395
Berkenaan dengan pergesaran garis perundang-undangan ini melalui kedua Penpres tersebut, menurut M. Solly Lubis dapat dilihat dari 2 dua
segi:
600
Pertama, dari segi perlunya perwujudan kepemimpinan nasional di daerah dalam satu poros wewenang dan tanggung jawab yang
berpuncak pada Presiden, sesuai dengan hakekat pemerintahan Presidensial dalam negara kesatuan menurut UUD 1945, dapat
dipahami kebijaksanaan restrukturisasi pemerintahan di daerah itu. Kedua, dari segi pembinaan kehidupan politik yang sesuai dengan
semangat dan jiwa Pancasila dan UUD 1945 jelas bahwa pola demokrasi terpimpin sebagai landasan penataan pemerintahan dalam
rangka pelaksanaan Manifesto Politik itu, dipandang tidak sesuai untuk dikembangkan dan dinilai sebagai dasar kebijaksanaan untuk
menyusupkan ideologi lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Masa tersebut ditandai dengan “nasakomisasi” di berbagai
sektor ketatanegaraan, termasuk sektor pemerintahan di daerah.
Penpres ini pada dasarnya dilahirkan tidak bersumber dari Pasal 18 UUD 1945, karena secara formal Pasal 18 UUD 1945 menghendaki
pengaturan pemerintahan daerah itu adalah dengan undang-undang, sehingga dibentuklah Undang-undang No. 18 Tahun 1965 untuk
menggantikan Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 6 Tahun 1960.
E. Pengaturan DPRD Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 1965
1. Tinjauan Umum
Pada dasarnya Undang-undang No. 18 Tahun 1965 adalah penyempurnaan atau dalam banyak hal merupakan pemantapan Penpres No. 6 Tahun 1959 jo. Penpres
No. 5 Tahun 1960, karena sampai akhir tahun 1965 pengaturan tentang pemerintahan
600
M. Solly Lubis, Serba-Serbi …, op.cit., hlm. 162-163.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
396
di daerah masih dirasakan kurang mantap akibat adanya berbagai macam peraturan sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kesimpangsiuran, bahkan
dilihat dari aspek pengaturannya Penpres dimaksud bertentangan dengan kehendak Pasal 18 UUD 1945, sehingga dipandang belum juga sesuai dengan cita-cita
desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945. Di samping alasan tersebut, juga berlakunya kembali UUD 1945 sejak 5 Juli
1959 membawa perkembangan baru di bidang hukum ketatanegaraan dan praktek ketatanegaraan. Lebih kurang satu bulan sesudah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, Presiden pada Ulang Tahun XIV Proklamasi Kemerdekaan, menyampaikan amanat berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, dan yang terkenal sebagai
Manifesto Politik RI 17 Agustus 1959, yang menurut Penpres No. 1 Tahun 1960 ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara GBHN yang berlaku surut hingga
tanggal 17 Agustus 1959.
601
Lebih lanjut M. Solly Lubis mengemukakan dalam pidato Presiden maupun dalam perincian Manipol yang disusun oleh DPA Sementara Kpts DPAS No.
3KptsSdII1959 juga dalam Penpres No. 1 Tahun 1960 berikut Penjelasannya, tidak nampak gambaran politik mengenai pemerintahan daerahotonomi
602
. Gambaran garis politik pemerintahan daerah, baru nampak melalui Ketetapan
MPRS No. IIMPRS1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan Pertama Tahun 1961-1969, mengisyaratkan perlunya
601
M. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik …, op.cit., hlm. 158-159.
602
Ibid.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
397
pembaharuan dalam hal peraturan tentang pemerintahan daerah, yaitu mengenai desentralisasi hendaknya berisi otonomi riil dan seluas-luasnya, dan pembaharuan
tersebut harus berbentuk suatu undang-undang tentang pokok pemerintahan di Daerah.
603
Untuk memenuhi Ketetapan MPRS tersebut, diterbitkan Kepres No. 514 Tahun 1961 tentang Pembentukan Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, yang diketuai oleh R.P. Soeroso, dan diberi tempo kerja 1 satu tahun untuk: a
menyusun RUU tentang Daerah Otonom sesuai dengan cita-cita demokrasi terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang mencakup unsur-unsur pokok yang progresif dari Undang-undang No. 22 Tahun 1948, Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6
Tahun 1959 yang disempurnakan dan Penpres No. 2 Tahun 1961;
b meninjau kembali Undang-undang Perimbangan Keuangan Tahun 1957,
yakni Undang-undang No. 32 Tahun 1956; dan c
menyusun RUU tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan sebagainya.
604
Setelah melalui persiapan yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 1 September 1965 Presiden Republik Indonesia telah mensyahkan Undang-undang No.
18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 83 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya, yaitu pada tanggal 1
September 1965. Di antara materi pokok dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1965 adalah
adanya beberapa pengaturan sebagai berikut :
603
Ibid., Perhatikan juga B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah …, op.cit., hlm. 47.
604
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 59.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
398
1. Perubahan fundamentil mengenai organ Pemda, menurut Undang-undang
No. 18 tahun 1965, ialah : a
tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR oleh Kepala Daerah. b
Dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai politik bagi Kepala Daerah dan anggota Badan Pemerintah Harian.
c Tidak lagi Kepala daerah didudukkan secara konstitutif sebagai
sesepuh Daerah. 2.
Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-undang tersebut, seluruh wilayah negara R.I. dibagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut :
a
Provinsi danatau Kotaraya sebagai daerah Tingkat I. b
Kabupaten danatau Kotamadya sebagai daerah Tingkat II. c
Kecamatan danatau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III. 3.
Istilah “Daerah” menurut Penjelasan Undang-undang itu, adalah istilah “technis” untuk menyebut suatu bagian teritorial Negara R.I. yang
berpemerintahan sendiri, yaitu daerah-daerah besar dan daerah-daerah kecil yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945
605
. Berkenaan dengan pembagian daerah menurut Undang-undang No. 18 Tahun
1965, maka secara skematik dapat diperhatikan pada bagan berikut ini :
Skema 4.2. Pembagian Wilayah RI Menurut Tingkatannya
KOTARAYA
DAERAH BAWAHAN
PROVINSI KABUPATEN
KOTAMADYA KECAMATAN
KOTAPRAJA WILAYAH
NEGARA RI
605
Ibid., hlm. 58-59.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
399
Undang-undang No. 1 Tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965 mempunyai persamaan-persamaan mendasar, yaitu pemberian otonomi
seluas-luasnya kepada daerah, sistem rumah tangga nyata, dan hanya ada satu macam susunan pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom. Akan tetapi, dalam
kenyataannya isi otonomi secara keseluruhan berasal dari penyerahan oleh Pusat, tidak ada otonomi yang berasal dari inisiatif daerah.
606
Menurut Bagir Manan, ada beberapa alasan ketidakmampuan daerah untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya:
Pertama, otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia, sehingga pemahaman terhadap seluk beluknya sangat terbatas. Kedua,
masih kurangnya sumber daya manusia yang terampil pada saat itu dalam penyelenggaraan otonomi. Ketiga, keuangan daerah tetap bergantung pada
Pusat, tidak mampu mandiri dalam keuangan.
607
Disisi lain dapat dikatakan perkataan seluas-luasnya dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1965 kurang berarti, karena Penjelasan Undang-undang ini
menyatakan: ”tetapi oleh karena di Indonesia ini daerah-daerah otonom berada
kemudian daripada negara, maka walaupun daerah-daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dapat dikatakan bahwa
seluruh tugas dan kewenangan yang ada sudah dalam tangan Pemerintah Pusat, sehingga Daerah-daerah yang dibentuk kemudian itu dalam teori
akan tidak mempunyai bidang lagi yang berarti untuk menjalankan tugas dan kewenangannya. Berhubung dengan itu, maka hak-hak otonomi yang
diberikan kepada daerah itu harus diimbangi dengan usaha-usaha pemisahan tugas wewenang yang dapat diatur dan diurus oleh Daerah dari
tangan Pemerintah Pusat untuk diserahkan kepada Daerah”.
606
Bagir Manan, Hubungan Antara …, op.cit., hlm. 151-152.
607
Ibid.
Maezuki: Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara. USU e-Repository © 2008.
400
Oleh sebab itu, meskipun kepada Daerah itu diberikan otonomi seluas- luasnya, akan tetapi yang terjadi adalah desentralisasi yang semakin surut,
sementara dekonsentrasi semakin dominan, dengan menempatkan kedudukan Kepala Daerah sebagai alat Pusat dan Daerah. Dalam undang-undang ini
ditentukan bahwa Kepala Daerah melaksanakan politik pemerintah, dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dalam Negeri menurut
hirarki yang ada.
2. Struktur Pemerintahan Daerah