Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA

Pasal 5 Kawasan Perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari: 1. Sempadan Pantai. 2. Sempadan Sungai. 3. Kawasan Sekitar DanauWaduk. 4. Kawasan Sekitar Mata Air. Pasal 6 Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1. Kawasan Suaka Alam, 2. Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainya, 3. Kawasan Pantan Berhutan Bakau., 4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, 5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan. Pasal 34 Ayat 1 Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan. Ayat 2 Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung. Ayat 3 Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 bagi daerahnya ke dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000, dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II. Peraturan dan perundangan-undangan di atas menunjukkan bahwa terminologi HCVA tidak ada yang digunakan, namun substansi HCVA sangat terkait dengan peraturan dan perundang-undangan di atas. Strategi kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan dapat diformulasikan sebagai berikut:

a. Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan

perkebunan selaku pemegang hak atas tanah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 9 Ayat 1 menyatakan bahwa Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut. Hasil wawancara dengan pakar dan narasumber menyebutkan bahwa HCVA sebagai wilayah yang memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. HCVA merupakan refleksi dari upaya untuk mewujudkan Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 4 undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 yang menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup dan selanjutnya pasal 68 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha danatau kegiatan berkewajiban: 1. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; 2. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan 3. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup danatau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 4 menyatakan bahwa perkebunan mempunyai fungsi: 1. Ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; 2. Ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan 3. Sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Pasal 25 Ayat 1 menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya. Undang-undang tersebut menyebut bahwa tanggung jawab pengelolaan HCVA sepenuhnya secara jelas diberikan kepada perusahaan kelapa sawit, meskipun pengelolaan HCVA membutuhkan peran serta atau partisipasi multi pihak.

b. Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak.

Pengelolaan HCVA saat ini masih bersifat sepihak khususnya pengelola perkebunan kelapa sawit karena pengelolaan HCVA sebagai bagian sertifikasi RSPO bersifat voluntary, sedangkan kewenangan izin usaha perkebunan kelapa sawit ada di Kementerian Pertanian. Pengembangan kelembagaan pengelolaan HCVA kedepannya diharapkan dapat membentuk multistakeholder forum. Kelembagaan pengelola yang melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap stakeholder guna mempertahankan optimalisasi aliran fungsi ekologi HCVA HCV 1, HCV 2, dan HCV 3, jasa lingkungan HCV 4 dan HCV yang terkait sosial ekonomi dan budaya HCV 5 dan HCV 6. Dasar pengelolaan HCVA bersifat partisipatif karena peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tidak ada secara langsung yang menyatakan pengelolaan HCVA atau tidak menggunakan terminologi HCVA, meskipun tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya dibebankan oleh perusahaan sebagai penerima hak atas tanah. Komponen HCVA merupakan satu set pengelolaan terpadu meliputi ekologi, ekonomi dan sosial budaya dimana perusahaan tidak mendapatkan penerimaan secara riil dari pengelolaan tersebut. UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup Pasal 70 Ayat 1 menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 70 Ayat 2 menyatakan bahwa peran masyarakat dapat berupa: 1. Pengawasan sosial; 2. Pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; danatau 3. Penyampaian informasi danatau laporan. Selanjutnya Ayat 3 menyatakan bahwa peran masyarakat dilakukan untuk: 1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; 3. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; 4. Menumbuhkembangkan ketanggapapam masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 37 Ayat 1 menyatakan bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan HCVA semestinya bersifat partisipatif. Hasil analisis stakeholder menyebutkan posisi GAPKI, Perkebunan Kelapa Sawit dan Sawit Watch sebagai key player semestinya terbangun kemitraan dalam pengelolaan. Hasil wawancara dengan pimpinan Sawit Watch menyebutkan bahwa kebijakan Sawit Watch saat ini belum memungkinkan untuk bekerjasama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, meskipun sangat berkepentingan dengan pengelolaan HCVA. Sawit Watch bisa berperan aktif sebagai pengawasan sosial, sumbangsih saran dan pendapat sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup Pasal 70 ayat 2. Partisipasi pengelolaan HCVA sementara ini sudah terbangun antara perusahaan perkebunan dengan kebun plasma yang sama-sama ingin mendapatkan sertifikasi SPO. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan HCVA dilihat dari kesediaan masyarakat untuk membayar willingnes to payWTP dengan memberikan sejumlah iuran dana pengelolaan keberadaan HCVA, meskipun HCVA tersebut berada dalam areal perusahaan. Hal ini terkait adanya kesadaran masyarakat bahwa keberadaan HCVA memberikan manfaat sosial langsung untuk tipe nilai guna langsung seperti rotan, ikan, madu, dan lainnya serta nilai pilihan biodiversitas dengan harapan anak cucu mereka bisa menyaksikan dan menikmati manfaat keberadaan flora fauna yang ada di sekitar kawasan HCVA.

c. Memberikan dukungan pemenuhan harga kompensasi yang rational dan

feasible bagi perusahaan dan kebun sawit plasma tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES. Isu keadilan dan kesejahteraan bagi petani sawit plasma yang digaungkan dan diadvokasi oleh sejumlah LSM seperti Sawit Watch semestinya tidak akan terjadi jika harga output harga TBS maupun CPO yang diterima perusahaan adil dan rasional sebagai bentuk kompensasi atas pengelolaan HCVA. Harga TBS yang rasional dan layak sehingga isu keadilan dan kesejahteraan mungkin tidak akan terjadi. Hal ini bisa dibuktikan di kebun plasma di PT. IIS Kebun Buatan yang notabene petani plasma mendapatkan premium price tercipta kerjasama dan kemitraan yang solid antara perusahaan dengan petani plasma. Premium price yang tidak rasional dan layak akan mudah menciptakan friksi, gejolak sosial, dan atau konflik kepentingan antara perusahaan dengan masyarakat secara luas. Para stakeholder seharusnya memahami bahwa postulat ekonomi inti bisnis yaitu maksimasi keuntungan. Perusahaan merupakan lembaga yang berorientasi profit profit oriented umumnya tidak akan bersedia jika kehilangan keuntungan dari usaha mereka dengan melakukan pengelolaan HCVA tanpa mendapatkan kompensasi. Keberatan perusahaan terletak pada tambahan biaya pengelolaan dan kehilangan produksi, sementara itu manfaat keberadaan HCVA tidak secara riil dinikmati oleh perusahaan. Perusahaan yang menjadi obyek penelitian menyatakan keberatannya dalam pengelolaan HCVA jika tidak mendapatkan kompensasi. Faktanya ada juga perusahaan seperti Astra Agro Group melakukan pengelolaan HCVA tanpa berharap terlalu besar mendapatkan premium price karena memang tidak melakukan sertifikasi RSPO. Perusahaan tersebut melakukan pengelolaan HCVA atas dasar motif good will kemauan baik. Hampir sebagian perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA melakukan pengelolaan HCVA atas dasar motif good will dan corporate image karena inisiatif pengelolaan HCVA akan memberikan manfaat jangka panjang bagi perusahaan. Keberadaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memilik kecenderunagn sebagai barang publik yang manfaatnya bisa dinikmati oleh siapa saja yang tidak hanya terbatas masyarakat lokal sekitar perusahaan. Nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung berupa aliran barang dan jasa ekosistem seperti penyerapan karbon dan lainnya merupakan manfaat yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat global, apalagi saat ini mekanisme perdagangan karbon sudah ada dan beberapa diantara sudah terjadi transaksi perdagangan karbon. Hal ini sesuai dengan tujuan HCVA sebagai pengelolaan kawasan konservasi pada tingkat lokal, regional maupun global. Keberadaan HCVA memang memiliki nilai ekonomi total Total Economic Value TEV, namun bersifat potensial bukan riil atau aktual yang bisa diterima oleh perusahaan. Hal inilah yang juga menjadi salah satu kendala bagi perusahaan untuk menutup kehilangan profit atas pengelolaan HCVA. Skema menangkap nilai ekonomi total capturing TEV HCVA yang merupakan nilai ekonomi dari barang dan jasa yang belum memiliki harga pasar. Nilai TEV bisa