1
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita
suara, yang disebabkan oleh arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat
akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi Muslich, 2009:112. Achmad Alek 2013:33−34 menjelaskan bahwa nada berkenaan dengan
tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuens getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada tinggi. Sebaliknya,
kalau diucapkan dengan frekuensi getaran rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya empat macam nada, yaitu:
1 Nada yang paling tinggi, diberi tanda dengan angka 4
2 Nada tinggi, diberi tanda dengan angka 3
3 Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2
4 Nada rendah, diberi tanda dengan angka 1.
2.8 Teori Maksud
Setiap penutur yang bertutur tentulah terdapat maksud yang ingin disampaikannya. Maksud tersebut adalah milik si penutur, bukan tuturan. Tuturan
adalah media bagi penutur untuk menyampaikan maksud tersebut. Berkaitan dengan maksud tersebut, sangat perlu dipahami bagaimana maksud dan makna
dapat dibedakan, karena kedua hal tersebut adalah berbeda jika telah bersinggungan dengan konteks situasi.
1
Rahardi 2003:16−17 dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan makna ini. Rahardi mengawali dengan memaparkan bahwa ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud
penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa
yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi, sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanya adalah bahwa
pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Masih dalam Rahardi, dipaparkan pula bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks context dependent, sedangkan makna yang
dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks context independent. Makna yang dikaji di dalam semantik bersifat diadik diadic meaning, sedangkan dalam
pragmatik makna itu bersifat triadik triadic meaning. Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk
memahami makna sebuah satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu
yang menjadi wadahya. Selanjutnya, Wijana dan Muhammad 2008:10–11 menguatkan
pemaparan Rahardi di atas. Dalam bukunya, kedua ahli tersebut membedakan ketiga hal, yaitu makna, maksud, dan informasi dengan mengatakan dengan tegas
bahwa makna berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan
1
informasi bersifat di luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang
bersumber dari isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kalimat 6, 7, 8, dan 9 berikut.
6 Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya 9. 7 Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya saja 4,5.
8 Ayah membeli buku. 9 Buku ini dibeli ayah.
Kata “pandai” dalam kalimat 6 bermakna “pintar” karena secara internal memang kata “pandai” bermakna demikian. Kata “pandai” dalam kalimat 7 yang
bermakna internal “pintar” dimaksudkan secara subjektif oleh penuturnya untuk mengungkapkan bahwa dia bodoh. Pengungkapannya yang bersifat subjektif
inilah yang disebut “maksud”. “Pandai” yang menyatakan “pintar” pada kalimat 6 disebut makna linguistik linguistic meaning, sedangkan “pandai” yang
menyatakan “bodoh” pada kalimat 7 disebut makna penutur speaker meaning. Makna linguistik maknamenjadi bahan kajian semantik, sedangkan makna
penutur maksud menjadi bahan kajian pragmatik. Kalimat 8 jelas memiliki perbedaan makna gramatikal dengan kalimat 9. Kalimat 8 adalah kalimat
aktif, sedangkan kalimat 9 adalah kalimat pasif. Akan tetapi, berdasarkan isi tuturan secara objektif kedua kalimat di atas menyatakan informasi yang sama,
yakni “ayah yang membeli buku” dan “buku yang dibeli ayah” Wijana Muhammad, 2008:10–11.
1
2.9 Kerangka Berpikir