Latar Belakang Impact of Wetland Conversion in Java and Outside Java on National Food Availability and Accessibility

6 secara sosial dan demografis sepanjang waktu dan di mana saja. Akses secara fisik terkait dengan distribusi pangan. Beragamnya kondisi sumber daya alam dan iklim menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam memproduksi bahan pangan, utamanya beras Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa mayoritas daerah di Jawa merupakan surplus beras, sedangkan di luar Jawa hanya beberapa daerah saja yang mengalami surplus beras. Sebaran wilayah sentra produksi beras yang tidak sejalan dengan sebaran wilayah pasar dan sentra konsumen tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam hal distribusi pangan. Sementara itu, indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah sampai ke tangan konsumen DKP, 2011. Sementara itu, akses secara ekonomi terkait dengan harga pangan dan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat. Harga beras medium di tingkat eceran mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama tahun 2005 – 2010, yaitu: Rp3 475.00kg; Rp4 463.00kg; Rp5 158.00kg; Rp5 485.00kg; Rp5 978.00kg; dan Rp7 227.00kg 2 . Hal ini mengakibatkan tingginya inflasi bahan makanan, yang kemudian akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat. Sumber: Nuryartono Prasetyo 2009 Gambar 2 Peta residu beras di Indonesia, 2008. 2 http:www. kemendag.go.id. 7 Ketahanan pangan nasional membutuhkan lahan pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang memadai secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan yang menurun akan mengakibatkan penurunan akses terhadap pangan tersebut. Sebagai salah satu faktor kunci dalam sistem produksi pertanian, ketersediaan lahan masih menjadi tantangan berat dalam pembangunan pertanian hingga saat ini karena sifatnya yang terbatas. Oleh karena itu, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang mengarah pada kemandirian pangan. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap ketersediaan dan aksesibilitas pangan nasional, mengingat saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 dunia dalam banyaknya jumlah penduduk, yang memberi konsekuensi terhadap tingginya permintaan konsumsi pangan.

1.2 Perumusan Masalah

Sampai dengan pertengahan dasawarsa 80-an, masalah konversi lahan sawah belum menjadi isu kebijakan yang penting. Isu kebijakan mengenai perlunya pengendalian konversi lahan sawah baru mengemuka sejak akhir dasawarsa 80-an ketika defisit beras mulai terasa, yang hanya berselang sekitar tiga tahun setelah swasembada beras tercapai pada tahun 1984. Konversi lahan sawah dinilai sangat dilematis. Satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, dimana alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi land rent yang lebih tinggi Barlowe, 1978. Namun di sisi lain, lahan sawah merupakan faktor produksi penting yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh yang lain, dimana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, rata-rata konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 8 346.65 hektar per tahun dan di luar Jawa sebesar 2 269.75 hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah terkonversi rata-rata setiap tahunnya mencapai luasan 10 616.4 hektar per tahun dalam dua dekade terakhir BPS, 1990 – 2011. Konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa memiliki karakteristik peruntukan yang berbeda. Alokasi konversi lahan sawah untuk 8 pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa sebesar 74.96 persen, sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik sebesar 43.59 persen dan pembangunan pe- rumahan sebesar 31.92 persen Irawan, 2005. Laju pertumbuhan penduduk yang masih mencapai 1.49 persen per tahun juga menyebabkan permintaan terhadap lahan sawah semakin tinggi, baik lahan sawah sebagai salah satu fungsi produksi padi maupun lahan sawah sebagai komoditas untuk perumahan, pariwisata, dan sebagainya. Jika didekomposisi, pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor, yaitu: 1 pertambahan areal panen melalui pencetakan sawah baru; dan 2 pening- katan produktivitas Sumaryanto et al., 2006. Berdasarkan data empiris, lahan yang baru dibuka mempunyai produktivitas yang rendah, karena mempunyai ber- bagai kendala yaitu: fisik Dariah Agus, 2007, kimia Setyorini et al., 2007, dan biologi Saraswati et al., 2007, serta berbagai kendala sosial, kelembagaan, infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Selain itu, pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi pangan pada kondisi semula membutuh- kan jangka waktu yang lama, yaitu sekitar 5 – 10 tahun dan biaya investasi yang sangat besar. Dengan demikian, lahan sawah yang baru dibuka tidak dapat digunakan secara optimal Swastika et al., 2007. Sementara itu, penelitian Adimiharja et al. 2004 juga menyebutkan bahwa penurunan produksi padi secara nasional akibat konversi lahan sawah masih sulit diimbangi dengan upaya peningkatan perluasan areal sawah di luar Jawa. Menurut perhitungan kasar, untuk mensubstitusi hilangnya produksi padi dari satu hektar lahan sawah beririgasi di Jawa diperlukan sekitar 4 – 5 hektar lahan sawah baru di luar Jawa. Produktivitas padi di Jawa lebih tinggi yaitu sebesar 5.580 tonha dibandingkan di luar Jawa sebesar 4.207 tonha BPS, 2011. Namun demikian, peningkatan produktivitas usahatani padi ini sulit dilakukan akibat stagnasi inovasi teknologi,yang ditandai oleh laju kenaikan produktivitas yang semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh laju produktivitas padi di Jawa yang mengalami penurunan terutama pada tahun 2008 – 2010, yaitu sebesar 3.309, 2.611, dan -0.564 persen. Laju produktivitas padi di luar Jawa juga mengalami penurunan dalam kurun tiga tahun tersebut, yaitu sebesar 2.591, 2.497 dan 0.896 9 persen. Data empiris membuktikan bahwa semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang terjadi. Kerugian itu berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5 – 12.5 ton per hektar per tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah yang bersangkutan Soemaryanto et al., 2006. Perhitungan kerugian ini hanya berdasarkan kesempatan produksi padi yang hilang, belum memperhitungkan kerugian sosial, budaya dan lingkungan. Konversi lahan sawah di Jawa yang hampir tiga kali lipat lebih besar dengan produktivitas padi yang juga lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa, merupakan ancaman serius bagi ketersediaan produksi pangan dalam negeri. Terlebih Jawa merupakan penghasil sekitar 60 persen produksi padi nasional. Kondisi ini semakin memperparah dampak konversi lahan sawah, disamping dampaknya yang bersifat permanen, kumulatif dan progresif Irawan, 2005. Selama ini peraturanperundangan yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 11 peraturanperundangan yang berkenaan dengan masalah ini Tabel 3. Namun hingga saat ini pengendalian konversi lahan pertanian belum optimal. Permasalahan di lapangan terlalu kompleks, sehingga kebijakan yang dibuat haruslah sistemik. Implementasi peraturanperundangan tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan adalah: 1 kebijakan yang kontradiktif; 2 cakupan kebijakan yang terbatas; dan 3 kendala konsistensi perencanaan Nasoetion, 2003. Kelemahan lain yang ada adalah: 1 obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; 2 peraturan yang ada lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; 3 jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena izin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi Simatupang Irawan, 2002. 10 Tabel 3 Peraturanperundangan terkait dengan konversi lahan pertanian No. PeraturanPerundangan Garis Besar Isi khususnya yang terkait dengan konversi lahan pertanian 1 UU No.241992 Penyusunan RTRW harus memper- timbangkan budidaya panganSIT sawah irigasi teknis 2 Kepres No.531989 Pelarangan konversi SITtanah pertanian subur untuk pembangunan kawasan industri 3 Kepres No.331990 Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri 4 SE-MNAKBPN 410-18511994 Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian melalui penyusunan RTRW 5 SE-MNAKBPN 410-22611994 Pemberian izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis SIT 6 SEKBAPPENAS 5334MK91994 Pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian 7 SE-MNAKBPN 5335MK1994 Penyusunan RTRW Dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian 8 SE-MNAKBPN 5417MK101994 Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan 9 SE-MENDAGRI 4744263SJ1994 Perlindungan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan 10 SE-MNAKBPN 460-15941996 Pencegahan konversi tanah sawah dan irigasi teknis menjadi tanah kering 11 UU No. 41 2009 3 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B 12 PP No. 122012 4 Insentif perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B Sumber: Bappenas 2006 3 Http:www.perundangan.deptan.go.id 4 Http:www.psp.deptan.go.id 11 Selain konversi lahan sawah dan produktivitas padi, permasalahan dis- tribusi pangan juga menjadi hambatan dalam ketahanan pangan. Kementan 2011 mengidentifikasi penyebab utama kurangnya bahan pangan di suatu wilayah, yaitu terkait dengan permasalahan: 1 dukungan infrastruktur yang minim; 2 sarana transportasi yang terbatas; 3 sistem transportasi yang kurang efektif dan efisien; dan 4 masalah keamanan dan pungutan liar. Distribusi pangan yang tidak merata menyebabkan tingginya harga dan inflasi bahan pangan. Data inflasi bahan makanan selama tahun 2005 – 2010 masing-masing adalah sebagai berikut: 13.91, 12.94, 11.26, 16.35, 3.88, dan 15.64 persen. Inflasi bahan makanan di Indonesia yang mencapai di atas 10 persen ini dinilai masih tinggi. Sementara itu, tidak hanya permasalahan di atas yang menjadi perhatian pemerintah di dalam pembangunan pertanian. Untuk mencapai suatu tujuan dalam pembangunan pertanian, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan sekaligus, seperti kebijakan ekonomi dan perdagangan. Sejak meratifikasi perjanjian GATT- WTO pada tahun 1995, Indonesia dihadapkan pada konsekuensi logis untuk melakukan liberalisasi perdagangan melalui komitmen penghapusan segala bentuk proteksi dalam perdagangan. Kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang terkait bidang produksi dan perdagangan, antara lain: kebijakan subsidi dan kebijakan impor. Kebijakan subsidi terdiri dari: a subsidi harga input, seperti: pupuk dan benih; b subsidi modal kerja; dan c subsidi harga output, seperti: harga dasar dan harga atap. Sementara itu, kebijakan impor meliputi: kebijakan tarif impor dan kebijakan kuota impor. Kebijakan-kebijakan ini sedikit demi sedikit dihapuskan dengan alasan telah mengakibatkan terjadinya distorsi pasar yang merugikan produsen dan konsumen. Implementasi berbagai kebijakan ekonomi di sektor pertanian tersebut tentu akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional, serta tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan tersebut disimulasi untuk melihat dampaknya terhadap perubahan ketersediaan dan akses pangan nasional, dan juga terhadap perubahan indikator kesejahteraan pelaku ekonomi di Indonesia. Mengingat berbagai permasalahan krusial yang telah dipaparkan, disamping berbagai peraturanperundangan yang diimplemen- tasikan dalam upaya mengendalikan konversi lahan pertanian sawah hingga saat 12 ini belum berhasil secara optimal, maka penelitian ini penting dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan berikut ini: 1 Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa? 2 Bagaimanakah dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional? 3 Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional? 4 Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi beras di Indonesia?

1.3 Tujuan Dan Manfaat

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah di Indonesia terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian. Untuk menjawab tujuan umum tersebut, maka didahului dengan pencapaian tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: 1 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa. 2 Menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. 3 Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. 4 Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, sebagai indikator tingkat kesejahteraan. Manfaat penelitian ini mencakup dua hal pokok, yaitu: 1 Manfaat akademis; penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang konversi lahan sawah yang terjadi, khususnya di Jawa dan luar Jawa, beserta dampaknya terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.