117 RMSPE
≥ 26 persen, dengan rincian: 2 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 26 – 100 persen; dan 4 persamaan lainnya mempunyai nilai RMSPE 100
persen. Berdasarkan kriteria nilai U-Theil’s dimana nilai idealnya adalah nol,
maka diketahui sebanyak 37 persamaan dari 41 persamaan sekitar 90.244 persen memiliki nilai U-Theil’s berkisar antara 0 – 0.3, yang mengindikasikan simulasi
model dapat mengikuti data aktualnya dengan baik. Sisanya terdiri dari: 3 persamaan dari 41 persamaan memiliki nilai U-Theil’s antara 0.31 – 0.5, dan 1
persamaan dari 41 persamaan yang memiliki nilai U-Theil’s 0.5. Nilai U-Theil tertinggi adalah sebesar 0.512 yang terdapat pada persamaan konversi lahan
sawah di luar Jawa KLSLJ, akan tetapi tidak mengalami bias sistemik karena nilai U
M
yang sangat kecil. Berdasarkan uji validasi, secara umum model dinilai cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, sehingga model ini juga dapat
digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan simulasi historis periode 1990 – 2010. Batasan rentang tahun tersebut ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian
ini, yaitu melihat dampak konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia secara keseluruhan dimana tahun 1990-2010 mengalami tren
kecenderungan yang meningkat.
6.2 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia Periode 1990 – 2010
Setiap opsi kebijakan yang dilakukan pemerintah akan memberikan dam- pak, baik positif maupun negatif, terhadap masing-masing peubah endogennya.
Namun tidak menutup kemungkinan dapat juga tidak memberikan dampak ter- hadap peubah endogen lainnya. Simulasi dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu: 1 konversi lahan sawah di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dalam kondisi dengan dan tanpa impor; 2 peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia
sebesar 1 persen dengan beberapa kombinasi harga; dan 3 peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dengan beberapa kombinasi kebijakan
impor. Peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen per tahun merupakan peningkatan rata-rata konversi lahan sawah di Indonesia dalam kurun waktu 21
tahun terakhir. Simulasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal
118 berikut: 1 mendisagregasi berdasarkan wilayah Jawa, luar Jawa dan Indonesia
dengan tujuan untuk melihat kondisi masing-masing wilayah; 2 melakukan ke- bijakan tanpa impor, dengan tujuan untuk melihat kemandirian pangan masing-
masing wilayah; dan 3 melakukan simulasi beberapa alternatif kombinasi ke- bijakan ekonomi sebagai evaluasi kebijakan. Selain itu, pada bab ini juga dijelas-
kan hasil perhitungan surplus produsen, surplus konsumen maupun penerimaan pemerintah dari implemetasi masing-masing kebijakan tersebut. Hasil yang di-
peroleh dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan opsi ke- bijakan terbaik sebagai upaya mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia
dengan memperhitungkan konversi lahan sawah yang terjadi, sekaligus sebagai evaluasi terhadap beberapa alternatif kebijakan. Berikut dibahas hasil simulasi
masing-masing kebijakan tersebut.
6.2.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor
Pada subbab ini, simulasi yang dilakukan adalah berdasarkan disagregasi wilayah Jawa simulasi 1 – 5, luar Jawa simulasi 6 – 10, dan Indonesia sebagai
gabungan dari keduanya simulasi 11 – 15, dalam kondisi tetap seperti saat ini existing maupun ketika terjadi peningkatan. Selain itu, simulasi juga dilakukan
pada kondisi dengan dan tanpa kebijakan impor. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan riil masing-masing wilayah dalam hal kemandirian pangan.
6.2.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa
Simulasi 1 – 5 merupakan kondisi konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa, dalam kondisi tetap seperti saat ini existing maupun ketika terjadi
peningkatan. Hasil rekapitulasi simulasi 1 – 5 disajikan pada Tabel 29 yang di- tempatkan di akhir pembahasan simulasi 5, sementara hasil simulasi 1 – 5 secara
lengkap dapat dilihat pada Lampiran 19. Simulasi 1 merupakan kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti
saat ini existing dengan kebijakan tanpa impor, yang bertujuan untuk melihat kemandirian pangan di wilayah Jawa. Instrumen kebijakan tanpa impor ini
bertujuan untuk melindungi petani dari rendahnya harga beras domestik yang cenderung menurun akibat impor.
119 Kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti saat ini existing,
menyebabkan konversi lahan sawah di luar Jawa mengalami peningkatan sekitar 0.007 persen. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penerimaan pemerintah dari
tarif impor berkurang 100 persen. Kondisi ini diduga mendorong pemerintah memacu pertumbuhan ekonominya yang memberi konsekuensi terhadap tingginya
persaingan lahan dari penggunaan pertanian khususnya pangan ke penggunaan lain non-pertanian pangan yang menghasilkan rente lahan lebih tinggi. Pertum-
buhan ekonomi yang pesat di Jawa menyebabkan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa pun mengalami peningkatan, sehingga konversi lahan sawah di luar Jawa
pun mengalami peningkatan walaupun peningkatannya relatif kecil yakni sebesar 0.007 persen.
Konversi lahan sawah di Jawa yang 3x lipat dibandingkan yang terjadi di luar Jawa, kemudian ditambah pula dengan peningkatan konversi lahan sawah di
luar Jawa menyebabkan konversi lahan sawah secara keseluruhan Indonesia meningkat sebesar 0.778 persen. Peningkatan konversi lahan sawah ini me-
ngakibatkan penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.011 persen. Penurunan luas baku sawah yang lebih kecil daripada konversi lahan sawah yang
terjadi mengindikasikan adanya pencetakan sawah baru. Kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti saat ini existing
dimana rata-rata laju konversinya yang ada sebesar 0.144 persen, menyebabkan luas baku sawah di Jawa mengalami penurunan sebesar 0.026 persen. Hal ini
diduga karena di Jawa pun masih ada pencetakan sawah baru, walaupun relatif kecil jumlahnya dan berupa pencetakan sawah non-irigasi. Dengan asumsi inten-
sitas pertanaman dan produktivitas tetap, penurunan luas baku sawah akan ber- dampak terhadap pengurangan luas areal panen padi di Jawa lebih lanjut ber-
dampak terhadap penurunan produksi padi Jawa, produksi padi per kapita Jawa, dan produksi beras Jawa masing-masing sebesar 0.016, 0.043 dan 0.014 persen.
Namun demikian, produksi beras di Indonesia secara keseluruhan tetap mengala- mi peningkatan. Hal ini diduga karena adanya peningkatan produksi padi di luar
Jawa sebesar 0.289 persen. Kebijakan tanpa impor beras menyebabkan menurunnya penawaran beras
domestik sebesar 3.216 persen dan ketersediaan beras per kapita mengalami
120 penurunan sebesar 1.154 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa selama ini pena-
waran beras domestik sangat dipengaruhi oleh impor. Turunnya penawaran beras Indonesia akibat kebijakan peniadaan impor menyebabkan harga riil beras eceran
domestik mengalami peningkatan sebesar 11.901 persen yang berdampak ter- hadap peningkatan inflasi bahan makanan, dimana beras merupakan salah satu
cost push inflation factor. Secara nasional, tingginya inflasi bahan makanan se- besar 34.861 persen berdampak terhadap menurunnya akses pangan per kapita se-
besar 8.312 persen. Peningkatan harga riil beras eceran di Indonesia sebesar 11.901 persen juga diikuti dengan peningkatan marjin pemasaran beras sebesar
57.959 persen. Semakin tinggi marjin pemasaran beras yang diambil pedagang, ceteris paribus, maka akan semakin rendah harga gabah yang diterima petani,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh penurunan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 1.529 persen.
Namun demikian, peningkatan harga riil beras eceran domestik sebesar 11.901 persen belum mengakibatkan penurunan permintaan terhadap komoditas
beras. Bahkan hasil pengolahan data menunjukkan bahwa permintaan beras per kapita mengalami peningkatan sebesar 1.489 persen. Fenomena ini mengindikasi-
kan bahwa beras masih menjadi makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan harga riil beras eceran sampai pada tingkat
tertentu belum menyebabkan masyarakat mengurangi permintaannya terhadap jenis pangan ini. Hal ini diperkuat oleh temuan Hidayat 2012 yang menyebutkan
bahwa perubahan harga beras di tingkat konsumen memberikan dampak yang kecil terhadap permintaan beras itu sendiri dalam jangka pendek, namun dalam
jangka panjang, konsumen mulai menyesuaikan diri untuk mencari alternatif makanan pokok lain.
Simulasi 1 ini menyimpulkan bahwa ternyata tanpa kebijakan impor konversi lahan sawah di Jawa seperti saat ini pun sebenarnya telah menyebabkan
penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Ketersediaan dan akses pangan selama ini mencukupi karena masih ditopang oleh adanya impor. Hal ini
mengindikasikan bahwa kemandirian pangan di wilayah Jawa dalam kondisi buruk karena sangat tergantung dengan impor. Kebijakan impor dalam jangka
pendek mampu menutupi defisit kebutuhan beras, namun hal ini riskan dalam