut Yudi Latif mengemukakan pandangan tentang keberadaan partai politik di Indonesia : “Parpol dalam arti sejatinya parpol tidak ditemukan di Indonesia.. Berkaitan dengan fungsi agregasi atau penampung aspirasi masyarakat, misalnya kebijakan parpol seringkali tidak merefleksikan suara-suara dari arus bawah. Penyebabnya aspirasi ditelikung oleh kepentingan yang sifatnya pragmatis. Demikian pula fungsi pendidikan politik. Parpol hanya ingat pendukung menjelang pemilu dan setelah berkuasa, konstituen ditinggalkan. Pendidikan 719 Sri Hartati Samhadi, Parpol untuk Kekuasaan, Jakarta: Kompas, Sabtu 8 November 2006, hlm. 33. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 518 politik di sini mestinya diartikan bagaimana memberdayakan rakyat pemilih”. 720 Realitas yang demikian juga didukung oleh data penelitian yang diperoleh, masyarakat berpandangan bahwa mereka cenderung hanya dijadikan sebagai alat vote getter, karena partai politik baru akan melaksanakan berbagai kegiatan dan menjalin hubungan dengan masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat pada saat menjelang pemilihan umum, sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 5.15. Partai Politik Menjalin Hubungan dengan Masyarakat atau Tokoh-Tokoh Masyarakat No. Jenis Respondens Saat Menjelang Pemilu Sebelum dan sesudah Pemilu Tidak tahu Tidak menjawab 1. PNS 63 9 3 - 2. Petaninelayan 62 10 2 1 3. ProfesiJasa 27 30 15 3 4. Pengusaha 19 26 27 3 5. Pekerja 52 14 9 - Jumlah 223 89 56 7 Sumber : Data primer, diolah, 2007 Tabel di atas memperlihatkan 223 responden 59,5 berpandangan partai politik baru menjalin hubungan dengan masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat hanya menjelang pemilihan umum, 89 responden 23,7 mengemukakan partai politik menjalin hubungan dengan masyarakat tidak hanya pada saat pemilihan umum tetapi juga sesudah pemilihan umum, sedangkan 56 responden 14,9 menjawab 720 Ibid. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 519 tidak tahu dan 7 responden 1,9 tidak memberi jawaban. Disamping itu menurut LSM yang dijadikan responden, 14 LSM 70 menyebutkan keberadaan partai politik dalam menjalin hubungan dengan masyarakat pada saat pemilihan umum, sedangkan 4 LSM 20 berpendapat partai politik tidak hanya pada saat pemilu menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh masyarakat melainkan juga sesudah penyelenggaraan pemilihan umum dan 2 LSM 10 memberi jawaban tidak tahu. Lembaga Survei Indonesia pada bulan April 2006 juga telah melakukan survei nasional terhadap partai politik, diperoleh temuan pandangan responden terhadap kinerja partai-partai politik selama ini dalam memperjuangkan kepentingan pemilihnya, hanya 48 yang menyatakan baik, sedangkan 28 menyatakan tidak baik, serta 24 menyatakan tidak tahu, sebagaimana tergambar pada bagan berikut ini 721 : Diagram 5.1. Fungsi Kerja Partai-partai Politik Selama ini dalam Memperjuangkan Kepentingan Pemilihnya t id a k t a h u 2 4 b u r u k 2 8 b a ik 4 8 721 Lembaga Survei Indonesia LSI, Evaluasi Pemilih Atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik, Jakarta: Lembaga Survei Indonesia, Maret 2006, tanpa halaman Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 520 Bahkan sebagian besar partai politik juga gagal menjalankan fungsi pengkaderan, yang merupakan salah satu fungsi utama partai politik. Faksi-faksi yang ada dalam partai politik bukan faksi yang sengaja dipelihara secara fungsional untuk mengakomodasi ragam kepentingan yang ada, tetapi lebih mencerminkan buruknya proses kaderisasi. Orang yang tidak memiliki sumbangsih dan prestasi dalam pembangunan partai, atau bahkan ditolak di beberapa partai lain , begitu saja bisa mengambil alih posisi seperti kutu loncat hostile take over hanya karena mempunyai uang. 722 Memperhatikan konteks yang demikian, dalam Evaluasi Pemilu 1999, Zarkasih Nur mengemukakan partai politik masih menerapkan pragmatisme politik semata daripada mengimplementasikan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: 723 Pertama, kemunculan partai lebih disebabkan oleh euforia politik semata, bukan dilandasi oleh kebutuhan dan pemikiran politik yang cukup matang, sehingga menyebabkan partai-partai tersebut cenderung emosional dan reaktif dalam berpolitik. Kedua, sebagian besar partai politik tidak memiliki visi, misi, platform, dan program yang jelas. Ini merupakan dampak turunan dari kemunculan partai politik itu sendiri yang dilandasi oleh euforia politik. Akibatnya tidak ada wacana politik yang dapat ditawarkan kepada masyarakat, sehingga mengkomunikasikan program- 722 Ibid. 723 Zarkasih Nur, Evaluasi Pemilu 1999, http:www.cetro.or.idpustakazarkasih.html, hal. 6. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 521 program partai kepada rakyat, dan pada saat yang sama para pengurus partai secara intens membangun dialog, serta menggali dan menyelami aspirasi yang tumbuh dari bawah bottom up jarang dilakukan oleh partai politik. Itu semua belum berjalan, bahkan pada partai yang dianggap solid sekalipun 724 . Ketiga, struktur dan infra struktur politik yang dimiliki oleh sebagian besar partai politik baru sangat tidak memadai bagi terealisasinya fungsi-fungsi dari partai politik. Hal ini dimungkinkan karena usianya yang masih relatif muda, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mematangkan dan menguatkan struktur dan infra struktur partai politik sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Keempat, sebagian partai politik masih cenderung memiliki pemikiran politik yang kurang dewasa, terutama menempatkan pemilu sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan semata. Pemilu hanya dilihat sebagai alat untuk mendapatkan jatah kursi di legislatif. Fungsi lain dari pemilu diabaikan begitu saja, akibatnya partai politik terjebak pada pragmatisme dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Akibat kegagalan menjalankan fungsi partai politik dan mereformasi diri, parpol yang diharapkan jadi kekuatan utama dalam agenda reformasi dan demokratisasi justru menjadi beban liability dan titik terlemah the weakest link dalam proses tersebut. Konteks yang demikian menunjukkan bahwa keterwakilan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan rakyat tidak hanya an sich pilihan atas sistem pemilu yang dianut, melainkan juga merupakan bagian yang interdependensional dengan sistem 724 Sri Hartati Samhadi, loc.cit. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 522 kepartaian. Oleh sebab itu, apabila diamati pelaksanaan pemilihan umum 1999 berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1999 masih mengalami berbagai kelemahan-kelemahan: Pertama, calon legislatif dan partai yang menang tidak selalu berhasil menjadi anggota DPRD, karena dapat terjadi pengurus pusat partai menentukan orang lain yang kebanyakan dari anggota pengurus partai untuk duduk di DPRD. Kedua peranan pengurus pusat partai tetap besar, karena stelsel daftar masih dipertahankan dan partai masih dapat memberikan keputusan akhir untuk mendudukkan orang yang menjadi wakil partai pada DPRD. Ketiga, Independensi anggota DPRD masih mengalami kendala, karena dalam banyak hal lebih berhutang budi kepada partai, sehingga muncul pandangan bahwa anggota DPRD itu adalah lebih memposisikan dirinya sebagai wakil partai daripada wakil rakyat 725 . Keempat, diperkenankannya stembush accord membuka peluang adanya jual beli suara dalam rangka perolehan kursi DPRD jika satu partai memiliki kekurangan suara dari kuota satu kursi di suatu daerah pemilihan, karena bagi partai politik pimpinan parpol tidak ada hibah suara yang gratis. 726 Berkenaan dengan pemilu 2004, lebih lanjut Hatta Ridho mengemukakan beberapa kelemahan yang terkait dengan sistem pemilihan umum : 725 Perhatikan Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, op.cit., hlm. 3-4. 726 Wawancara dengan Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi, 5 Pebruari 2007. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 523 Pertama, sistem proporsional dengan daftar terbuka lebih tepatnya: Terbuka SederhanaSemi Terbuka masih belum memenuhi rasa keadilan bagi calon legislatif nomor urut besar, yang tidak memenuhi kuota BPP, karena wajib mendistribusikan perolehan suaranya kepada calon legislatif nomor urut kecil ditambah suara yang hanya mencoblos tanda gambar partai politik, meskipun calon legislatif nomor urut yang lebih besar memiliki suara terbanyak dibandingkan calon legislatif lainnya pada suatu daerah pemilihan. Hal ini terbukti dari adanya fakta bahwa sangat sedikit calon legislatif terpilih yang memnuhi BPP, mulai dari DPR, DPRD Provinsi hingga DPRD KabupatenKota. Jadi bila terjadi PAW Penggantian Antar Waktu terhadap calon legislatif yang terpilih bukan berdasarkan BPP 727 , maka jatah diberikan kepadanomor urut berikutnya dalam daftar calon legislatif partai politik yang bersangkutan. Sistem ini juga membuka peluang money politics bagi calon legislatif yang ingin masuk daftar calon legislatif dengan nomor urut kecil. Kedua, persyaratan partai politik yang bisa menjadi partai politik peserta pemilihan umum 2004 sangat ringan, khususnya pada proses verifikasi factual lapangan, yakni 10 dari 11000 penduduk. Misalnya, untuk Kota Tebing Tinggi yang berpenduduk 130.000 jiwa, maka syarat minimal keanggotaan partai politik adalah 130 orang, jadi yang diverifikasi hanya 13 orang 10. Akibatnya, peserta pemilihan umum di Tebing Tinggi diikuti oleh seluruh partai politik yang lolos verifikasi Departemen Hukum dan HAM, yakni 24 partai politik. 727 Perhatikan Pasal 112 Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 524 Realitas yang demikian, tentu berpengaruh pada format politik pemilu pada masa yang akan datang, dengan harapan adanya penyederhanaan partai politik yang terjadi secara alami melalui electoral threshold yang diatur dalam undang-undang politik. Dalam amatan data penelitian, meskipun partai politik sudah semakin banyak multi partai, akan tetapi masyarakat merasakan belum terwakili sepenuhnya, sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 5.16. Keterwakilan Politik Masyarakat Terhadap Partai Politik Pasca Reformasi Pada pemilu 1999 dan Pemilu 2004 No. Jenis Respondens Terwakili Belum Terwakili Tidak tahu Tidak menjawab 1. PNS 10 61 3 1 2. Petaninelayan 4 65 6 - 3. ProfesiJasa 14 55 3 3 4. Pengusaha 12 52 9 2 5. Pekerja 8 57 8 2 Jumlah 48 290 29 8 Sumber : Data primer, diolah, 2007 Tabel di atas memperlihatkan, meskipun sudah dibuka ruang bagi partai politik dengan pola sistem multi partai, masyarakat tetap berpandangan dengan partai politik yang ada belum terwakili sepenuhnya, yaitu 290 responden 77,3, sedangkan yang menyatakan sudah terwakili hanya 48 responden 12,8, dan 29 responden 7,8 menjawab tidak tahu serta 8 responden 2,1 tidak memberi jawaban. Sejalan dengan data tersebut, 18 LSM 90 menyatakan meskipun partai politik sudah sedemikian beragam, akan tetapi belum mencerminkan keterwakilan Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 525 politik masyarakat, sedangkan sisanya sebanyak 2 LSM 10 berpandangan sudah terwakili. Indikator ini menunjukkan, dalam tataran praktek berbagai fungsi yang melekat pada partai politik tersebut belum menyentuh kepada akar rumput grass root, sehingga keberadaannya belum mampu sebagai sarana menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat maupun berbagai fungsi lainnya. Oleh karena itu data penelitian yang diperoleh, kebanyakan responden menyebutkan sebaiknya jumlah partai politik pada masa yang akan datang cukup 7 sampai 10 partai politik. Dalam hubungan ini, pembatasan jumlah partai politik menurut Hatta Ridho pasti mendapat gugatan dari “para pejuang demokrasi”, karena menyangkut hak-hak politikberserikat warga negara. Partai politik biasa mudah membentuknya dengan kesepakatan hanya 50 orang pemilih, kemudian sah setelah mendaftar di Departemen Hukum dan HAM, namun partai politik peserta pemilu harus diverifikasi dahulu berdasarkan kriteria dan undang-undang partai politik dan undang-undang pemilihan umum. Sehingga yang bisa dilakukan adalah memperbesar thereshold batas ambang bawah persentase perolehan suara partai politik peserta pemilihan umum. Selama ini sebesar 3, bisa dinaikkan menjadi 10 untuk menjadi peserta pemilihan berikutnya. Bagi partai politik yang tidak mencapai threshold tersebut, wajib bergabung menjadi koalisi dengan partai politik yang berhasil, dengan cara mengisi formulir kesepakatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang- undang pemilu. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat kriteria verifikasi factual partai politik calon peserta pemilihan umum, baik dari ketentuan Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 526 sebaran kepengurusan selama ini minimal mempunyai kepengurusan 50 dari jumlah provinsi, 50 dari jumlah kabupatenkota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 dari jumlah kecamatan pada setiap kabupatenkota yang bersangkutan. 728 Oleh karena itu, jika ditanya jumlah yang ideal, untuk pemilu 2009, jika aturan ini dibuat, maka pemilu 1999 sebaiknya diikuti 12 partai politik saja 50 dari pemilu 2004, dan jika treshold 10, maka pemilu 2014 maksimal hanya diikuti 10 partai politik saja itupun kecil kemungkinannya. Makin sedikit jumlah partai politik, maka akan makin mengeliminir konflik massa. Di samping itu pemerintahan pun akan lebih kuat, tidak seperti sekarang ini, dimana banyaknya partai politik yang berorientasi kekuasaan menyebabkan Presiden terpilih harus melakukan bargaining positionpower sharing, sehingga jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri jumlahnya 34 orang. Menurut saya, pemerintahan SBY-Kalla menjadi tidak efektif dan tidak efisien karena terjadi pemborosan struktural dan pemborosan keuangan negara”. 729 Dengan jumlah ini, tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja partai politik dalam berkompetisi untuk lebih dekat kepada masyarakat pemilih, yang pada gilirannya akan berusaha secara maksimal melaksanakan berbagai fungsi partai politik yang melekat pada mereka, sehingga kekhawatiran Yudi Latif 730 yang menyebutkan partai politik dalam arti sejatinya tidak ditemukan di Indonesia akan berubah makna melalui “regulasi” bidang politik dalam pengertian luas, dalam arti sebagai kemampuan kapabilitas sistem politik, dalam hal ini terutama supra struktur politik untuk mengadakan pengaturan tentang perencanaan, 728 Perhatikan Pasal 2 ayat 3 huruf b Undang-undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. 729 Wawancara dengan Hatta Ridho, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Tebing Tinggi, 5 Januari 2007. 730 Perhatikan kembali Sri Hartati Samhadi, Parpol untuk Kekuasaan, loc.cit. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 527 pengorganisasian, pengendalian dan pengawasan secara umum keempat hal ini disebut fungsi pengelolaan terhadap masyarakat politik dalam arti seluas-luasnya. 731 Dalam sistem yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, sumber mandat yang kuat berasal dari partisipasi rakyat melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, dan memungkinkan suara rakyat pemilih diterjemahkan dalam bentuk kursi yang diisi oleh orang yang ditentukan sebagai pemenang berdasarkan pilihan rakyat, bukan pilihan partai politik. Oleh sebab itu, pilihan atas bentuk sistem pemilihan umum dapat menjadi salah satu tolok ukur untuk menentukan mantapnya mandat para wakil. Kalau sistem proporsional, apalagi dalam sistem proporsional dengan daftar calon tertutup list system maupun proporsional dengan daftar terbuka, dengan melalui BPP yang diterapkan di Indonesia, ternyata masih lebih banyak keabsahan tersebut berasal dari persentase suara terbesar yang diberikan oleh pemilih kepada “partai” calon legislatif, bukan langsung didasarkan pada legitimasi calon yang dipilih. Realitas ini tampak pada hasil penelitian terhadap responden yang menyebutkan, baik pada Pemilu 1999 yang hanya memilih tanda gambar partai maupun pada Pemilu 2004 yang dimungkinkan memilih nomor calon legislatif secara langsung, ternyata hasil pilihan para pemilih belum tentu menjadi anggota DPRD berdasarkan penelitian tentang hubungan sistem pemilihan umum dengan calon legislatif yang dipilih apakah sudah atau belum menjadi anggota DPRD, sebagaimana tabel berikut ini : 731 Rusadi Kantaprawira, Pengaruh Pemilihan …, op.cit., hlm. 37. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 528 Tabel 5.17. Hubungan Sistem Pemilihan Umum Dengan Anggota DPRD Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 No. Jenis Respondens Sudah Belum Tidak tahu Tidak menjawab 1. PNS 14 39 16 6 2. Petaninelayan 6 52 17 - 3. ProfesiJasa 28 35 12 - 4. Pengusaha 15 40 16 4 5. Pekerja 2 46 21 6 Jumlah 65 212 82 16 Sumber : Data primer, diolah, 2007 Berdasarkan data di atas, menunjukkan hanya 65 responden 17,3 yang menyebutkan calon anggota DPRD yang dipilih dalam pemilihan umum 1999 maupun pemilihan umum 2004 telah duduk menjadi anggota DPRD, sedangkan 212 responden 56,5 berpandangan calon legislatif pilihan responden belum duduk sebagai anggota DPRD. Disamping itu terdapat 82 responden 21,9 yang memberi jawaban tidak mengetahui, dan 16 responden 4,3 tidak memberi jawaban. Bahkan dari 20 LSM yang dijadikan responden, terdapat 13 LSM 65 yang berpendapat calon anggota DPRD pilihan pemilih belum tentu menjadi anggota DPRD, sedangkan sisanya 7 LSM 35 memberi jawaban tidak tahu, dan tidak ada satupun LSM yang dijadikan responden yang berpendapat dengan sistem pemilihan umum sekarang calon anggota DPRD yang dipilih otomatis menjadi anggota DPRD. Berbeda dengan sistem distrik, keabsahan diukur berdasarkan pemenang suara terbesar dari calon legislatif di daerah pemilihan distrik yang bersangkutan, sehingga dilihat dari aspek representativeness akan lebih kuat derajat Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 529 keterwakilannya, dan legitimasi tersebut akan melahirkan akuntabilitas legislatif kepada konstituennya. Paling tidak terdapat beberapa kelebihan yang terdapat dalam sistem pemilihan umum distrik terkait dengan keterwakilan politik masyarakat, yaitu 732 : Pertama, anggota legislatif yang terpilih akan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama di daerah pemilihannya distrik karena wakil yang terpilih merupakan kehendak sepenuhnya rakyat pemilih. Pendapat ini diperkuat, karena masyarakat pemilih tidak hanya memilih gambar partai, tetapi memilih langsung nama calon anggota legislatif. Kedua, sistem ini akan lebih mendekatkan anggota dewan dengan masyarakat pemilih konstituen. Karena itu kualitas dan integritas personal akan menjadi prioritas. Posisi demikian akan lebih menguatkan posisi anggota legislatif lebih dekat dan lebih dikenal oleh pemiliha. Ketiga, dalam hubungannya antara anggota dewan dengan partai politik tidak lagi dalam posisi dominan dalam menentukan calon legislatif, karena pertimbangannya lebih pada kualitas dan popularitas calon tersebut di daerah pemilihan. Keempat, karena kepentingan partai politik tidak lagi diutamakan. Keadaan ini memaksa partai politik mempertimbangkan calon yang berkualitas dan populer, dan yang terpenting dan prioritas adalah kadar penerimaan calon oleh masyarakat. Meski demikian, untuk Indonesia pilihan atas sistem distrik murni dalam arti keterwakilan politik juga tidaklah sepenuhnya baik, karena masyarakat yang sangat pluralistik. Apabila pemilihan distrik murni dilakukan, maka akan banyak suara 732 A. Malik Haramain dan M.F. Nurhuda Y., Mengawal Transisi…, op.cit., hlm. 114-115. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 530 hilang yang berarti mendistorsi suara pemilih, sehingga berbagai kelompok masyarakat tidak terakomodir secara baik dalam lembaga perwakilan rakyat. Padahal keterwakilan ini oleh para founding fathers kita pada masa yang lalu menjadi perhatian yang cukup signifikan, sehingga dilakukan pengaturan untuk mewujudkan keterwakilan politik masyarakat yang tidak terwakili dalam pemilihan umum, sebagaimana antara lain Pasal 58 dan Pasal 135 UUDS 1950 yang memberikan jaminan konstitusional sejumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat kepada golongan-golongan minoritas. Oleh karena itu, meskipun pemilu multi partai pasca Soeharto yang berlangsung relatif demokratis pada 1999 dan 2004 telah memberi harapan baru pada masyarakat akan lahirnya badan-badan legislatif yang lebih aspiratif dan memenuhi tuntutan rakyat. Akan tetapi, dalam konteks pencalonan anggota legislatif, partai-partai baru produk era transisi demokrasi pun ternyata tak banyak melibatkan masyarakat. Dominasi elite partai dalam proses pencalonan anggota legislatif masih berlangsung relatif sama seperti sebelumnya, meskipun telah menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup pada pemilu 1999 maupun daftar terbuka pada pemilu 2004. Di sisi lain, tak banyak anggota masyarakat yang berminat menjadi anggota partai politik meskipun tidak ada lagi pembatasan. Akibatnya sebagian anggota legislatif di tingkat lokal, baik di Jawa maupun luar Jawa, berasal dari mereka yang relatif tidak memiliki kompetensi yang diperlukan oleh DPR dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Dampak lebih lanjut dari realitas tersebut adalah bahwa kualitas performance politik dan akuntabilitas para politisi yang menjadi anggota Dewan secara individual Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 531 maupun DPR dan DPRD secara institusional, relatif belum banyak mengalami kemajuan. 733 Berkenaan dengan pandangan tersebut, menurut masyarakat yang menjadi responden penelitian, untuk menentukan calon legislatif yang duduk di lembaga perwakilan rakyat DPRD lebih banyak dominasi partai politik daripada ditentukan oleh pemilih berdasarkan hasil pemilihan, sebagaimana tabel berikut : Tabel 5.18. Hubungan Partai Politik dengan Penentuan Legislatif yang Duduk Pada Lembaga Perwakilan Rakyat DPRD No. Jenis Respondens Ditentukan Parpol Ditentukan Pemilih Tidak tahu Tidak menjawab 1. PNS 52 13 7 3 2. Petaninelayan 41 32 1 1 3. ProfesiJasa 51 17 5 2 4. Pengusaha 48 15 9 3 5. Pekerja 39 21 12 3 Jumlah 231 98 34 12 Sumber : Data primer, diolah, 2007 Data penelitian ini memperlihatkan bahwa menurut responden dengan sistem pemilihan umum yang berlaku saat ini, penentuan calon anggota DPRD yang duduk pada lembaga perwakilan rakyat masih lebih banyak ditentukan oleh partai politik sebagaimana data yang diperoleh dari 231 responden 61,6, sementara itu 98 responden 26,1 menyebutkan ditentukan oleh pemilih, dan 34 responden 9,1 mengemukakan tidak mengetahui sedangkan sisanya 12 responden 3,2 tidak memberi jawaban. Berkenaan dengan penelitian pada LSM sebanyak 14 LSM 70 berpandangan bahwa yang menentukan anggota DPRD lebih banyak dominasi partai 733 Syamsuddin Haris, Proses Pencalonan Legislatif Lokal, Pola, Kecenderungan, dan Profil Caleg, dalam Syamsuddin Haris Ed., Pemilu Langsung …, op.cit., hlm. 3-4. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 532 karena dengan adanya BPP Bilangan Pembagi Pemilih, maka akan sulit pilihan rakyat menjadi anggota DPRD, hanya 4 LSM 20 yang menyatakan pemilih lebih dominan dalam penentuan anggota DPRD, sedangkan sisanya 2 LSM 10 tidak memberikan jawaban terhadap angket penelitian yang disebarkan. Padahal Norberto Bobbio dalam mengungkapkan definisi demokrasi, yaitu demokratisasi minimum meliputi: kesetaraan, jaminan hak-hak minoritas, penegakan aturan hukum, dan jaminan hukum bagi kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat serta metode mencegah siapapun yang berkuasa agar tidak secara permanen menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. 734 Berdasarkan hal tersebut di atas, menunjukkan keterwakian politik political representativeness dalam arti formil belum terakomodir secara baik dalam hasil Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004, diantaranya disebabkan sistem pemilihan umum yang diterapkan berdasarkan undang-undang paket bidang politik belum merefleksikan dan belum mengakomodir keterwakilan politik masyarakat secara langsung kepada calon legislatif yang menjadi pilihan, melainkan kepada partai politik peserta pemilihan umum. Kenyataan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari kekeliruan paradigma politik sekular yang selama ini diterapkan. Berbicara politik dalam kacamata Barat sekular berarti berbicara tentang kekuasaan. Artinya, orang-orang yang berkiprah dalam dunia politik sekarang senantiasa memfokuskan perhatiannya pada bagaimana meraih 734 H. Piet Khaidir, Kearifan Demokratik, Perpaduan Berkuasa dan Siap Dikritik, Jakarta: Kompas, Selasa, 18 Februari 2003, hlm. 8. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 533 dan mempertahankan kekuasaan. Jika tidak dapat berkuasa sendirian, maka bagaimana kekuasaan itu dibagi-bagi power sharing. Terjadilah kompromi untuk sama-sama mempertahankan kekuasaan yang bermuara pada kepentingan pribadi dan golonganpartai dengan mengatasnamakan konstituen partai 735 , padahal jabatan itu, termasuk menjadi wakil rakyat pada dasarnya harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada rakyat pemilih sebagai wujud kedaulatan rakyat. Konteks yang demikian, tentu dalam agenda demokratisasi ke depan, perlu “membentuk” format politik yang baku, dalam bentuk regulasi peraturan perundang- undangan bidang politik berdasarkan pendekatan paradigmatik paradigmatic approach 736 yang didasari oleh paradigma yuridis filosofis Pancasila dan paradigma yuridis konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam paradigma yuridis politis, sehingga Pemilu akan berjalan dengan baik dan berhasil yang pada gilirannya akan melahirkan kalender politik yang baku untuk menata kelembagaan politik baik infra struktur maupun supra struktur politik, dan selanjutnya pemegang otorita di lembaga-lembaga itu akan menyusun, melaksanakan, mengontrol, memantau dan mengevaluasi jalannya kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dicita-citakan berdasarkan konstitusi. 737 735 Hizbut Tahrir Indonesia, Wakil Rakyat Semu, Jakarta: Buletin Da’wah Al Islam, Edisi 264Tahun V, 2005, hlm. 2. 736 Dalam amatan Prof.Dr. M. Solly Lubis, SH, selama ini seakan-akan kita tidak memiliki paradigma apa-apa di Indonesia selaku bangsa berbudaya dan punya pandangan hidup, padahal sebenarnya bukan paradigma yang tidak ada, tetapi pengalamannyalah yang tidak konsisten dan konsekuen. Lihat M. Solly Lubis, Mencari Format …, op.cit., hlm. 26. 737 Ibid., hlm. 26-27. Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008. 534

B. Pelaksanaan Fungsi DPRD sebagai Implementasi Keterwakilan Politik