Gambar 15. Skema ilustrasi PES Pagiola
Mekanisme PES menunjukkan bahwa penerimaan pembayaran tergantung dari kemampuan mereka untuk menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan
atau melakukan suatu kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan. Mekanisme PES juga didefinisikan oleh Wunder 2005 yang menyebutkan PES
sebagai Transaksi sukarela dari jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas, atau pemanfaatan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut, dibeli oleh paling
tidak oleh satu pemanfaat jasa lingkungan, dari minimum satu penyedia jasa lingkungan, jika dan hanya jika penyedia dapat menjamin suplai yang terus
menerus dari jasa lingkungan tersebut Merupakan persyaratan atau kondisionalitas. PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk
menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa
lingkungan, dan juga kurangnya mekanisme kompensasi. HCVA merupakan sebuah area yang memiliki nilai konservasi tinggi yang
memiliki fungsi ekologis yang beragam sesuai dengan tipe ekosistem yang ada. Aliran barang dan jasa ekosistem belum memiliki nilai pasar, sehingga
meyebabkan keberadaan HCVA hanya sebagai sebuah kawasan yang tidak bisa mendatangkan manfaat yang aktual bagi perusahaan perkebunan. Usaha
perkebunan kelapa sawit merupakan usaha komersial yang sebagian besar berorientasi pada kegiatan ekspor untuk memenuhi permintaan pasar global.
Minimal Nilai PES
Maksimum Nilai PES
TEV HCVA Rp 9.87
milyarsiklus TEV HCVA
Rp 9.87 milyarsiklus
Nilai Konversi without
HCVA Rp 667,35
milyar siklus Nilai
Konservasi With HCVA
non PP Rp 655,62
milyarsiklus Gap Rp
11.73 milyarsiklus
Pembeli buyer minyak kelapa sawit biasanya adalah palm oil processors and traders
. Buyer di pasar global semestinya mengenakan harga yang berbeda bagi produk-produk minyak kelapa sawit yang bersertifikat berkelanjutan yang bisa
dinegoisasikan dan dimediasi oleh RSPO sebagai lembaga pensertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Perbedaan harga diperuntukkan bagi produk minyak
kelapa sawit yang melakukan praktek usaha perkebunan yang bertanggung jawab kepada kesejahteraan masyarakat sekitar, tenaga kerja, dan lingkungan dan atau
melakukan pengelolaan HCVA. Perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli dengan kelestarian alam serta menjaga dan melestarikan biodiversitas yang ada di
sekitar dan dalam areal konsesinya. Perbedaan harga bisa didasari atas nilai kompensasi PES dari pengelolaan HCVA.
Nilai kompensasi PES tersebut seharusnya menjadi perhatian bagi para buyer
. Nilai kompensasi PES tersebut bisa dianggap sebagai bentuk internalisasi social cost
dan environmental cost pada harga beli sawit di pasar global yang selanjutnya harga tersebut dinamakan premium price. Harga beli sawit dinaikkan
karena adanya tambahan biaya pengelolaan HCVA social cost dan environmental cost
sebagai dasar penentuan price differentiation. Hal ini akan memberikan semangat bagi grower untuk aktif menangkap isu lingkungan dengan melakukan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, meskipun perusahaan sawit sudah memiliki dokumen AMDAL, RPL dan RKL. Kegiatan pengelolaan
HCVA bukan semata kegiatan charity perusahaan bagi alam, tetapi perusahaan mendapatkan kompensasi atas imbal balik ekonomi economic return atas usaha
dan investasi dalam pengelolaan HCVA sebagai bentuk “aksi kesukarelaan
voluntary ’’. Minimal perusahaan tidak mengalami kerugian atau kehilangan
pendapatan yang signifikan. Tidak adanya kompensasi dalam pengelolaan HCVA seperti dalam bentuk
premium price akan mendorong para pengusaha perkebunan palm oil grower
untuk melakukan pengelolaan HCVA hanya sebatas formalitas dan atau hanya sebatas melaksanakan mandate memenuhi persyaratan saja. Tidak adanya
kompensasi dan atau rendahnya nilai kompensasi akan mendorong para perusahaan enggan melakukan pengelolaan HCVA di areal yang menjadi konsesi
mereka. Hal ini terkait tidak adanya regulasi yang khusus mengatur kewajiban
pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Faktor pendorong palm oil grower
enggan melakukan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan disebabkan oleh tiga hal:
1 Tambahan biaya pengelolaan HCVA bagi perusahaan 2 Kehilangan sebagian areal kebun sawit produktif
3 Serapan produk minyak kelapa sawit yang tidak tersertifikasi lebih besar dari serapan produk yang bersertifikat berkelanjutan seperti pasar Pakistan, India,
dan China. Nilai kompensasi atas pengelolaan HCVA dan sertifikasi minyak kelapa
sawit bisa menjadi stimulan dan komitmen bersama para pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan global. Pengelolaan HCVA merupakan bentuk refleksi
kepedulian perusahaan terhadap isu-isu lingkungan khusunya atas kehilangan biodiversitas dan climate change. Hal ini semestinya tidak hanya menjadi
kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit, tetapi juga menjadi fokus bagi masyarakat dunia khususnya buyer yang membutuhkan produk yang
menggunakan bahan minyak kelapa sawit khususnya yang bersertifikat berkelanjutan.
Realisasi strategi tersebut perlu dukungan stakeholder berupa dukungan pemberian harga kompensasi yang rasional yang adil dan layak bagi petani plasma
dan perusahaan inti. Perusahaan perkebunan, KUD Kebun Plasma, dan GAPKI seharusnya bersama-sama melakukan advokasi dan lobi kepada pemerintah untuk
mematok harga kompensasi bagi importir minyak kelapa sawit Indonesia yang tersertifikasi berkelanjutan. Stakeholder tersebut juga bisa mendorong Pemerintah
Indonesia untuk mengajukan penawaran harga kompensasi kepada pasar-pasar yang menerapkan kebijakan konsumsi minyak sawit yang ramah lingkungan
seperti pasar Uni Eropa.
d. Mendorong Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa Kawasan Lindung adalah kawasan
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan HCVA bersifat voluntary sebagai bagian sertifikasi RSPO dan belum terakomodir dalam
peraturan dan perundang-undangan yang ada tentu saja belum ada ketetapan mengenai status hukum nya.
Keberadaan HCVA memenuhi kriteria atau sesuai dengan definisi kawasan lindung, maka sudah seharusnya HCVA mendapatkan peningkatan status
HCVA sebagai kawasan lindung, meskipun tanggung jawab pengelolaan tetap ada di bawah Perusahaan sebagai pemegang hak atas tanah tersebut UU No. 5 Tahun
1990. Ayat 2 dalam Kepres tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan
pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, sedangkan pasal 2 Ayat 1 menyebutkan pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya
kerusakan fungsi lingkungan hidup dan Ayat 2 Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah :
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;
2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam.
Keppres tersebut juga sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 dan pasal 68
menyatakan bahwa setiap orang dan orang yang melakukan usahakegiatan perkebunan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup. HCVA HCV 1 s.d HCV 6 yang terdiri atas 3 komponen utama yaitu
ekologi pelestarian biodiversitas dan lingkungan hidup, jasa lingkungan dan sosial budaya sangat sesuai dengan sasaran pengelolaan kawasan lindung Kepres
No. 32 Pasal Ayat 2. Definisi kawasan lindung dalam Kepres No. 32 Tahun 1990 yang menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan
dimana peraturan tersebut juga telah membahas dan menyebutkan siapa yang harus menetapkan kawasan lindung, yaitu pemerintah daerah tingkat I atau II.
Dasar penetapan HCVA sebagai kawasan lindung untuk mencegah kerusakan atau kehilangan fungsi ekologi dan sosial budaya dari keberadaan
HCVA di bawah tanggung jawab perusahaan. Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolan
Kawasan Lindung mendorong penetapan kawasan lindung dengan pertimbangan bahwa untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang
berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian, upaya pengaturan dan perlindungan diatas perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pembangunan pola tata
ruang. Kebijaksanaan pembangunan pola tata ruang tersebut perlu ditetapkan adanya kawasan lindung dan pedoman pengelolaan kawasan lindung yang
memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Undang-undang dan peraturan yang ada
sudah sangat jelas menyatakan perlunya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang memiliki fungsi ekologi dan sosial budaya yang penting
bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan pemenuhan kesejahetraan masyarakat luas, meskipun tidak secara jelas menggunakan terminologi HCVA. Bentuk
kawasan lindung yang paling sesuai dengan kondisi HCVA adalah Kawasan Perlindungan Setempat, seperti Sempadan Pantai, Sempadan Sungai, Kawasan
Sekitar DanauWaduk, dan Kawasan Sekitar Mata Air dan Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan jika HCV tersebut merupakan situs arekologi
dan atau situs budaya yang penting bagi identitas budaya lokal. Tipe ekosistem atau bentuk HCVA di perkebunan kelapa sawit relatif beragam. Tipe ekosistem
ini juga relatif sesuai dengan komponen kawasan perlindungan setempat dan kawasan suaka alam dan cagar budaya khususnya kawasan cagar budaya dan
ilmu pengetahuan yang disebutkan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990. Kebutuhan peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung adalah untuk
mengindari atau mencegah munculnya klaim “lahan terlantar” atau lahan yang produktif yang tidak dikembangkandiusahakan. Hasil wawancara dengan GAPKI
terlihat bahwa beberapa kawasan HCVA dianggapdipersepsikan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertahanan Nasional BPN karena tidak adanya kejelasan
status lahan meskipun dikelola oleh perusahaan. HCVA sebagai lahan yang tidak
diusahakan bisa memicu okupasi atau menimbulkan konflik tenurial lahan bagi
masyarakat yang ingin melakukan ekspansi lahan kebun sawit. Permasalahan ini juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena ketidakjelasan status
kawasan yang telah diidentifikasi sebagai HCVA di areal perkebunan kelapa sawit.
Adanya peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung dengan jaminan kepastian hukum yang jelas. Usaha perlindungan dan pengelolaan HCVA
diproyeksikan akan berjalan dengan baik dan meningkat serta mampu menjaga optimalisasi aliran barang dan jasa lingkungan dari kawasan HCVA. Pemberian
harga kompensasi premium price akan menjadi lebih rasional bahan pertimbangan bagi para buyers dan users konsumen dari minyak kelapa sawit
yang bersertifikat berkelanjutan certified sustainable plam oilCSPO karena adanya kejelasan status pengelolaan HCVA.
Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak dari stakeholder terkait dengan fungsi dan peran masing-masing untuk terus mengawal usaha
perlindungan dan pengelolaan HCVA. Hal ini merupakan usaha bersama untuk mencegah kehilangankepunahan biodiversitas dan menangkal isu climate change
serta menghargai sosial budaya masyarakat lokal dan mempertahankan lingkungan hidup yang lestari. Premium price sebagai bentuk kompensasi yang
seharusnya “wajib” diberikan bagi perusahaan yang melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang termanifestasi melalui pengelolaan HCVA. Boer et al. 2012 menyatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan lingkungan
seperti HCVA seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab palm oil grower tetapi juga palm oil buyers customers. Lebih lanjut lagi Boer et al. 2012
menyatakan bahwa sejumlah premium price yang rasional diperlukan untuk mengkompensasi kerugian atau kehilangan profit akibat pengurangan area karena
pengelolaan HCVA.
e. Meningkatkan performance pengelolaan HCVA
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara sederhana bisa dilihat dengan menggunakan indikator pengelolaan lingkungan secara baik dan
bertanggung jawab melalui pengelolaan HCVA. Pengelolaan HCVA sebagai prasyarat sertifikasi RSPO telah mendapatkan harga kompensasi premium price
0.35, meskipun kurang rasional dan feasibel bagi perusahaan. Pengelolaan HCVA membangkitkan potencial benefit lainnya jika pengelolaannya
menunjukkan permorfa yang cemerlang. Perusahaan perkebunan perlu didorong
untuk meningkatkan performanya dalam pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan good corporate governance tata kelola perusahaan yang baik.
Potencial benefit bagi perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA selain
premium price adalah sebagai berikut:
1. Memantapkan izin sosial social permit Pengelolaan HCVA memberikan kemudahan dalam izin sosial social permit
dan legitimasi dari masyarakat sekitar bahwa perusahaan respek terhadap kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terefleksikan dari
HCV 5 dan 6 dimana perusahaan sangat peduli dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sekitar dan pelestarian situs bersejarah, situs
arkeologi dan tradisi budaya masyarakat lokal. Manfaat sosial dari pengelolaan HCVA tersebut bisa terus menjadi modal sosial perusahaan
social capital untuk menjaga keberlanjutan bisnis sustainable business perusahaan dan mewujudkan good corporate governance tata kelola
perusahaan yang baik. 2. Nilai ekonomi potensial TEV
Pengelolaan HCVA mendatangkan nilai ekonomi bagi perusahaan meskipun sifatnya potensial bukan aktual.
3. Peluang untuk mendapatkan sertifikasi lainnya. Pengelolaan HCVA tidak hanya bertujuan untuk memenuhi sertifikasi RSPO.
Potencial benefit yang lain dari pengelolaan HCVA dan sangat prospektif
kedepannya adalah sertifikasi International Sustainibility Carbon Certification
ISCC. ISCC International Sustainability and Carbon Certification
merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan sustainability, traceability dan penghematan dari efek gas
rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass energi yang terbarukan, memberikan pembuktian yang positif setelah beroperasi selama setahun.
Sertifikasi ISCC dikeluarkan oleh SGS Germany, yaitu sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang inspeksi, verifikasi, pengujian dan sertifikasi.
Badan Federal Pertanian dan Pangan Jerman BLE telah mengakui dan memberikan wewenang kepada SGS Germany untuk melakukan sertifikasi
produksi biomass. CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan