Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

1 Berdasarkan percakapan di atas, sang ayah menegur anaknya agar menghargai orang lain yang sedang bertamu. Namun, sang anak justru memjawab secara sembrono dengan tuturan Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Jawaban sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak santun, karena ia bukannya menuruti kata-kata ayahnya, justru membantah dengan menjawab demikian. Tuturan tersebut justru semakin menimbulkan konflik dan membuat sang ayah marah. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan adanya koflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper 2008 tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ kehilangan muka. Jadi ketidaksantunan impoliteness dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka face loss, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. 1 Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeperr ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut. Situasi: Pada suatu kesempatan, terdapat sebuah pertemuan keluarga besar. Mereka memperbincangkan suatu masalah keluarga yang cukup serius. Setelah perbincangan serius itu selesai, mereka berbasa-basi satu sama lain. Wujud Tuturan: Paman : “Gimana kuliahmu, Nduk? Lancar tow?” seorang paman berkata dengan keponakannya yang masih kuliah. Keponakan : “Lancar kok, Paman.” Bibi : “Loh, Nduk, kamu tu kan Cuma ngambil D3, kok udah 4 tahun gak lulus-lulus. Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah. Kayak gitu kan malah lumayan bisa ngasih makan sekeluarga.” Semua keluarga tertawa mendengar tuturan sang bibi. Keponakan : diam saja, tertunduk malu dan tersinggung dengan tuturan bibinya. Dari percakapan di atas, jika dilihat dari konteks situasi tuturan, sebenarnya sang bibi bertutur dengan nada bercanda. Namun, dengan tuturan Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah yang dimaksud oleh sang bibi bukan hanya candaan, melainkan juga sebuah sindiran. Candaan sang bibi tersebut diikuti dengan tawa dari semua keluarga yang hadir dalam pertemuan keluarga tersebut. Tuturan yang diungkapkan oleh sang bibi merupakan tuturan yang tidak santun karena mengakibatkan keponakannya tersinggung dan tertunduk malu. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper lebih 1 menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi