Konversi Lahan Sawah di Indonesia

135 Simulasi 15 menerapkan kebijakan tanpa impor pada saat terjadi pening- katan konversi lahan sawah sebesar 16 persen. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah sebesar 16 persen tanpa kebijakan impor me- ngakibatkan penurunan penawaran beras yang lebih tinggi, yaitu sebesar 3.49 persen. Penurunan terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita yang di- akibatkan kebijakan ini juga lebih besar dibandingkan ketika kebijakan dengan impor, yaitu masing-masing sebesar 1.298 dan 8.645 persen. Walaupun dari hasil beberapa simulasi diketahui bahwa konversi lahan yang terjadi sebenarnya dikompensasi oleh peningkatan impor, tetapi pada titik tertentu peningkatan impor ini tidak lagi dapat meningkatkan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Fenomena ini semakin menguatkan bahwa ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka pendek masih dapat dimaklumi, namun tidak dalam jangka panjang. Tabel 31 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Satuan Nilai Dasar Perubahan Simulasi S11 S12 S13 S14 S15 Konversi Lahan Sawah Indonesia ha 41 071.7 0.005 1.000 1.000 16.000 16.000 Luas Baku Sawah Indonesia ha 67 637.1 0.000 -0.043 -0.043 -0.252 -0.252 Luas Areal Panen Padi Indonesia ha 108 709 0.000 -0.002 -0.003 -0.009 -0.009 Produktivitas Padi Indonesia tonha 8 011 785 -0.320 0.005 -0.320 0.008 -0.323 Produksi Beras Indonesia ton 11 628 888 0.124 -0.063 0.064 -0.295 -0.165 Penawaran Beras Indonesia ton 3.9055 -3.209 0.011 -3.267 -0.140 -3.490 Ketersediaan Beras per Kapita tonjiwa 31 702 737 -1.154 0.000 -1.154 -0.072 -1.298 Permintaan Beras per Kapita tonjiwa 32 828 488 1.432 0.172 1.718 -0.115 1.489 Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rpkg 0.139 11.972 -0.478 11.869 -0.600 11.991 Akses Pangan per Kapita Rpjiwa 0.1739 -8.553 1.137 -7.349 -0.081 -8.645 Keterangan: S11 : Konversi di Indonesia tetap, tanpa impor S12 : Konversi di Indonesia meningkat 1, dengan impor S13 : Konversi di Indonesia meningkat 1, tanpa impor S14 : Konversi di Indonesia meningkat 16, dengan impor S15 : Konversi di Indonesia meningkat 16, tanpa impor 6.2.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga Simulasi yang dilakukan pada subbab ini simulasi 16 – 18 adalah dengan instrumen kebijakan tanpa impor pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen, yang kemudian dikombinasi dengan kebija- 136 kan peningkatan harga riil gabah tingkat petani secara rata-rata di semua wilayah penelitian Jawa, luar Jawa, dan Indonesia. Hasil simulasi 16 – 18 disajikan se- cara ringkas pada Tabel 32 di akhir pembahasan subbab ini, sedangkan hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 22. Simulasi 16 menerapkan kebijakan peningkatan harga riil gabah petani sebesar 15 persen, dimana angka ini merupakan angka rata-rata peningkatan harga riil gabah yang ada. Instrumen kebijakan peningkatan harga riil gabah petani ini diharapkan mampu mendorong petani untuk mempertahankan lahan sawahnya agar tidak dialih-fungsikan, sehingga konversi lahan sawah yang ada juga dapat ditekan. Selain itu kebijakan ini diharapkan juga mampu menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan luas areal panen padi yang ada meningkat sebesar 0.041 persen. Kebijakan peningkatan harga rill gabah tingkat petani, dapat menstimulasi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Hal ini ditunjuk- kan oleh peningkatan produktivitas padi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia masing-masing sebesar 0.737, 0.948, dan 3.296 persen. sehingga produksi beras di Indonesia pun mengalami peningkatan sebesar 0.838 persen. Namun demikian, kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun. Alter- natif kebijakan ini mengakibatkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita masing-masing sebesar 1.081 dan 6.628 persen. Simulasi berikutnya simulasi 17 adalah mengkombinasikan kebijakan pada simulasi 16 yang kemudian ditambah dengan peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah sebagaimana rata-rata yang terjadi yaitu sebesar 15 persen. Sebagaimana diketahui bahwa awalnya kebijakan harga pembelian pemerintah ini dahulu dikenal dengan nama kebijakan harga dasar gabah HDG. Walaupun secara istilah memiliki nama yang hampir sama, namun ternyata memiliki fungsi yang jauh berbeda. Jika fungsi harga dasar gabah adalah untuk menjaga agar harga yang diterima petani tidak mengalami penurunan secara drastis pada saat terjadi panen raya, tidak demikian dengan harga riil pembelian pemerintah ini. Hasil simulasi 17 menunjukkan bahwa ternyata peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah ini sama sekali tidak berdampak terhadap peubah-peubah yang ada di dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa harga dasar gabah yang 137 telah mengalami beberapa kali perubahan nama ini sekarang tidak lagi memiliki fungsi yang sama dengan harga dasar gabah yang dulu pernah ada. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa kebijakan tanpa impor dan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia menghasilkan kondisi yang tetap sama seperti hasil simulasi 16, walaupun pada simulasi ini ditambah dengan peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah sebesar 15 persen. Kombinasi kebijakan pada simulasi 18 sama dengan simulasi 17, hanya saja peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah sebesar 50 persen. Hal ini bertujuan untuk melihat efektifitas kebijakan peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah, yang sampai peningkatan 15 persen pada simulasi 17 belum memberikan perubahan apapun. Hasil simulasi 18 menunjukkan hasil yang sama dengan simulasi sebelumnya, yaitu simulasi 16 dan 17. Respon harga riil gabah di tingkat petani yang inelastis terhadap perubahan harga riil gabah pem- belian pemerintah mengindikasikan bahwa perubahan harga riil gabah pem- belian pemerintah berdampak kecil terhadap pembentukan harga riil gabah di tingkat petani, bahkan tidak berdampak apapun. Fenomena ini diduga karena pembentukan harga riil gabah di tingkat petani lebih tergantung pada mekanisme pasar. Hal ini diperkuat dengan fakta penetapan peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah yang tidak dilakukan setiap tahun, sementara itu pada saat yang sama pembentukan harga riil gabah di tingkat petani tetap terjadi. Hasil simulasi 16 – 18 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah sebesar 1 persen berdampak terhadap penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.043 persen. Namun demikian, penurunan luas baku sawah ini tidak menyebab- kan luas areal panen padi juga mengalami penurunan. Hal ini diduga karena optimalisasi intensitas pertanaman masih dapat menutupi dampak negatif dari pe- nurunan luas baku sawah. Kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat pe- tani di Indonesia mampu menjadi insentif bagi petani dalam meningkatkan produktivitas padinya sebesar 3.296 persen, yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan beras Indonesia sebesar 0.838 persen. Namun demikian, kebijakan tanpa impor yang dilakukan pemerintah mengakibatkan penawaran beras domes- tik menurun sebesar 2.515 persen dan ketersediaan per kapita juga mengalami pe- nurunan sebesar 1.081 persen. Penurunan ketersediaan beras per kapita kemudian 138 diimbangi dengan peningkatan permintaan beras per kapita sebesar 1.890 persen, walaupun harga riil beras eceran mengalami peningkatan sebesar 12.004 persen akibat penurunan penawaran beras domestik. Fenomena ini mengindikasikan bahwa beras masih menjadi makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Penurunan harga riil beras eceran ini kemudian berdampak terhadap penurunan akses pangan per kapita. Hasil simulasi 16 – 18 juga menyimpulkan bahwa im- plementasi kebijakan harga rill gabah di tingkat petani tidak akan efektif tanpa kebijakan impor. Ketahanan pangan yang ada merupakan ke-tahanan pangan semu karena sebenarnya ditopang oleh impor. Tabel 32 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Satuan Nilai Dasar Perubahan Simulasi S16 S17 S18 Konversi Lahan Sawah Jawa ha 41 071.7 1.000 1.000 1.000 Konversi Lahan Sawah Luar Jawa ha 67 637.1 1.000 1.000 1.000 Konversi Lahan Sawah Indonesia ha 108 709 1.000 1.000 1.000 Luas Baku Sawah Indonesia ha 8 011 785 -0.043 -0.043 -0.043 Luas Areal Panen Padi Indonesia ha 11 628 888 0.041 0.041 0.041 Produktivitas Padi Indonesia tonha 3.9055 3.296 3.296 3.296 Produksi Beras Indonesia ton 31 702 737 0.838 0.838 0.838 Penawaran Beras Indonesia ton 32 828 488 -2.515 -2.515 -2.515 Ketersediaan Beras per Kapita tonjiwa 0.139 -1.081 -1.081 -1.081 Permintaan Beras per Kapita tonjiwa 0.1739 1.890 1.890 1.890 Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rpkg 3 641.1 12.004 12.004 12.004 Akses Pangan per Kapita Rpjiwa 11 013 884 -6.628 -6.628 -6.628 Keterangan: S16 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, dan tanpa impor S17 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, tanpa impor, peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah 15 S18 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, tanpa impor, peningkatan harga riil gabah pembelian pemerintah 50 6.2.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor Alternatif kebijakan pada subbab ini mengkombinasikan antara kebijakan harga dengan kebijakan impor yang pernah diterapkan pemerintah pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Kebija- kan harga yang dilakukan adalah meningkatkan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea 139 sebesar 10 persen. Masing-masing angka ini merupakan angka rata-rata pening- katan maupun penurunan harga tersebut. Simulasi 19 – 21 merupakan kombinasi dari alternatif kebijakan tersebut yang rekapitulasi hasil simulasinya disajikan pada Tabel 33 di akhir pembahasan subbab ini, sedangkan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 23. Simulasi 19 mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen yang diiringi kebijakan tanpa impor. Kebijakan tanpa impor ini bertujuan untuk melihat kemandirian pangan nasional dengan diterapkannya kebijakan harga tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa implementasi kebijakan harga tersebut mampu meningkatkan luas areal panen dan produktivitas padi petani, sehingga produksi padi dan beras secara keseluruhan juga mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 2.172 dan 2.177 persen. Namun kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun sebesar 1.214 persen. Ketersediaan beras secara nasional pun mengalami pe- nurunan, tetapi per kapita mengalami peningkatan. Hal ini diduga dengan mem- perhitungkan jumlah penduduk yang ada, ketersediaan beras per kapita ternyata masih mengalami peningkatan. Adapun akses pangan per kapita mengalami penurunan sebesar 5.212 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya harga riil beras eceran akibat menurunnya penawaran beras domestik. Simulasi 20 mengkombinasikan alternatif kebijakan seperti simulasi sebelumnya tetapi dengan mengurangi jumlah kuota impor sebesar 37.5 persen. Walaupun sama-sama membatasi impor, namun kuota impor lebih efektif membatasi impor secara fisik dibandingkan tarif impor. Pembatasan impor melalui kuota lebih menguntungkan produsen dalam negeri yang dalam hal ini berarti petani padi. Hasil simulasi 20 menunjukkan bahwa pembatasan kuota impor ini efektif bagi petani padi di Indonesia untuk meningkatkan luas areal panen dan produktivitas padinya, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan masing-masing komponen ini sebesar 1.523 persen dan 7.602 persen. Peningkatan luas areal panen dan produktivitas padi ini meningkatkan produksi padi domestik. Pembatasan kuota ini menyebabkan jumlah impor secara fisik mengalami pe- nurunan sebesar 37.5 persen sebagaimana batas kuota yang ditetapkan. 140 Namun demikian, penawaran beras domestik tetap mengalami peningkatan sebesar 1.156 persen, walaupun jumlah impor berkurang. Kebijakan pembatasan kuota impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik mengalami pening- katan sebesar 2.332 persen. Hal ini menegaskan bahwa perubahan harga riil beras eceran domestik sampai pada tingkat harga tertentu belum menyebabkan kon- sumen beras mengurangi permintaannya terhadap jenis pangan ini. Selanjutnya, harga riil beras eceran pun mengalami peningkatan sehingga inflasi bahan makanan mengalami penurunan jika dibandingkan simulasi 17, walaupun masih menyebabkan peningkatan inflasi dengan nilai perubahan yang kecil yaitu 0.917 persen. Pada simulasi ini, ketersediaan beras dan akses pangan per kapita mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1.658 dan 0.019 persen. Simulasi 21 lebih fokus pada instrumen kebijakan impor yang lain yaitu penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Sejak tahun 2009 pemerintah menetapkan tarif impor beras Rp450.00kg dari semula Rp430.00kg atau terjadi kenaikan tarif impor sebesar 4.7 persen. Besaran ini yang kemudian menjadi dasar penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Adanya tarif impor, merugikan konsumen karena tarif yang ada kemudian akan dibebankan kepada harga beras domestik, sehingga harga riil beras eceran akan mengalami peningkatan. Sama seperti simulasi 19 dan 20, simulasi 21 juga mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen pada saat terjadi rata-rata peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Hasil simulasi 21 menunjukkan bahwa alternatif kebijakan ini berdampak terhadap penurunan jumlah impor sebesar 11.704 persen. Selain itu, kebijakan harga yang ada mampu meningkatkan produksi padi dan beras nasional, sehingga ketersediaan beras per kapita juga mengalami peningkatan.. Peningkatan harga riil gabah di tingkat petani dan tarif impor yang ditetapkan menyebabkan terjadinya peningkatan harga riil beras eceran sebesar 0.844 persen. Peningkatan ini kemudian berakibat terhadap penurunan inflasi bahan makanan, sehingga akses pangan per kapita mengalami peningkatan sebesar 1.872 persen. Jika dibanding- kan antara pernintaan beras dan akses pangan per kapita pada simulasi 20 dan 21, dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan akses pangan pada simulasi 21 lebih 141 besar dari pada simulasi 20, namun permintaan beras per kapita pada simulasi 21 mengalami peningkatan yang lebih kecil dibandingkan pada simulasi 20. Feno- mena ini sejalan dengan Engel’s Law, dimana kenaikan akses pangan per kapita, yang tidak lain adalah pendapatan penduduk per kapita pada tingkat tertentu akan menurunkan proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan. Tabel 33 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Satuan Nilai Dasar Perubahan Simulasi S19 S20 S21 Konversi Lahan Sawah Indonesia ha 41 071.7 1.000 1.000 1.000 Luas Baku Sawah Indonesia ha 67 637.1 -0.043 -0.043 -0.043 Luas Areal Panen Padi Indonesia ha 108 709 1.523 1.523 1.029 Produktivitas Padi Indonesia tonha 8 011 785 7.602 7.602 6.006 Produksi Beras Indonesia ton 11 628 888 2.177 2.177 1.691 Penawaran Beras Indonesia ton 3.9055 -1.214 1.156 1.254 Ketersediaan Beras per Kapita tonjiwa 31 702 737 0.865 1.658 1.226 Permintaan Beras per Kapita tonjiwa 32 828 488 2.005 0.687 0.630 Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rpkg 0.139 11.429 2.332 0.844 Akses Pangan per Kapita Rpjiwa 0.1739 -5.212 0.019 1.872 Keterangan: S19 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, penurunan harga pupuk Urea 10, dan tanpa impor S20 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, penurunan harga pupuk Urea 10, dan penurunan kuota impor 37.5 S21 : Konversi di Indonesia meningkat 1, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15, penurunan harga pupuk Urea 10, dan penurunan tarif impor 5 Para produsen domestik jauh lebih menyukai kuota impor daripada tarif impor. Kuota impor lebih efektif dalam melindungi mereka dari tekanan produk asing yang hendak masuk ke pasar domestik. Masyarakat internasional sendiri, sepakat bahwa kuota impor harus dijauhi karena sumber restriksinya lebih kuat dibandingkan tarif impor, sehingga lebih berpotensi merusak perdagangan bebas. 6.3 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi terhadap Tingkat Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Beras di Indonesia Periode 1990 – 2010 Setiap opsi kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah akan ber- dampak terhadap tingkat kesejahteraan produsen maupun konsumen, yang dalam penelitian ini adalah produsen dan konsumen beras. Perubahan tingkat kesejah- 142 teraan akibat implementasi kebijakan pada masing-masing simulasi akan dibahas secara berturut-turut berikut ini.

6.3.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor

Pada subbab ini akan dibahas perubahan tingkat kesejahteraan pada simulasi 1 – 5 untuk wilayah Jawa, simulasi 6 – 10 untuk wilayah luar Jawa, dan simulasi 11 – 15 untuk gabungan dari keduanya Indonesia, dalam kondisi konversi lahan sawah tetap seperti saat ini existing maupun ketika terjadi peningkatan.

6.3.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa

Perdagangan internasional ditujukan untuk memperoleh keuntungan dari adanya spesialisasi Krugman Obstfeld, 2004, sehingga kebijakan tanpa impor akan menghilangkan kesempatan memperoleh keuntungan tersebut. Kebijakan tanpa impor yang tidak dikombinasi dengan alternatif kebijakan lain memberi dampak negatif terhadap semua pihak di semua wilayah penelitian, baik di Jawa simulasi 1, 3 dan 5, di luar Jawa simulasi 6, 8 dan 10, maupun gabungan keduanya yaitu Indonesia simulasi 11, 13 dan 15. Implementasi kebijakan pada masing-masing simulasi berdampak terhadap perubahan indikator kesejahteraan pelaku ekonomi beras, baik produsen, maupun konsumen. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan pada simulasi 1 – 5 disaji- kan pada Tabel 34 yang ada di akhir pembahasan simulasi 5. Simulasi 1 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus konsumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp913.244 juta, Rp15.974 miliar, dan Rp226.79 juta. Kerugian terbesar ditanggung oleh kon- sumen karena tanpa kebijakan impor harga riil beras eceran domestik mengalami peningkatan sebesar 11.901 persen. Simulasi 2 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Secara teori, pemberlakuan tarif impor mengakibatkan terjadinya inefisiensi dead weight loss, dimana surplus konsumen akan menurun dan kemudian penurunan ini akan diambil oleh 143 produsen dan pemerintah berupa peningkatan surplus produsen dan penerimaan pemerintah. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa menurunkan surplus petani di Jawa sebesar Rp19.985 juta, namun secara keseluruhan petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.89 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan tarif impor, yang kemudian meningkatkan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 0.022 persen. Kebijakan impor yang ada juga memberikan surplus konsumen sebesar Rp311.946 juta sebagai akibat menurunnya harga riil beras eceran sebesar 0.231 persen. Peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 2.496 persen mengakibatkan pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp5.66 juta. Secara total, kebijakan pada simulasi 2 menghasilkan net surplus sebesar Rp310.511 juta. Simulasi 3 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini ber- dampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan pe- nerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp913.202 juta, Rp15.982 miliar, dan Rp226.790 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.122 miliar. Simulasi 4 merupakan kebijakan peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 18 persen dan dengan kebijakan impor. Seperti simulasi 2, pemberlakuan tarif impor mengakibatkan terjadinya inefisiensi dead weight loss. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 18 persen menurunkan surplus petani di Jawa sebesar Rp19.985 juta, namun demikian secara keseluruhan petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.89 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Konversi lahan sawah di Jawa menyebabkan petani di Jawa mengalami penurunan, namun demikian secara keseluruhan petani di Indonesia memperoleh surplus sebesar Rp19.32 juta. Ke- bijakan impor ini juga memberikan surplus kepada konsumen sebesar Rp440.668 juta, dan penerimaan pemerintah sebesar Rp12.72 juta. Net surplus yang dihasil- kan dari penerapan kebijakan ini adalah sebesar Rp456.38 juta. Simulasi 5 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan kon- versi lahan sawah di Jawa sebesar 18 persen. Sama seperti implementasi kebija- kan tanpa impor sebelumnya, maka simulasi ini berdampak terhadap menurunnya 144 surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp915.299 juta, Rp16.098 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.24 miliar. Besaran kerugian yang ditang- gung masing-masing pihak akibat kebijakan tanpa impor relatif pada kisaran yang sama, yang membedakannya adalah besaran tingkat konversi lahan. Tabel 34 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No. Indikator Kesejahteraan Satuan Perubahan Indikator Kesejahteraan S1 S2 S3 S4 S5 1. Surplus Produsen Beras Rp Juta -913.244 -7.095 -913.202 2.992 -915.299 a. Petani Jawa Rp Juta -19.987 -19.985 -19.985 -16.329 -16.329 b. Petani luar Jawa Rp Juta 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 c. Petani Indonesia Rp Juta -893.258 12.890 -893.217 19.320 -898.971 2. Surplus Konsumen Beras Rp Juta -15 974.366 311.946 -15 982.081 440.668 -16 098.708 3. Penerimaan Pemerintah Rp Juta -226.790 5.660 -226.790 12.720 -226.790 4. Net Surplus Indonesia Rp Juta -17 114.401 310.511 -17 122.073 456.380 -17 240.798 Keterangan: S1 : Konversi di Jawa tetap, tanpa impor S2 : Konversi di Jawa meningkat 1, dengan impor S3 : Konversi di Jawa meningkat 1, tanpa impor S4 : Konversi di Jawa meningkat 18, dengan impor S5 : Konversi di Jawa meningkat 18, tanpa impor

6.3.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa

Alternatif kebijakan yang sama diimplementasikan pada simulasi 6 – 10, hanya saja pada kondisi konversi lahan sawah di luar Jawa. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan besaran indikator kesejahteraan relatif sama baik di Jawa maupun di luar Jawa. Secara ringkas, hasil simulasi 6 – 10 disajikan pada Tabel 35 yang ada di akhir pembahasan simulasi 10. Simulasi 6 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah di luar Jawa tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus konsumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp897.75 juta, Rp15.999 miliar, dan Rp226.79 juta. Secara umum, kebijakan tanpa impor ini bias kepada konsumen yang ditunjukkan oleh besarnya kerugian yang ditanggung oleh konsumen. Hal ini sangat logis karena kebijakan tanpa impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik meningkat. 145 Simulasi 7 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa menurunkan surplus petani di luar Jawa sebesar Rp1.405 juta, namun petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.888 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan tarif impor, yang kemudian meningkatkan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 0.022 persen. Kebijakan impor yang ada juga memberikan surplus konsumen sebesar Rp333.68 juta sebagai akibat menurunnya harga riil beras eceran sebesar 0.247 persen. Peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 7.522 persen me- ngakibatkan pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp17.06 juta. Secara total, kebijakan pada simulasi 7 menghasilkan net surplus sebesar Rp362.22 juta. Simulasi 8 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp897.722 juta, Rp16.003 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.128 miliar. Simulasi 9 merupakan kebijakan peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen dan dengan kebijakan impor. Konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa sebesar 20 persen menurunkan surplus petani di luar Jawa sebesar Rp1.403 juta, namun demikian petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp16.101 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Kebijakan impor ini juga memberikan surplus kepada konsumen sebesar Rp392.792 juta, dan penerimaan pemerintah sebesar Rp22.33 juta. Net surplus yang dihasilkan dari penerapan kebijakan ini sebesar Rp429.82 juta. Simulasi 10 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen. Sama seperti implementasi kebijakan tanpa impor sebelumnya, maka simulasi ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp903.637 juta, Rp16.115 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.245 miliar. 146 Berdasarkan hasil simulasi yang mendisagregasi wilayah Jawa dan luar Jawa, diperoleh kesimpulan bahwa secara keseluruhan dampak alternatif berbagai kebijakan terhadap perubahan tingkat kesejahteraan produsen di Jawa relatif lebih tinggi daripada di luar Jawa. Demikian juga dampak alternatif kebijakan terhadap penerimaan pemerintah. Hal ini diduga karena kondisi di Jawa lebih stabil dalam hal kemandirian pangan sehingga membutuhkan impor yang lebih sedikit diban- dingkan di luar Jawa dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Kondisi ini ber- akibat terhadap peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa. Tabel 35 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No. Indikator Kesejahteraan Satuan Perubahan Indikator Kesejahteraan S6 S7 S8 S9 S10 1. Surplus Produsen Beras Rp Juta -897.750 11.483 -897.722 14.698 -903.637 a. Petani Jawa Rp Juta 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 b. Petani luar Jawa Rp Juta -1.407 -1.405 -1.407 -1.403 -1.405 c. Petani Indonesia Rp Juta -896.343 12.888 -896.315 16.101 -902.232 2. Surplus Konsumen Beras Rp Juta -15 999.462 333.680 -16 003.967 392.792 -16 115.139 3. Penerimaan Pemerintah Rp Juta -226.790 17.060 -226.790 22.330 -226.790 4. Net Surplus Indonesia Rp Juta -17 124.000 362.022 -17 128.048 429.082 -17 245.570 Keterangan: S6 : Konversi di Luar Jawa tetap, tanpa impor S7 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1, dengan impor S8 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1, tanpa impor S9 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20, dengan impor S10 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20, tanpa impor

6.3.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia

Simulasi 11 – 15 merupakan kondisi konversi lahan sawah di Indonesia secara keseluruhan, baik kondisi tetap seperti saat ini ataupun ketika terjadi pe- ningkatan. Dampak penerapan berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan dalam simulasi 11 – 15 disajikan pada Tabel 36 yang ada di akhir pembahasan simulasi 15. Simulasi 11 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah di Indonesia tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus kon- sumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp893.288 juta, Rp16.072 miliar, dan Rp226.79 juta. Kerugian yang ditanggung 147 pemerintah tanpa kebijakan impor sama pada setiap kondisi dan wilayah, yaitu sebesar Rp226.79 juta. Hal ini terkait hilangnya kesempatan untuk memperoleh penerimaan dari tarif impor ketika mengimplementsikan kebijakan tanpa impor sebesar 100 persen. Secara umum, kebijakan tanpa impor ini bias kepada kon- sumen yang ditunjukkan oleh besarnya kerugian yang ditanggung oleh konsumen. Hal ini sangat logis karena kebijakan tanpa impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik meningkat. Simulasi 12 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Implementasi kebija- kan ini menghasilkan surplus petani di Indonesia sebesar Rp25.775 juta. Kon- sumen dan pemerintah juga diuntungkan dengan memperoleh surplus masing- masing sebesar Rp645.422 juta dan Rp22.71 juta. Simulasi 13 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan kon- versi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini ber- dampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan pe- nerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp917.636 juta, Rp15.913 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.058 miliar. Simulasi 14 yang menerapkan kebijakan impor pada saat terjadi pening- katan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 16 persen. Pemberlakuan tarif impor spesifik pada komoditas beras sebesar Rp430.00 – Rp450.00 per kg menyebabkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke produsen dan peme- rintah melalui peningkatan surplus produsen dan penerimaan pemerintah. Pene- rapan kebijakan ini menghasilkan surplus produsen sebesar Rp15.850 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Walaupun kon- sumen sedikit dirugikan akibat kenaikan harga riil beras eceran, namun konsumen masih memperoleh surplus sebesar Rp811.614 juta. Sementara itu, pemerintah memperoleh penerimaan dari tarif sebesar Rp33.1 juta. Net surplus yang dihasilkan dari penerapan kebijakan ini adalah sebesar Rp860.56 juta. Simulasi 15 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan kon- versi lahan sawah di Indonesia sebesar 16 persen. Sama seperti implementasi kebijakan tanpa impor yang telah dibahas sebelumnya, maka simulasi ini ber-