Perkembangan Produksi Gula di Indonesia

yang cukup signifikan yaitu dari 4.278 juta ton pada tahun 2008 menjadi 5.358 juta ton pada tahun 2013. Konsumsi gula kristal putih mengalami fluktuasi setiap tahunnya, sedangkan konsumsi gula kristal rafinasi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Rahman 2013, pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi yang lebih tinggi dibanding gula kristal putih ini disebabkan oleh peningkatan produksi nasional gula kristal rafinasi yang lebih tinggi dibanding produksi nasional gula kristal putih.

5.3. Neraca Perdagangan Gula Indonesia

Kinerja perdagangan gula pada skala internasional didekati dari neraca perdagangan gula yang merupakan selisih antara ekspor dan impornya. Ekspor dan impor gula dilakukan dalam bentuk molases, raw sugar, dan turunan produk gula lainnya yang merupakan wujud manufaktur. Perkembangan neraca perdagangan gula selama lima tahun terakhir yaitu tahun 2008-2012 menunjukkan posisi defisit yang berarti volume dan nilai impor gula lebih besar dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya. Perkembangan neraca perdagangan gula dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 14. Neraca Perdagangan Gula Indonesia Tahun 2008 – 2012 Tahun Ekspor Impor Neraca Perdagangan Volume Ton Nilai 000 US Volume Ton Nilai 000 US Volume Ton Nilai 000 US 2008 1 543 754 983 944 352 385 -982 401 -351 631 2009 750 644 1 373 527 567 034 -1 372 777 -566 390 2010 581 866 1 382 525 803 114 -1 381 944 -802 248 2011 686 788 2 371 250 1 638 729 -2 370 564 -1 637 941 2012 487 818 2 743 778 1 618 307 -2 743 291 -1 617 489 Pertumbuhan Rata – rata -21.22 3.67 31.87 51.34 31.92 51.41 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 diolah Berdasarkan data pada Tabel 13, defisit neraca perdagangan gula cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun terutama pada tahun 2011 dan 2012. Hal ini diduga karena produksi pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2010 dan 2011 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Billah, 2013. Defisit neraca perdagangan dari sisi volume naik sebesar 31.92 persen dimana pertumbuhan volume ekspornya turun sebesar 21.22 persen per tahun sedangkan volume impornya naik sebesar 31.87 persen per tahun. Peningkatan volume impor pada tahun 2011 dan 2012 mengakibatkan rata-rata peningkatan defisit volume perdagangan menjadi tinggi. Defisit neraca perdagangan dari sisi nilai juga semakin meningkat dengan rata-rata kenaikan sebesar 51.41 persen per tahun dimana kenaikan nilai ekspor hanya sebesar 3.67 persen per tahun dibanding peningkatan nilai impor sebesar 51.34 persen per tahun. Defisit neraca perdagangan gula terbesar pada periode tahun 2008-2012 terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai US 1.64 milyar. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya volume impor tahun 2011 yang mencapai 2.37 juta ton dengan nilai impor US 1.64 milyar. Guna menganalisis daya saing komoditas gula tebu Indonesia di pasar dunia, dapat digunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan ISP. Berdasarkan data nilai ekspor dan impor gula tebu Indonesia, dapat diperoleh Indeks Spesialisasi Perdagangan ISP yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 15. Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 No. Uraian Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 1. Ekspor – Impor -351 631 -566 390 -802 248 -1 637 941 -1 617 489 2. Ekpor + Impor 353 139 567 678 803 980 1 639 517 1 619 125 ISP -0.99 -0.99 -0.99 -0.99 -0.99 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 diolah Berdasarkan pada Tabel 14, komoditas gula tebu Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia selama periode tahun 2008-2012 atau Indonesia masuk sebagai negara pengimpor gula tebu. Hal ini diindikasikan dengan nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan ISP gula tebu yang bernilai negatif. Berdasarkan tingkat pertumbuhannya dalam perdagangan, komoditas gula tebu Indonesia telah mencapai tahap pengimpor dimana penawaran gula tebu di pasar domestik lebih kecil dibandingkan permintaan gula tebu dari produksi domestik yang masih dalam skala kecil sehingga Indonesia memerlukan impor gula tebu. Nilai ISP yang rendah mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang lemah untuk komoditas gula tebu Billah, 2013. Selain Indeks Spesialisasi Perdagangan ISP, terdapat juga Import Dependency Ratio IDR dan Self Sufficiency Ratio SSR yang digunakan untuk menganalisis suatu komoditas bergantung pada impor atau telah dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Nilai Import Dependency Ratio IDR dan Self Sufficiency Ratio SSR dapat dilihat dalam Tabel 15. Tabel 16. Nilai Import Dependency Ratio dan Self Sufficiency Ratio Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008 - 2012 No. Uraian Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 1. Produksi Ton 2 551 513 2 333 885 2 288 735 2 244 154 2 600 352 2. Ekspor Ton 1 543 750 581 686 487 3. Impor Ton 983 944 1 373 527 1 382 525 2 371 250 2 743 778 4. Produksi + Impor - Ekspor 3 533 914 3 706 662 3 670 679 4 614 718 5 343 643 IDR

27.84 37.06

37.66 51.38

51.35 SSR

72.20 62.96

62.35 48.63

48.66 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2013 diolah Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula pada tahun pada tahun 2008-2012 ditunjukkan dari nilai Import Dependency Ratio IDR gula yang berkisar antara 27.84 persen hingga 51.38 persen. Nilai IDR pada tahun 2008 sebesar 27.84 persen menunjukkan bahwa 27.84 persen kebutuhan gula dalam negeri dipenuhi oleh impor. Pada tahun-tahun berikutnya nilai IDR cenderung meningkat hingga mencapai 51.38 persen. Pada tahun 2012, nilai IDR menurun dibandingkan tahun 2011 menjadi 51.35 persen yang berarti ketergantungan pada impor tetap terjadi namun menurun. Ketergantungan pada impor tetap terjadi karena produksi gula dalam negeri masih belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2008, nilai Self Sufficiency Ratio SSR komoditas gula tebu Indonesia mencapai 72.20 persen yang mengindikasikan bahwa produksi nasional sudah mampu memenuhi kebutuhan nasional sebesar 72.20 persen. Sementara pada tahun 2011 nilai SSR Indonesia sebesar 48.63 persen yang berarti bahwa produksi nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar domestik sebesar 48.63 persen. Indonesia merupakan negara net importir gula. Indonesia mengimpor gula dari beberapa negara, baik negara ASEAN maupun negara lainnya. Volume dan nilai impor gula Indonesia menurut negara asal disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Impor Gula Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2012 No. Negara Asal Total Share Volume Ton Nilai 000 US Volume Nilai 1 Thailand 1 444 049 869 793 52.63 53.75 2 Brazil 984 568 548 281 35.88 33.88 3 Australia 230 294 143 560 8.39 8.87 4 Afrika Selatan 54 000 35 642 1.97 2.20 5 Filipina 12 854 7 505 0.47 0.46 6 Lainnya 18 013 13 526 0.66 0.84 Jumlah 2 743 778 1 618 307 100.00 100.00 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 diolah Berdasarkan data pada Tabel 17, impor gula Indonesia mayoritas berasal dari negara anggota ASEAN, yakni Thailand dengan share volume sebesar 52.63 persen dan nilai sebesar 53.75 persen. Brazil menduduki peringkat kedua terbesar yang melakukan ekspor gula ke Indonesia dengan share volume sebesar 35.88 persen dan nilai sebesar 33.88 persen. Brazil juga merupakan negara produsen gula tebesar di dunia dengan produksi sebesar 73 400 600 ton pada tahun 2011 Badan Pusat Statistik, 2013.

5.4. Perkembangan Harga Gula di Indonesia

Selama lima tahun terakhir 2008-2012 biaya pokok produksi BPP gula telah meningkat dari Rp 5 190 per kg pada tahun 2008 menjadi Rp 7 900 per kg pada tahun 2012 dan harga pokok penjualan HPP ditetapkan 10 persen di atas biaya pokok produksi BPP. Harga pokok penjualan HPP adalah nilai keuntungan bagi petani dan pajak penjualan bagi perusahaan. Namun HPP ini tidak diikuti oleh pemerintah secara utuh karena untuk menjaga agar harga tingkat konsumen tidak memberatkan konsumen Nusantara Sugar Club, 2014. Tabel 18. Perkembangan Biaya Pokok Produksi, Harga Pokok Penjualan, dan Harga Gula di Indonesia Tahun 2008 - 2012 Tahun Biaya Pokok Produksi RpKg Harga Pokok Penjualan RpKg Harga Lelang RpKg Harga Tingkat konsumen RpKg 2008 5 190 5 000 5 262 6 182 2009 5 100 5 350 7 056 8 205 2010 6 250 6 350 8 478 10 486 2011 6 891 7 000 8 191 9 981 2012 7 900 8 100 9 707 11 513 Sumber : Dewan Gula Indonesia 2013