1
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mempermalukan mitra tuturnya.
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi
Terkourafi 2008 memandang ketidaksantunansebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur addressee merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face threaten, dan penutur
speaker tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Terkourafi ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut. Situasi:
Pada suatu kesempatan dalam sebuah kamar, tiba-tiba dari luar kamar seorang adik masuk dan menepuk pundak kakaknya yang sedang
rebahan di tempat tidur.
Wujud Tuturan: Adik
: “Baaaaaaaa, kakak liat bajuku yang baru dibelikan ibu gak:” sambil menepuk pundak kakaknya.
Kakak : “Ih, apaan si kamu. Dasar, kurang kerjaan.” dengan nada
tinggi dan membentak.
Dari ilustrasi di atas, tuturan adik menunjukkan bahwa ia ingin mendapatkan respon dari kakaknya dengan nada tanya dan menepuk pundak
kakaknya tersebut. Namun, cara si adik meminta respon tersebut mengakibatkan
1
kakak merasa tidak nyaman dengan disentuh pundaknya. Adik berkata dengan intonasi normal, tetapi si kakak menjawab dengan intonasi tinggi dan membentak.
Dari percakapan antara kakak dan adik di atas, dapat diketahui bahwa kakak menanggapi adiknya dengan rasa kesal yang mengancam muka si adik secara
sepihak. Hal tersebut mengakibatkan si adik sebagai mitra tutur merasa terancam dan malu dengan tanggapan kakaknya.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mengancam muka sepihak mitra tuturnya, tetapi di sisi lain
penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and