Kesantunan Ketidaksantunan Fenomena Pragmatik

1 menunjuk waktu dengan deiksis temporal ‘sekarang’, ‘kemudian’. Untuk menafsirkan deiksis-deiksis itu, semua ungkapan bergantung pada penafsiran penutur dan pendengar dalam konteks yang sama. Jelas sekali bahwa deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis’dekat penutur’ dan ‘jauh dari penutur’.

2.3.5 Kesantunan

Fenomena kelima yang dikaji oleh pragmatik adalah kesantunan. Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Melalui bahasa pula, orang lain dapat menilai harkat dan martabat seseorang. Seseorang yang mampu berbahasa secara santun menunjukkan kepribadiannya yang santun pula. Inilah mengapa, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu hal penting pula dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penuturpenulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Ketika menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, penutur harus memperhatikan kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan Pranowo, 2009:4−5. 1 Pranowo 2009:14−15 juga menyebutkan tiga alasan berbahasa secara santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud yang diampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain orang ketiga yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.

2.3.6 Ketidaksantunan

Dalam perkembangan pragmatik, kelima fenomena yang telah dipaparkan di atas ternyata kurang menjawab semua permasalahan bahasa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Terdapat fenomena baru yang perlu dikaji secara mendalam di dalam kajian pragmatik. Fenomena baru ini muncul berdasarkan konteks dan lingkungan penutur yang selalu berkembang. Fenomena baru yang muncul seiring perkembangan kajian pragmatik ini adalah ketidaksantunan berbahasa. Tidak jauh berbeda dengan kelima fenomena yang telah dikaji secara mendalam sebelumnya, ketidaksantunan tentulah tidak lepas dari konteks. Ketidaksantunan berbahasa muncul dengan melihat realita di masyarakat bahwa berbahasa secara santun masih jauh dari harapan. Penggunaan bahasa yang santun tampaknya kurang mendapat perhatian. Banyak individu yang merupakan bagian dari masyarakat tidak mengindahkan pentingnya berbahasa secara santun. Padahal, untuk dapat berkomunikasi dengan lancar, seseorang tidak hanya dituntut 1 mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi juga harus mampu berbahasa secara santun. Pranowo 2009:72−73 menyebutkan empat faktor yang menyebabkan adanya ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Kedua, faktor pemerolehan bahasa. Kebanyakan kesantunan berbahasa Indonesia masyarakat Indonesia dikuasai secara alamiah. Mereka berbahasa secara santun, tetapi tidak dapat menjelaskan kaidah kesantunan apa yang digunakan. Ketiga, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru berbahasa Indonesia interferensi. Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak santun di hadapan publik. Pranowo 2009:68−71 menunjukkan beberapa fakta dalam berkomunikasi yang tidak santun. Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur. Selain itu, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya ketika bertutur. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Fakta lain, dapat pula penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya. Tuturan menjadi tidak santun dengan fakta jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur. 1

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan