Ringkasan Dampak Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula

Penerapan kebijakan penurunan tarif impor gula menjadi 5 persen meningkatkan surplus konsumen rumahtangga dan industri masing-masing sebesar Rp 173.457 milyar dan Rp 50.746 milyar. Peningkatan surplus konsumen disebabkan oleh penurunan harga riil gula di tingkat konsumen dan pedagang besar. Di sisi lain, penurunan harga riil gula membuat surplus produsen perkebunan tebu rakyat, negara, dan swasta mengalami penurunan masing-masing sebesar Rp 28.758 milyar, Rp 10.784 milyar, dan Rp 38.962 milyar. Penurunan tarif impor menjadi 5 persen menyebabkan penerimaan pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 478.310 milyar. Penerapan kebijakan penurunan tarif impor gula menjadi 5 persen tidak efisien karena kerugian yang diterima produsen dan turunnya penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh konsumen. Hal ini dapat dilihat dari nilai net surplus yang negatif sebesar Rp 332.611 milyar. Kebijakan penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen memberi keuntungan bagi konsumen gula domestik akibat terjadinya penurunan harga riil gula di tingkat konsumen dan pedagang besar sehingga surplus konsumen gula rumahtangga dan industri mengalami peningkatan masing-masing sebesar Rp 215.675 milyar dan Rp 62.992 milyar. Bagi produsen, penurunan harga riil gula menyebabkan surplus produsen perkebunan tebu rakyat, negara, dan swasta mengalami penurunan dengan masing-masing penurunan surplus sebesar Rp 356.789 milyar, Rp 13.382 milyar, dan Rp 48.409 milyar. Penerimaan pemerintah juga mengalami penurunan sebesar Rp 811.457 milyar. Hal ini disebabkan oleh tarif impor gula yang telah dihapuskan, sehingga tidak ada penerimaan bagi pemerintah dari penerapan tarif impor gula. Kebijakan penghapusan tarif impor gula belum efisien untuk diterapkan di Indonesia karena keuntungan yang diterima konsumen belum mampu menutupi kerugian yang diterima oleh produsen dan pemerintah, sehingga net surplus bernilai negatif sebesar Rp 630.259 milyar. Peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen memberi keuntungan bagi produsen gula perkebunan rakyat, sehingga surplus produsen perkebunan tebu rakyat meningkat sebesar Rp 1778.830 milyar. Peningkatan harga gula di tingkat petani menjadi insentif bagi produsen perkebunan tebu rakyat untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi gula mengakibatkan penawaran gula domestik meningkat, sehingga harga riil gula di tingkat konsumen dan pedagang besar mengalami penurunan. Penurunan harga riil gula di tingkat konsumen dan pedagang besar memberi keuntungan bagi konsumen sehingga surplus konsumen rumahtangga dan industri meningkat masing-masing sebesar Rp 39.581 milyar dan Rp 11.526 milyar. Sebaliknya, penurunan harga riil gula di tingkat konsumen dan pedagang besar membuat surplus produsen perkebunan tebu negara dan swasta menurun dengan penurunan surplus masing-masing sebesar Rp 2.452 milyar dan Rp 8.912 milyar, namun kerugian produsen perkebunan tebu negara dan swasta ini dapat ditutupi oleh keuntungan produsen perkebunan tebu rakyat sehingga total surplus produsen bernilai positif. Penerimaan pemerintah dalam kebijakan ini meningkat sebesar Rp 0.716 milyar. Kebijakan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen berdampak positif bagi produsen, konsumen, dan penerimaan pemerintah sehingga kebijakan tersebut dikatakan efisien dengan nilai net surplus sebesar Rp 1819.290 milyar. Peningkatan stok gula sebesar 20 persen mengakibatkan harga riil gula di tingkat konsumen, pedagang besar, dan petani mengalami penurunan. Penurunan harga riil gula menyebabkan surplus produsen perkebunan tebu rakyat, negara, dan swasta menurun masing-masing sebesar Rp 6.550 milyar, Rp 2.464 milyar, dan Rp 9.027 milyar. Sebaliknya, surplus konsumen rumahtangga dan industri mengalami peningkatan masing-masing sebesar Rp 40.092 milyar dan Rp 11.579 milyar. Penerimaan pemerintah dalam kebijakan ini meningkat sebesar Rp 0.722 milyar. Kebijakan peningkatan stok gula sebesar 20 persen masih efisien karena kerugian yang diterima produsen dapat ditutupi oleh keuntungan yang diperoleh konsumen serta tambahan penerimaan pemerintah. Hal ini terlihat dari nilai net surplus sebesar Rp 34.352 milyar. Kombinasi penurunan tarif impor gula menjadi 10 persen dan peningkatan stok gula sebesar 20 persen meningkatkan surplus konsumen rumahtangga dan industri masing-masing sebesar Rp 171.574 milyar dan Rp 50.087 milyar. Di sisi produsen, kombinasi tersebut menyebabkan penurunan surplus produsen perkebunan tebu rakyat, negara, dan swasta masing-masing sebesar Rp 28.373 milyar, Rp 10.644 milyar, dan Rp 38.540 milyar. Sementara itu penerimaan pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 188.765 milyar. Kombinasi penurunan tarif impor gula menjadi 10 persen dan peningkatan stok gula sebesar 20 persen dikatakan tidak efisien karena kerugian yang diterima produsen dan turunnya penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh konsumen, terlihat dari nilai net surplus yang negatif sebesar Rp 44.662 milyar. Kombinasi penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen dan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen meningkatkan surplus produsen perkebunan tebu rakyat sebesar Rp 1778.830 milyar, sedangkan surplus produsen perkebunan tebu negara dan swasta mengalami penurunan masing- masing sebesar Rp 15.886 milyar dan Rp 57.537 milyar. Penurunan surplus produsen perkebunan tebu negara dan swasta ini dapat ditutupi oleh peningkatan surplus produsen perkebunan tebu rakyat, sehingga total surplus produsen mengalami peningkatan sebesar Rp 1705.408 milyar. Di sisi konsumen, kombinasi tersebut meningkatkan surplus konsumen rumahtangga dan industri masing-masing sebesar Rp 256.529 milyar dan Rp 74.804 milyar. Sementara itu penerimaan pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 811.457 milyar. Secara nasional, kombinasi kebijakan tersebut efisien untuk diterapkan di Indonesia karena net surplus bernilai positif sebesar Rp 1225.284 milyar. Kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan produsen terbesar adalah kebijakan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen dan kebijakan yang menurunkan kesejahteraan produsen terbesar adalah kebijakan penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen. Kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan konsumen terbesar adalah kombinasi penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen dan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen, serta kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan konsumen terkecil adalah kebijakan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen. Kebijakan yang meningkatkan penerimaan pemerintah terbesar adalah kebijakan peningkatan stok gula sebesar 20 persen dan kebijakan yang menurunkan penerimaan pemerintah terbesar adalah kebijakan penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen serta kombinasi penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen dan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa kebijakan yang cenderung berpihak pada produsen gula adalah peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen serta kombinasi penghapusan tarif impor gula menjadi nol persen dan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen. Kebijakan yang berpihak terhadap produsen gula cenderung menguntungkan secara nasional dan efisien karena tidak hanya meningkatkan surplus produsen, tetapi juga meningkatkan surplus konsumen. Penurunan penerimaan pemerintah dapat ditutupi oleh kelebihan surplus produsen dan konsumen. Kebijakan yang cenderung berpihak kepada konsumen gula cenderung menurunkan kesejahteraan nasional. Besarnya surplus konsumen gula belum mampu menutupi kerugian yang diterima oleh produsen dan penurunan penerimaan pemerintah, kecuali kebijakan peningkatan stok gula sebesar 20 persen. Alternatif kebijakan yang paling efisien adalah kebijakan peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen karena kebijakan ini menghasilkan net surplus terbesar dibandingkan dengan alternatif kebijakan lainnya.