HCV di Perkebunan Kelapa Sawit

keberlanjutan produksi kayu dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya dan keanekaragaman hayati telah berkembang menjadi konsep yang memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Penggunaan konsep HCV di sektor swasta menunjukkan komitmen perusahaan untuk melakukan praktek terbaik best practise yang seringkali melebihi dari yang dipersyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan sekaligus memberikan jalan bagi perusahaan untuk menunjukkan diri sebagai warga dunia yang bertanggung jawab. Keberadaan HCV di sektor pemerintahan menjadi alat yang dapat digunakan untuk mencapai perencanaan tata guna lahan, menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat biologi, sosial, dan ekologis yang tidak terpisahkan. Penilaian HCV di sektor keuangan, merupakan cara yang memungkinkan pihak penanam modal komersil yang progresif untuk menghindari praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan lingkungan hidup ataupun ketimpangan sosial ekonomi. Berdasarkan hasil kajian HCVA yang dilakukan oleh tim Fakultas Kehutanan IPB selama tahun 2009-2011 di berbagai wilayah di Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit minimal memiliki 3 tiga NKT. Rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia memiliki luasan HCVA seluas 1.413,80 ha. Setiap areal perkebunan kelapa sawit memiliki HCV yang beragam tergantung lokasi bioregion dan biogeografi, begitu juga kawasan yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi high cultural values cdan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lokal.

2.2 Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO

RSPO adalah sebuah inisiatif dari beberapa industri minyak kelapa sawit besar dan organisasi konservasi yang menggunakan mekanisme pasar untuk menyusun ulang metode produksi, proses dan penggunaan kelapa sawit. Organisasi RSPO dibentuk pada April 2004 untuk menetralkan kampanye organisasi lingkungan yang menggambarkan kelapa sawit sebagai ancaman terbesar bagi hutan tropis dan berbagai makhluk hidup yang hidup dan sangat bergantung pada hutan tropis Cholcester et al. 2006. Tujuan pembentukan RSPO adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih “bertanggung jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun kedepan Cholcester et al. 2006, pada tahun 2020 UNEP-GEAS Desember 2011. Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah untuk menetapkan standar baku produksi dan pema nfaatan “minyak kelapa sawit berkelanjutan” sustainable palm oil SPO serta mendukung perdagangan minyak kelapa sawit yang menolak produksi minyak kelapa sawit yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan dengan cara a membuat standar SPO, b mendorong pengadopsian standar tersebut oleh seluruh anggota RSPO, c mendorong anggota RSPO untuk mereformasi praktek produksi dan pemanfaatan minyak kelapa sawit berdasarkan standar-standar tersebut, d harapan Badan Eksekutif RSPO agar setiap anggotanya mematuhi standar-standar tersebut secara sukarela, e pelibatan pihak ketiga yang merupakan penilai akreditasi terhadap setiap klaim produksi dan penggunaan SPO Cholcester et al. 2006. Prinsip RSPO perkebunan kelapa sawit berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Komitmen terhadap transparansi 2. Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku 3. Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang 4. Penggunaan praktek terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik 5. Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman hayati 6. Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas dari kebun dan pabrik 7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab 8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.

2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO

Isu keberlanjutan yang berkembang di perkebunan sawit menjadi kepedulian kalangan pengusaha, pebisnis, dan CEO untuk menciptakan global