Skenario Internalisasi TEV dan Dampak Ekonomi

penerimaan dari produksi TBS lebih banyak. Gap net benefit pilihan pengelolaan without and with HCVA+0.35 cukup besar yaitu sebesar Rp 3.340.184.524,00 per siklus dan with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hasil perhitungan skenario tanpa TEV dan dampak ekonomi ditunjukkan pada Tabel 29. Pilihan with HCVA+0.35 akan menjadi aktual jika nilai TEV HCVA dan kehilangan manfaat sosial pendapatan masyarakat dan tenaga kerja dikeluarkan dari analisis, yang akan menyebabkan perusahaan akan mengalami kerugiankehilangan profit perusahaan Rp 3.340.184.524,00 per siklus dan dengan with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi pilihan with HCVA+ 0.35 ternyata belum mampu untuk menutup biaya korbanan dari perusahaan untuk pengelolaan HCVA. Harga kompensasi premium price sebesar 0.35 belum mampu memberikan penerimaan yang wajar dan rasional bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan. Nilai manfaat potensial dalam pengelolaan HCVA seperti TEV HCVA dan kehilangan manfaat sosial jika diinternalisasikandiperhitungkan dalam analisis pilihan with HCVA+0.35 jauh akan lebih menguntungkan dibandingkan pengelolaan perkebunan without HCVA. 5.7. Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA 5.7.1 Analisis Stakeholder Analisis pemangku kepentingan Stakeholder menjadi populer digunakan oleh pembuat kebijakan, regulator, pemerintah dan organisasi non pemerintah Friedman dan Miles 2002 dalam Reed et al. 2009. Pendekatan analisis stakeholder telah berubah secara progresif menjadi tool analisis yang adaptif dari manajemen bisnis menjadi alat analisis untuk kebijakan, pembangunan, dan manajemen sumberdaya alam. Analisis stakeholder dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh setiap stakeholders. Hasil analisis stakeholder ini diharapkan mampu digunakan untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA kedepannya. Hasil wawancara dengan narasumber yang telah diidentifikasi sebagai stakeholder , diketahui bahwa pada pengelolaan HCVA saat ini hanya terbatas pada perusahaan dan kebun plasma selaku pemrakarsa. Hal ini tentu saja terkait dengan kepentingan perusahaan dan kebun plasma untuk memenuhi persyaratan dalam proses sertifikasi RSPO. Pemerintah yang berwenang cq. Kementerian Pertanian saat ini belum mengenal istilah HCVA atau tidak menggunakan terminologi HCVA dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hasil inventarisasi pemangku kepentingan stakeholders, diketahui bahwa stakeholders yang terlibat dan potensial terlibat dalam implementasi pengelolaan HCVA saat ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu: 1 Perusahaan perkebunan kelapa sawit, 2 Sawit Watch, 3 KUD Kebun Plasma, 4 GAPKI, dan 5 Komisi Sawit Indonesia. RSPO 2012 menyebutkan pemangku kepentingan industri kelapa sawit sebanyak tujuh sektor, yaitu: 1 produsen kelapa sawit; 2 pedagang dan pengolah kelapa sawit, 3 produsen produk-produk konsumen; 4 ritel; 5 perbankan dan investor, 6 lembaga swadaya masyarakat pelestarian lingkungan, dan 7 lembaga swadaya masyarakat sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan ini mengembangkan dan menerapkan standar internasional untuk perwujudan sustainable palm oil, sehingga stakeholder yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini hanya dua dari tujuh stakeholder yang disebutkan RSPO. Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan Grindle 1980. Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan persepsi mereka terhadap pengelolaan HCVA harapan mereka terhadap tujuan pengelolaan HCVA dan bagaimana cara mereka menyikapi pengelolaan HCVA ini keuntungan atau biaya apa saja yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa saja yang telah dimobilisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 empat persepsi stakeholder mengenai tujuan pengelolaan HCVA yaitu: 1 untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial negatif dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit, 2 konservasi kawasan di dalam areal kebun yang bernilai konservasi tinggi, 3 pencitraan korporasi perusahaan kelapa sawit yang ramah lingkungan dan 4 meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas yang bersinergi dengan pembangungan ekonomi jangka panjang dan keberlanjutan. Tabel 30 menunjukkan persepsi harapan responden terhadap tujuan kebijakan pengelolaan HCVA. Tabel 30. Persepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA No Stakeholders Tujuan Pengelolaan HCVA Minimalisasi dampak ekologi dan social negatif Konservasi kawasan Pencitraan korporasi Kesejateraan masyarakat luas 1. Perusahaan Perkebunan +++ +++ ++ +++ 2. Komisi Sawit Indonesia ++ ++ +++ ++ 3. Sawit Watch +++ ++ +++ +++ 4. KUD Kebun Plasma ++ +++ ++ +++ 5. GAPKI +++ +++ +++ ++ Keterangan: + rendah, ++ sedang, +++ tinggi Tingkat kepentingan stakeholders dalam implementasi pengelolaan HCVA dapat dilihat dari dukungan yang mereka berikan terhadap implementasi pengelolaan HCVA. Posisi stakeholder dapat diketahui dari hasil penilaian tingkat kepentingan stakeholder. Penilaian menggunakan skala linkert yaitu nilai 5: sangat kuat, 4: kuat, 3: sedang, 2: lemah, dan 1: sangat lemah. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder No Stakeholders K1 K2 K3 K4 K5 Nilai 1. Perusahaan sawit 5 5 5 5 5 25 2. Komisi Sawit Indonesia 5 2 1 1 3 12 3. GAPKI 5 3 5 4 5 22 4. Sawit Watch 4 5 3 3 4 18 5. KUD Kebun Plasma 5 5 5 4 5 24 Keterangan : K1 = perkebunan kelapa sawit berkelanjutan profit, planet, dan people K2 = pemenuhan persyaratan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan K3 = motivasi keterlibatan K4 = bentuk dukungan K5 = keuntungan yang diharapkan Data di atas menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki nilai kepentingan tinggi adalah perusahaan perkebunan dan KUD kebun plasma serta GAPKI. Kedua stakeholder tersebut memandang bahwa pengelolaan HCVA merupakan salah satu persyaratan dalam sertifikasi RSPO yang wajib untuk dilakukan, sedangkan GAPKI sebagai asosiasi pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki kepentingan sangat kuat terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Dukungan kuat GAPKI terlihat dari kebijakan mereka membebaskan anggotanya memiliki sertifikat ganda bahkan lebih dari dua. Anggota GAPKI yang mengimplementasikan pengelolaan HCVA akan mendapatkan predikat baik sehingga akan menjadi keuntungan pencitraan bagi GAPKI. Sawit Watch juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial sebagai organisasi LSM yang tergabung dalam RSPO untuk mengawal pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit Indonesia, sedangkan Komisi Sawit Indonesia memiliki nilai kepentingan yang rendah karena lembaga tersebut tidak mengenal terminologi HCVA dalam sertifikasi ISPO yang mereka kembangkan. Beberapa stakeholders memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap pengeloaan HCVA, namun tidak semuanya memiliki pengaruh dalam mensukseskan implementasi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan HCVA dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Perusahaan sawit 3 5 2 4 5 19 2. Komisi Sawit Indonesia 5 5 4 1 4 19 3. GAPKI 3 5 4 5 5 22 4. Sawit Watch 3 3 3 4 2 16 5. KUD Kebun Plasma 5 1 2 2 2 12 Keterangan : P1 = Tingkat keterlibatan P2 = Perankontribusi dalam pembuatan keputusan P3 = Hubungan dengan stakeholder lain P4 = Dukungan SDM P5 = Dukungan finansial Tabel 31 menunjukkan bahwa Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Komisi Sawit Indonesia memiliki pengaruh yang besar dalam menyukseskan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, sedangkan KUD Kebun Plasma memiiki pengaruh yang terkecil. Dengan mengkombinasikan Tabel 31 dan Tabel 32 maka dibuat ilustrasi mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dengan menggunakan stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat kuadran yang menggambarkan posisi masing-masing stakeholders dalam