Tuturan dikatakan penutur untuk menanggapi dengan kesal tuturan mitra tutur yang menyuruh penutur belajar yang terjadi pada malam hari ketika mitra
tutur tengah asyik menonton televisi di ruang tengah. Tindak verbal dari tuturan A1 ini adalah ekspresif. Penutur mengekspresikan penolakannya terhadap
perintah mitra tutur yang menyuruhnya untuk belajar. Karena tersinggung atas tuturan penutur, tindak perlokusi yang ditunjukkan mitra tutur hanya diam, mitra
tutur tidak merespon tuturan penutur lagi. Konteks di atas memperjelas akan situasi terjadinya tuturan yang tidak santun.
Dilihat dari konteks tuturan tersebutlah, tuturan A1 termasuk dalam subkategori menolak. Penutur menolak untuk untuk belajar sesuai aturan yang
telah disepakati keluarga. Tetapi sebenarnya, penutur ketika mengutarakan tuturan A1 bermaksud menunda belajar karena ia masih ingin menonton televisi,
meskipun ia tahu waktu telah menunjukkan pukul 20.00 WIB dan memasuki jam belajar keluarga. Tuturannya menyiratkan suatu penundaan terhadap aktivitas
belajar yang telah menjadi jadwal rutin atau kesepakatan dalam keluarga.
4.3.1.2 Subkategori Menentang
Tuturan A3 : “Bentar lagi ya, Bu, wong masih jam segini kok”
Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur dan MT sedang berada di ruang keluarga. Penutur sedang menonton televisi. MT menyuruh penutur
untuk belajar karena sudah pukul 20.00 WIB, waktu belajar keluarga.
Tuturan A4 : “Halah, ora sinau, aku yo iso kok.” Halah, gak belajar, aku
bisa kok. Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur dan MT berada di ruang
keluarga sedang menonton televisi. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, waktu belajar yang sudah ditetapkan dalam keluarga. MT menyuruh
penutur untuk belajar dulu. Penutur merasa dirinya sudah pandai, oleh
karenanya ia tidak mau belajar. Penutur menjawab dengan kesal karena merasa dirinya diatur-atur.
Tuturan A3 yang secara berwujud “Bentar lagi ya, Bu, wong masih jam segini kok” dan tuturan A4 yang berwujud “Halah, ora sinau, aku yo iso kok.”
dikatakan oleh penutur dengan ketus tanpa melihat ke arah mitra tutur. Kedua hal tersebut menunjukkan ketidaksopanan penutur kepada mitra tutur. Apalagi
penutur sedang berbicara dengan mitra tutur yang lebih tua darinya yang tidak lain adalah ibunya. Penutur telah melakukan kesalahan dengan tidak menaati peraturan
yang telah disepakati dalam keluarga, tetapi ketika mendapat teguran dari mitra tutur, justru cara yang menyinggung mitra tuturlah yang digunakan penutur untuk
menjawab teguran mitra tutur. Tuturan tersbebut dikatakan dengan sinis, yaitu tuturan A3 dan A4. Sikap sinis itu menambah kesan tidak santun dari penutur.
Diksi yang digunakan dalam kedua tuturan tersebut adalah bahasa nonstandar. Tuturan A4 menggunakan bahasa nonstandar dengan bahasa Jawa
sebagai dialek masyarakat Jawa dalam interaksi sehari-hari. Sedangkan, tuturan A3 menggunakan bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat bahasa nonstandar
kata tidak baku bentar, masih, dan segini. Selain kata tidak baku, dalam tuturan A3 juga terselip istilah bahasa Jawa wong yang dalam bahasa Indonesia berarti
‘orang’, tetapi ‘orang’ di sini tidak sesuai digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia. Kemudian, dalam tuturan A3 terdapat penggunaan kata fatis ya, kok,
wong yang semakin memberi penekanan dalam tuturan tersebut. Sedangkan, dalam tutran A4 terdapat penggunaan kata fatis halah, yo, kok dalam bahasa jawa.
Tuturan A3 dikatakan dengan nada sedang, bertekanan lunak pada kata bentar, dan berintonasi berita dengan pola intonasi datar-turun. Tuturan A4 dikatakan
dengan nada rendah, bertekanan lunak pada kata iso, dan berintonasi berita dengan pola yang sama dengan tuturan A3. Aspek nada, seperti yang dikatakan
oleh Pranowo 2009 menunjukkan suasanan hati penutur. Nada tutur ini menjadi indikasi adanya ketidaksantunan penutur ketika menanggapi atau berbicara
dengan mitra tutur. Nada tutur rendah untuk menandai tuturan tidak santun menunjukkan bahwa penutur tidak menghargai mitra tutur. Dengan nada tutur
rendah tersebut, sebenarnya mitra tutur tidak berniat menanggapi mitra tutur, atau menanggapi mitra tutur hanya dengan kata-kata sekenanya. Kemudian, nada tutur
sedang digunakan oleh penutur untuk menangggapi secara santai tuturan penutur, tetapi tetap ditekankan bahwa tanggapannya tersebut menyinggung mitra tutur.
Dalam membahas ketidaksantunan sebuah tuturan, sangat perlu dilibatkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Tuturan A3 dituturkan penutur laki-laki
berusia 15 tahun kepada mitra tutur perempuan berusia 37 tahun. Mitra tutur yang berprofesi sebagai pedagang adalah ibu dari penutur. Tuturan A4 dikatakan oleh
penutur laki-laki berusia 13 tahun kepada mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Mitra tutur tersebut adalah ibu dari penutur. Dilihat dari usia dan jenis kelamin,
kedua tuturan tersebut dikatakan oleh penutur laki-laki yang masih berusia belasan tahun kepada mitra tutur perempuan yang tidak lain adalah ibu penutur.
Ketidaksantunan sangat berpotensi dikatakan oleh seorang laki-laki dengan usia belasan tahun. Hal itu karena psikis si penutur dalam tahap perkembangan di
mana si penutur sedang mencari jati diri dan sangat mudah terpengaruh. Sangat terutama, penutur dalam usia demikian sangat ingin mendapatkan kebebasan yang
lepas dari aturan, sehingga mereka tidak menyukai adanya aturan yang
mengekang mereka. Itulah mengapa penutur mengatakan tuturan tidak santunnya untuk melawan aturan yang mengekangnya.
Tuturan A3 dan A4 terjadi dalam situasi dan topik yang sama. Kedua tuturan tersebut terjadi ketika penutur sedang menonton televisi. Mitra tutur yang
melihat jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB sebagai jam belajar keluarga menyuruh penutur untuk belajar. Penutur pun sudah mengetahui adanya aturan
jam belajar tersebut. Suasana ketika tuturan terjadi dalam keadaan santai. Penutur tuturan A3 yang masih ingin menonton televisi pun menolak suruhan mitra tutur.
Sedangkan, penutur tuturan A4 menentang suruhan mitra tutur karena merasa ia sudah pandai, sehingga tanpa belajar pun ia bisa. Kedua tuturan tersebut memiliki
tujuan yang hampir sama. Tuturan A3 dikatakan penutur untuk menanggapi mitra tutur yang menyuruhnya belajar. Tuturan A4 yang terjadi pada malam hari ketika
penutur tengah menonton televisi pula dikatakan penutur untuk menanggapi mitra tutur yang menyuruhnya belajar, sementara penutur merasa dirinya bisa tanpa
belajar. Tuturan A3 terjadi pada pukul 20.10 WIB, tanggal 6 Mei 2013, ketika penutur tengah menonton televisi di ruang keluarga. Tuturan A3 bertindak verbal
komisif. Penutur menjanjikan hendak belajar nanti karena ia masih ingin menonton televisi. Menanggapi tuturan penutur, tindak perlokusi mitra tutur
dengan kesal pergi meninggalkan penutur. Tuturan A4 adalah bentuk tindak verbal representatif. Penutur menentang perintah mitra tutur yang menyuruhnya
belajar. Hal itu ia lakukan karena penutur masih ingin menonton televisi. Kemudian, mitra tutur menunjukkan tindak perlokusi yang hanya diam dan
meninggalkan penutur.
Dilihat dari konteks tersebutlah, maka tuturan A3 dan A4 masuk dalam subkategori menentang. Hal itu karena penutur menentang apa yang diperintahkan
oleh mitra tutur. Tetapi ada maksud tersendiri dari penutur ketika mengatakan tuturannya. Penutur yang mengutarakan A3 pun melakukan penundaan terhadap
hal yang sama, yaitu penundaan aktivitas belajar dengan alasan yang sama pula. Pada tuturan A4, penutur mengungkapkan kekesalannya terhadap mitra tutur yang
mengingatkannya untuk belajar. Penutur adalah orang yang merasa dirinya pandai walau tanpa belajar.
4.3.2 Mengancam Muka Sepihak