Berdasarkan data pada Tabel 16 terlihat bahwa BPP pada tahun 2008 sebesar Rp 5 190 per kg namun HPP yang diterapkan pemerintah hanya sebesar
Rp 5 000 per kg. Selama lima tahun terakhir, BPP dan HPP cenderung mengalami peningkatan namun harga lelang dan harga tingkat konsumen berfluktuasi. Pada
tahun 2011, harga lelang dan harga tingkat konsumen mengalami penurunan harga.
Rata-rata harga gula tingkat konsumen di dalam negeri pada tahun 1997 sebesar Rp 1 125 per kg dan mengalami peningkatan pada tahun 1998 menjadi
Rp 2 225 per kg. Pertumbuhan harga gula tingkat konsumen pada tahun 1997- 1998 mencapai 97.75 persen. Pada tahun 1998 ini terjadi kenaikan harga gula
tingkat konsumen tertinggi yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang diikuti dengan melemahnya nilai tukar rupiah Billah, 2013.
Tabel 19. Perkembangan Harga Gula Tingkat Konsumen di Indonesia Tahun 2008 - 2012
Tahun Harga RpKg
Pertumbuhan
2008 6182
- 2009
8205 32.72
2010 10486
27.80 2011
9981 -4.82
2012 11513
15.35
Rata - rata 17.76
Sumber : Dewan Gula Indonesia 2013 diolah
Berdasarkan data pada Tabel 17, rata-rata laju pertumbuhan harga gula tingkat konsumen selama periode 2008-2012 sebesar 17.76 persen. Perkembangan
harga gula tingkat konsumen dalam periode lima tahun terakhir berfluktuatif dengan kecenderungan meningkat dimana terjadi peningkatan yang cukup tajam
pada tahun 2008-2009 dengan peningkatan sebesar 32.72 persen.
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN HARGA GULA DI INDONESIA
6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model
Model ekonometrika perdagangan gula dalam penelitian ini merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 20 persamaan, terdiri dari 13
persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas. Hasil estimasi model dalam penelitian ini dihasilkan melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang
digunakan adalah data time series tahunan dengan periode pengamatan dari tahun 1990 sampai dengan 2012.
Secara keseluruhan estimasi model yang dilakukan menunjukkan hasil yang cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi kesesuaian tanda, kriteria statistik,
dan kriteria ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonomi, setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tanda sesuai hipotesis dan logis dari
sudut pandang ekonomi. Berdasarkan kriteria statistik, nilai koefisien determinasi R
2
secara umum cukup tinggi. Sebagian besar 90 persen persamaan struktural memiliki nilai koefisien determinasi R
2
di atas 50.00 persen dan hanya satu persamaan yang memilki nilai koefisien determinasi R
2
di bawah 50.00 persen yaitu dengan nilai 38.603 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
masing-masing keragaman variabel endogen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural.
Berdasarkan uji statistik-F diperoleh hasil bahwa seluruh persamaan struktural memiliki p-value uji statistik-
F kurang dari α sebesar 15 persen yang berarti variabel penjelas dalam tiap persamaan struktural secara bersama-sama
mampu menjelaskan dengan baik variabel endogennya. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa dengan pengujian satu arah secara individual ada beberapa
variabel penjelas yang tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf α sebesar 15 persen, namun yang diutamakan dalam penelitian ini
adalah kelogisan serta kesesuaian tanda dan besaran dengan kriteria ekonomi.
6.1.1. Hasil Uji Autocorrelation
Pendeteksian masalah autocorrelation pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan statistik DW dan statistik Durbin-h. Nilai statistik DW yang
diperoleh pada persamaan luas areal perkebunan tebu rakyat, produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta, permintaan gula rumahtangga, dan volume impor
gula adalah sebesar 1.5848, 2.1362, 2.6493, dan 1.9906. Hasil nilai tersebut menunjukkan bahwa persamaan produktivitas gula hablur perkebunan besar
swasta dan volume impor gula tidak mengalami masalah autocorrelation. Hasil nilai statistik DW persamaan luas areal perkebunan tebu rakyat dan permintaan
gula rumahtangga menunjukkan bahwa masalah autocorrelation pada kedua persamaan tersebut tidak dapat disimpulkan Pindyck dan Rubinfeld, 1998.
Nilai statistik Durbin-h yang diperoleh pada persamaan luas areal perkebunan tebu negara, luas areal perkebunan tebu swasta, produktivitas gula
hablur perkebunan rakyat, harga riil gula impor, harga riil gula di tingkat pedagang besar, dan harga riil gula di tingkat petani adalah sebesar -3.3934, -
1.5138, 0.3398, 0.8131, 0.8904, dan -0.0932. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa persamaan luas areal perkebunan tebu swasta, produktivitas
gula hablur perkebunan rakyat, harga riil gula impor, harga riil gula di tingkat pedagang besar, dan harga riil gula di tingkat petani tidak mengalami masalah
autocorrelation , sedangkan hasil nilai statistik Durbin-h persamaan luas areal
perkebunan tebu negara menunjukkan bahwa terdapat masalah autocorrelation pada persamaan tersebut. Nilai statistik Durbin-h pada persamaan produktivitas
gula hablur perkebunan besar negara, permintaan gula industri, dan harga riil gula di tingkat konsumen tidak dapat dideteksi karena syaratnya tidak terpenuhi. Syarat
yang dimaksud adalah hasil kali banyaknya contoh pengamatan T dengan kuadrat dari stand
ar error koefisien “lagged endogenous variable” var harus lebih kecil dari satu, sedangkan hasil yang diperoleh pada ketiga model tersebut
adalah lebih besar dari satu. Hal ini mengindikasikan beberapa persamaan tidak dapat disimpulkan masalah autocorrelation. Pindyck dan Rubinfeld 1998
menjelaskan bahwa masalah autokorelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan tidak menimbulkan bias estimasi parameter regressi.
6.1.2. Hasi Uji Multicollinearity
Masalah multicollineariy dalam model diidentifikasi dengan melihat nilai VIF. Nilai VIF diperoleh dari hasil output regresi menggunakan SASETS.
Sebagian besar variabel penjelas yang terdapat dalam masing-masing persamaan