Simulasi Model Kebijakan METODE PENELITIAN

dikarenakan Jawa Timur merupakan provinsi dengan areal perkebunan tebu yang terluas di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2013, pada tahun 2012 luas areal perkebunan tebu yang berada di Provinsi Jawa Timur sebesar 44.72 persen dari total luas areal perkebunan tebu Indonesia. Provinsi Lampung merupakan sentra produksi di wilayah Sumatera dengan kontribusi terhadap produksi gula hablur nasional sebesar 30.25 persen dan menempati posisi kedua nasional. Luas areal perkebunan tebu di provinsi Lampung sebesar 25 persen dari total luas areal perkebunan tebu Indonesia Badan Pusat Statistik, 2013. Pada musim giling 2013, kinerja industri gula nasional dari 62 pabrik gula berbasis tebu secara kumulatif tercatat sebagai berikut : areal ditebang 469 228.2 Ha, produksi tebu 35 526 070 ton, rendemen 7.18 persen, dan produksi gula hablur 2 551 024 ton. Perkembangan kinerja secara kumulatif bulanan dari Januari hingga Desember 2013 disajikan pada Tabel 9. Tabel 10. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu di Indonesia Tahun 2013 No. Bulan Areal Tebang Ha Produksi Tebu Ton Rendemen Produksi Gula Hablur Ton 1. Januari - - - - 2. Februari 1 147 74 521 6.24 4 648 3. Maret 3 770 243 482 6.59 16 050 4. April 18 230 1 154 741 7.54 87 020 5. Mei 53 060 3 603 587 7.67 276 526 6. Juni 118 002 8 704 453 7.36 640 809 7. Juli 193 777 14 577 901 7.18 1 046 521 8. Agustus 249 906 19 038 355 7.08 1 347 799 9. September 330 406 24 946 709 7.25 1 808 807 10. Oktober 407 173 31 060 637 7.18 2 229 047 11. November 455 909 35 291 521 7.72 2 480 262 12. Desember 469 228 35 526 070 7.18 2 551 024 Sumber : Nusantara Sugar Club 2014 Pada Tabel 9, kinerja industri gula setiap bulan merupakan kumulatif dari bulan sebelumnya. Berdasarkan data Nusantara Sugar Club 2014, pada akhir Desember 2013, areal tebu yang ditebang sebanyak 469 228 Ha dengan rincian 298 254 Ha 63.56 persen milik BUMN dan sisanya 170 975 Ha 36.44 persen milik BUMS. Produksi gula yang dihasilkan sebanyak 2 551 024 ton dengan rincian 1 538 432 ton 60.30 persen milik BUMN dan sisanya 1 012 592 ton 39.70 persen milik BUMS. Berdasarkan keragaan industri gula nasional, gambaran kinerja industri gula berbahan baku tebu dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 11. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu di Indonesia Tahun 2009 - 2013 No. Tahun Areal Tebang Ha Produksi Tebu Ton Rendemen Produksi Gula Hablur Ton 1. 2009 422 867 30 256 778 7.60 2 333 885 2. 2010 436 570 34 216 550 6.47 2 288 735 3. 2011 434 962 30 323 228 7.35 2 244 154 4. 2012 453 421 31 888 928 8.13 2 600 352 5. 2013 469 228 35 526 070 7.18 2 551 024 Sumber : Nusantara Sugar Club 2014 Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai rendemen sangat penting dalam menghasilkan gula. Pada tahun 2012 produksi tebu lebih rendah dibanding tahun 2013, tetapi dengan rendemen sebesar 8.13 persen menghasilkan gula hablur yang lebih tinggi. Berdasarkan kajian Nusantara Sugar Club 2014, bila rendemen nasional 2013 dapat ditingkatkan 1 persen menjadi 8.18 persen, maka produksi gula akan mencapai 2.90 juta ton atau naik 345 000 ton atau setara hasil 3 tiga pabrik gula berkapasitas 10 000 TCD. Pabrik gula di Indonesia tidak hanya memproduksi gula berbahan baku tebu, tetapi juga memproduksi gula berbahan baku raw sugar. Gula berbahan baku tebu dikenal dengan nama gula kristal putih, sedangkan gula berbahan baku raw sugar dikenal dengan nama gula kristal rafinasi. Gula kristal rafinasi diproduksi di Indonesia sejak tahun 2003. Perkembangan produksi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 12. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2008 – 2012 Tahun Gula Kristal Putih Hablur Gula Kristal Rafinasi Produksi Ton Pertumbuhan Produksi Ton Pertumbuhan 2008 2 551 513 - 1 256 435 - 2009 2 333 885 -8.53 2 031 843 61.71 2010 2 288 735 -1.93 2 356 805 15.99 2011 2 244 154 -1.95 2 192 109 -6.99 2012 2 600 352 15.87 2 480 244 13.14 Sumber : Dewan Gula Indonesia 2013 diolah Berdasarkan data pada Tabel 11, produksi gula kristal putih mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan produksi gula kristal rafinasi. Gula kristal putih terus mengalami penurunan produksi pada tahun 2008 hingga 2011 kemudian mengalami kenaikan produksi pada tahun 2012. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu turun sebesar 8.53 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan gula kristal rafinasi yang mengalami kenaikan produksi terbesar pada tahun 2009 yaitu sebesar 61.71 persen.

5.2. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia

Gula merupakan salah satu komoditas yang cukup strategis dan memegang peranan penting di sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional karena selain sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, gula juga berfungsi sebagai bahan pangan sumber kalori yang relatif murah. Gula yang merupakan salah satu bahan pangan pokok selalu mengalami peningkatan konsumsi dari tahun ke tahun. Ketergantungan konsumen terhadap konsumsi gula cukup besar karena kecilnya kecenderungan untuk mensubstitusikan gula dengan gula buatan atau pemanis lain. Permintaan gula secara nasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman Billah, 2013. Indonesia merupakan negara yang masih menganut dualisme gula, dimana konsumsi gula di Indonesia dibedakan berdasarkan penggunaannya yaitu konsumsi gula langsung atau rumahtangga dan konsumsi gula industri. Gula kristal putih adalah gula yang ditujukan untuk konsumen rumahtangga, sedangkan gula kristal rafinasi tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi rumahtangga dan hanya sektor industri yang mempergunakan gula jenis ini Rahman, 2013. Tabel 13. Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008 - 2012 Tahun Konsumsi Equivalen Penyaluran 000 Ton Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi Jumlah 2008 2 605 1 673 4 278 2009 3 012 2 271 5 283 2010 2 288 2 673 4 961 2011 2 769 2 406 5 175 2012 2 735 2 623 5 358 Sumber : Dewan Gula Indonesia 2013 Secara umum, angka-angka konsumsi gula tidak dimonitor secara khusus seperti produksi, impor, stok, dan penyaluran. Oleh karena hal tersebut, maka perhitungan konsumsi didekati dari angka penyaluran Nusantara Sugar Club, 2014. Berdasarkan neraca konsumsi gula di Indonesia pada Tabel 12, konsumsi gula mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2010. Konsumsi gula secara nasional dari pendekatan distribusi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 4.278 juta ton pada tahun 2008 menjadi 5.358 juta ton pada tahun 2013. Konsumsi gula kristal putih mengalami fluktuasi setiap tahunnya, sedangkan konsumsi gula kristal rafinasi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Rahman 2013, pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi yang lebih tinggi dibanding gula kristal putih ini disebabkan oleh peningkatan produksi nasional gula kristal rafinasi yang lebih tinggi dibanding produksi nasional gula kristal putih.

5.3. Neraca Perdagangan Gula Indonesia

Kinerja perdagangan gula pada skala internasional didekati dari neraca perdagangan gula yang merupakan selisih antara ekspor dan impornya. Ekspor dan impor gula dilakukan dalam bentuk molases, raw sugar, dan turunan produk gula lainnya yang merupakan wujud manufaktur. Perkembangan neraca perdagangan gula selama lima tahun terakhir yaitu tahun 2008-2012 menunjukkan posisi defisit yang berarti volume dan nilai impor gula lebih besar dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya. Perkembangan neraca perdagangan gula dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 14. Neraca Perdagangan Gula Indonesia Tahun 2008 – 2012 Tahun Ekspor Impor Neraca Perdagangan Volume Ton Nilai 000 US Volume Ton Nilai 000 US Volume Ton Nilai 000 US 2008 1 543 754 983 944 352 385 -982 401 -351 631 2009 750 644 1 373 527 567 034 -1 372 777 -566 390 2010 581 866 1 382 525 803 114 -1 381 944 -802 248 2011 686 788 2 371 250 1 638 729 -2 370 564 -1 637 941 2012 487 818 2 743 778 1 618 307 -2 743 291 -1 617 489 Pertumbuhan Rata – rata -21.22 3.67 31.87 51.34 31.92 51.41 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 diolah Berdasarkan data pada Tabel 13, defisit neraca perdagangan gula cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun terutama pada tahun 2011 dan 2012. Hal ini diduga karena produksi pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2010 dan 2011 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Billah, 2013. Defisit neraca perdagangan dari sisi volume naik sebesar 31.92 persen dimana pertumbuhan volume ekspornya turun sebesar 21.22 persen per tahun sedangkan volume impornya naik sebesar 31.87 persen per tahun. Peningkatan volume impor