Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

1

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield 2008, ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face- threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous, hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful, maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfiled ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut. Situasi: Pada sebuah keluarga, seorang ayah sedang menerima dua orang tamu yang cukup penting. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Namun, dalam sela-selan perbincangan itu, anak si pemilik rumah yang berusia 8 tahun berlari-lari dengan seorang temannya melintasi ruang tamu. Hal itu dilakukannya berulang kali, sehingga ayah dan dua orang tamunya terganggu dengan situasi itu. Wujud Tuturan: Ayah : “Nak, kamu tu apa ndak bisa mainnya di luar aja? Bapak tu lagi ada tamu ni lho. Kalau ada tamu tu mbok dihargai.” Anak : “Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Di luar panas.” masih sambil berlari-lari di ruang tamu. Ayah : “Kamu tu susah banget di omongin. Masih kecil udah ngelawan, gimana kalau besar nanti.” sang ayah semakin bernada tinggi. 1 Berdasarkan percakapan di atas, sang ayah menegur anaknya agar menghargai orang lain yang sedang bertamu. Namun, sang anak justru memjawab secara sembrono dengan tuturan Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Jawaban sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak santun, karena ia bukannya menuruti kata-kata ayahnya, justru membantah dengan menjawab demikian. Tuturan tersebut justru semakin menimbulkan konflik dan membuat sang ayah marah. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan adanya koflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper