HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
25.808,26 ha. Persentase pengurangan areal kebun karena keberadaan HCVA untuk di pulau Papua sebesar 17.6. Keberadaan HCVA yang relatif besar
tersebut menunjukkan bahwa Papua merupakan rumah bagi sebagian besar biodiversitas Indonesia. Papua merupakan sumber keanekaragaman hayati yang
tinggi dan juga bernilai konservasi tinggi. Besarnya persentase tersebut juga menunjukkan komitmen perusahaan kelapa sawit yang ada di Papua untuk
melestarikan keberadaan kawasan yang bernilai konservasi tinggi, flora fauna endemik dan ekosistem yang langka yang ada di Papua Gambar 4.
Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB data diolah
Gambar 4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia Rata-rata luasan HCVA perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan
sebesar 1.480.75 ha dari rata-rata luasan areal perkebunanan kelapa sawit seluas 12.805.87 ha dengan rata-rata persentase HCVA terhadap perkebunan kelapa
sawit sebesar 13.20. Persentase kehilangan areal kebun produktif akibat keberadaan HCVA di pulau Kalimantan sebesar 11.56. Besarnya luasan HCVA
di Kalimantan disebabkan oleh banyaknya aliran anak sungai yang melintasi areal perkebunan dimana memiliki kriteria HCV 4 yaitu kawasan yang menyediakan
jasa-jasa lingkungan alami khususnya HCV 4.1 dan HCV 4.2 yang terkait aliran jasa dan fungsi ekosistem riparian sebagai pengendali tata air seperti banjir,
pencegah erosi dan sedimentasi. Kontribusi utama besarnya HCVA di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan adalah HCV 1 yaitu Kawasan yang mempunyai
tingkat keanekaragaman hayati yang penting dengan kriteria HCV 1.1 dan 1.2.
309.23 1.480.75
4.550.03
Rata-rata Luasan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit ha
Sumatera Kalimantan
Papua
Pulau Sumatera memiliki rata-rata luasan HCVA terkecil yaitu sebesar 309,23 ha atau dengan kata lain 0.07 kali rata-rata luas HCVA pulau Papua Tabel 2.
Komponen utama keberadaan jenis HCV di perusahaan yang tersebar di tiga pulau hasil kajian Tim HCV Fahutan IPB adalah HCV 1.1 dan 1.2 dengan
persentase sebesar 66 atau sebanyak 46 perusahaan dari 70 perusahaan memilikinya, kemudian diikuti oleh HCV 6 sebesar 60 atau sebanyak 42
perusahaan memilikinya. Kriteria HCV 2.1 dan 2.2 tidak ditemukan di semua perusahaan kelapa sawit. Kriteria HCV tersebut menekankan pada keberadaan
bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami dan kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus
berkesinambungan.
Tabel 2. Sebaran HCVA di Indonesia
Sebaran HCVA Sumatera
Kalimantan Papua
Indonesia
Rata-rata luasan HCVA
309.23 ha 1.480,75 ha
4.550,03 ha 1.413,80 ha
Rata-rata luas perkebunan kelapa
sawit 6.867,42 ha
12.805,87 ha 25.808,26 ha
12.978,34 ha Rata-rata
Kehilangan Areal Kebun Akibat
HCVA 4.50
11.56 17.63
10.89 Sumber: Laporan HCV Tim Fahutan IPB data diolah
Keseluruhan data yang ada jika diambil resultannya bisa menujukkan gambaran HCVA perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perhitungan dari 70
laporan kajian HCV Tim Fahutan IPB diperoleh rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia memiliki luasan HCVA sebesar 1.413,80 ha. Rata-rata persentase
HCVA 10.92 dari luas izin perkebunan kelapa sawit dengan rata-rata seluas 12.978,34 ha. Persentase rata-rata kehilangan areal kebun produktif akibat
keberadaan HCVA sebesar 10.89. Luas lahan yang hilang akibat keberadaan HCVA sebesar 98.966.09 ha dengan asumsi semua lahan HCVA tersebut bisa
dikonversi menjadi lahan produktif. Penyesuaian pengurangan areal HCVA berasal dari HCV 4.1, HCV 4.2 dan sebagian HCV 6 karena HCV 6 sebagian
besar berupa tempat yang bernilai budaya tinggi seperti kuburan keramat, danau keramat, bangunan kramat yang umumnya diproteksi secara kuat oleh masyarakat
lokal dimana perusahaan kelapa sawit beroperasi.
Tabel 3 menunjukkan gambaran sebaran luasan HCVA di perkebunan kelapa sawit yang jika dilihat berdasarkan umur kebun menunjukkan data yang
rasional. Kebun-kebun tua dengan menggunakan batasan tahun tanam dibawah tahun 2000 menunjukkan luasan HCVA relatif sangat kecil. Rata-rata luasan
HCVA perkebunan kelapa sawit yang telah dikaji tim HCV Fahutan IPB sebesar 2.12 dari luas total izin perkebunan kelapa sawit. Rata-rata Luas HCVA hanya
sebesar 176.18 ha. Luasan tersebut relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan luas areal perkebunan dengan rata-rata seluas 10.758,44 ha.
Tabel 3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun
Keterangan Total Luas
HCV Ha Izin
Perkebunan Ha
Persentase Luas HCV
Luas Areal Efektif Ha
Kebun Tua Umur Kebun Sebelum
2000 176.18
10.758,44 2.12
10.582,26 Kebun Muda
Umur Kebun Setelah 2000
1.834,18 13.746,79
13.88 11.912,62
Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB data diolah
Kebun baru atau kebun dengan tahun tanam di atas tahun 2000 menunjukkan gambaran luasan yang sangat rasional karena adanya aturan dalam
pembukaan perkebunan baru yang sesuai dengan standar HCV toolkits dan selaras dengan komitmen pembangunan perkebunan kelapa sawit RSPO. Rata-rata luasan
HCVA kebun baru sebesar 1.834,18 ha dengan luas izin perkebunan rata-rata sebesar 13.746,79 ha atau sekitar 13.88 dari luas izin perkebunan, padahal
perbedaan luasan areal kebun baru dan kebun lama tidak terlalu signifikan. Hal ini berarti keberadaan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satunya
mempersyaratkan adanya kajian HCVA memberikan hasil yang optimal untuk meredam laju kehilangan biodiversitas, kerusakan lingkungan dan menjaga aliran
jasa dan fungsi ekosistem yang penting bagi keberlangsungan kehidupan di muka bumi.
2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Enviromental Service PES 2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi
Ekonomi sebagai studi yang mengalokasikan sumberdaya terbatas dan mendasarkan pada valuasi untuk menyediakan informasi bagi masyarakat
mengenai tingkat kelangkaan sumberdaya TEEB 2010. Valuasi ekonomi jasa ekosistem dan biodiversitas dapat dibuat secara eksplisit bagi masyarakat secara
umum dan pembuat kebijakan tertentu. Biodiversitas dan jasa ekosistem yang langka dan degradasinya menimbulkan biaya bagi masyarakat. Biaya ini tidak
dimasukkan sehingga kebijakan akan salah arah dan masyarakat akan menjadi lebih miskin disebabkan alokasi sumberdaya yang tidak terdistribusikan dengan
baik. Valuasi memainkan peranan penting dalam pencipataan pasar untuk konservasi biodiversitas dan jasa ekosistem Engel et al. 2008; Pascual et al.
2010. Ekosistem
dan komponen
penyusunnya termasuk
biodiversitas memberikan aliran manfaat bagi kehidupan manusia melalui penyediaan barang
dan jasa provisioning goods and services, fungsi perlindungan dan pengaturan protecting and regulating function, fungsi estetika dan budaya aesthetical and
cultural function dan fungsi pendukung supporting system yang memungkinkan
fungsi-fungsi lainnya dapat berjalan MEA 2005. Valuasi ekosistem dan biodiversitas diperlukan pemahaman bahwa
keanekaragaman hayati merupakan pondasi dari ekosistem melalui layanan yang diberikan akan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Hal ini termasuk
penyediaan jasa seperti makanan, air, kayu, dan serat; jasa pengaturan seperti pengaturan iklim, banjir, penyakit, limbah, dan air; jasa budaya seperti rekreasi,
kenikmatan estetis, dan pemenuhan spiritual, dan jasa penunjang seperti pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara. Millenium Ecosystem
Assessment MEA menganggap kesejahteraan manusia terdiri dari lima
komponen utama: 1 bahan kebutuhan dasar untuk kehidupan yang baik, 2 kesehatan, 3 hubungan sosial yang baik, 4 keamanan, dan 5 kebebasan
pilihan dan tindakan. Kesejahteraan manusia adalah hasil dari banyak faktor, baik bersifat langsung atau tidak langsung terkait dengan keanekaragaman hayati
MEA 2005. Perhatian mengenai nilai manfaat kawasan ekosistem dan biodiversitas
yang ada di dalamnya, serta adanya potensi kehilangannya telah mendorong ahli ekonomi untuk mengembangkan kerangka kerja untuk menganalisis faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan penurunan aliran manfaat yang