Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan
22 Penelitian Zhen et al., 2005 mengenai implementasi kebijakan yang
meminimalisasi hilangnya lahan subur melalui investasi infrastuktur di China. Pemerintah China mengadopsi teknologi penghemat air dan menyediakan dana
yang besar untuk kebutuhan tersebut, termasuk memberi insentif bagi petani yang berhasil menggunakan air secara efisien. China juga mengembangkan wetdry
irrigation sebagai alternatif untuk menghasilkan beras lebih banyak dengan kadar air yang lebih sedikit. Temuan yang diperoleh adalah bahwa selama 100 tahun,
China mampu memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan padi dan gandum dari sumber organik. Pemerintah China mengganti penggunaan faktor produksi
kimia yang merusak lingkungan dengan praktek budidaya tradisional, seperti: rotasi tanaman, pupuk organik, predator biologi, serta daur ulang sampah dan
residu usahatani. Selain itu, rekayasa genetika tanaman pangan juga dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan.
Irawan 2005 melakukan studi mengenai simulasi ketersediaan beras nasional dengan pendekatan sistem dinamis, untuk mengetahui akurasi dan
validitas model. Data periode 1980 – 1995 digunakan untuk memprediksi keadaan tahun 1998 – 2000. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara
mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana tahun 1992 – 2002 sebesar 0.77 persen per tahun dan penerapan
teknologi budidaya padi sawah tidak beranjak dari keadaan 1990 – 2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah di Jawa dan
luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai 0 persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama juga perlu upaya peningkatan produk-
tivitas padi sebesar 2 – 2.5 persen per tahun sebagaimana pada swasembada beras tahun 1983 – 1985. Kebijakan perluasan areal lahan sawah baru di luar Jawa
sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan
sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah. Selain beberapa instrumen kebijakan ekonomi sektor pertanian yang telah
dijelaskan sebelumnya, kebijakan harga input maupun output juga sering diimplementasikan pemerintah untuk melindungi petani. Salah satunya adalah
kebijakan harga output yang dikenal dengan kebijakan Harga Dasar yang
23 bertujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga secara drastis pada saat
panen raya suplai melimpah. Kebijakan Harga Dasar ini ditetapkan oleh pemerintah dan telah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga
Dasar Gabah HDG, Harga Dasar Pembelian Gabah HDPG, Harga Dasar Pembelian Pemerintah HDPP dan Harga Pembelian Pemerintah HPP
merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Adapun yang dipakai sampai sekarang ini adalah Harga Pembelian
Pemerintah HPP. Sekilas perubahan HDG menjadi HPP seolah tidak memiliki perbedaan mendasar. Namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar
dari perubahan nama tersebut Simatupang, 2003. Perbedaan antara HDG dan HPP disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbedaan antara HDG dan HPP
Komponen HDG HPP
Pembentukan harga
Pemerintah melalui Bulog membeli kelebihan
pasokan dalam jumlah besar sehingga petani
mendapatkan harga minimal tidak dibawah
HDG. Pemerintah tidak
menjamin bahwa harga gabah yang diterima
petani selalu berada di atas HPP yang ditetapkan.
Penjaminan harga Pemerintah berkewajiban bertanggung jawab
untuk menjamin harga dasar gabah minimum di
tingkat petani. Pemerintah tidak lagi
berkewajiban bertanggung jawab untuk
menjamin harga dasar gabah minimum di
tingkat petani.
Pemberlakuan harga
Berlaku di tingkat petani, sehingga Bulog
menanggung biaya angkut, transportasi, dll.
Berlaku di gudang Bulog. Bulog tidak menanggung
biaya angkut, transportasi, dll, sehingga
HPP yang ditetapkan pemerintah bukanlah HPP
yang diterima petani, melainkan harga yang
diterima pedagang rekanan Bulog.
Sumber: Simatupang 2003
Berbeda dengan Harga Dasar Gabah HDG, Harga Pembelian Pemerintah HPP sebenarnya adalah harga pembelian petani untuk mengisi stok Bulog
24 sebesar 8 – 10 persen dari total produksi nasional. Ini merupakan konsekuensi
pasca-penandatanganan perjanjian pertanian WTO pada tahun 1995, sehingga terjadi liberalisasi perdagangan dengan indikator: a pembebasan bea masuk
impor beras sampai 0 persen; b pencabutan status Bulog sebagai lembaga pe- nyangga; c pencabutan subsidi input dan liberalisasi tataniaga pupuk tahun 1998.
Perjanjian WTO tersebut memberi dampak terutama pada perubahan fungsi Bulog dan perubahan HDG menjadi HPP.