81 dipandang sebagai sumber kemaksiatan yang harus dihapuskan, memalukan
dan mencemarkan nama baik desa. Namun pada sebagian penduduk, khususnya para pemuda aktivitas tersebut dipandang sebagai hal yang biasa
dan tidak mengganggu, selain disebabkan karena lokasi wisata berjauhan sekitar 2,5 kilometer dari lokasi pemukiman penduduk, juga fenomena
prostitusi dipandang sebagai aktivitas yang lumrah terlihat di wilayah pesisir dan telah ada secara turun temurun.
Belum ada keterlibatan baik dari kelembagaan-kelambagaan lokal maupun pemerintah bagi upaya-upaya pengembangan kawasan. Kelompok pengelola
kawasan ini sudah ada dan terdaftar pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya, namun belum memperoleh pengakuan resmi sebagai suatu kelompok
atau organisasi formal, karena belum memiliki status atau badan hukum yang jelas secara tertulis.
5.3. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Permasalahan
Pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu proses yang menekankan pada pemanfaatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam secara
optimal untuk meningkatkan jumlah dan variasi kesempatan kerja serta mengembangkan ketenagakerjaan dan menciptakan suatu kesejahteraan bagi
komunitas. Komunitas lokal Desa Sungaibuntu berusaha memanfaatkan sumberdaya
alam yang terdapat di wilayahnya, yaitu berupa keindahan pesisir pantai sebagai area atau kawasan wisata. Pengembangan kawasan ini dimaksudkan untuk
membuka variasi dan jumlah lahan kerja atau kesempatan kerja bagi sejumlah tenaga kerja dalam kerangka mengatasi jumlah pengangguran yang ada agar
mereka memperoleh penghasilan tambahan serta dapat melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya baik sebagai individu, kelompok maupun sebagai
anggota suatu komunitas guna meningkatkan taraf kehidupan dan penghidupan yang layak.
Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan suatu bentuk upaya bagi pengembangan ekonomi lokal, meskipun masih mebutuhkan peningkatan dan
perbaikan agar memberikan hasil lebih optimal, baik ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, kelengkapan dan kenyamanan sarana wisata maupun
82 tingkat pendapatan yang dapat diperoleh. Ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang
dapat diserap oleh kehadiran aktivitas wisata ini diantaranya mampu mempekerjakan 10 orang tenaga pengelola wisata, lima orang pengemudi
perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, lima orang yang menjual jasa penyewaaan ban untuk berenang, para 30 orang pedagang makanan dan
minuman menetap menghuni rumah atau bangunan yang berada di lokasi wisata dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2003, aktivitas ini
mampu memberikan kontribusi pada anggaran pembangunan desa sebesar Rp 2.500.000,00 tetapi pada tahun-tahun selanjutnya dana hasil penarikan
retribusi dari pengunjung ini tidak lagi dialokasikan bagi anggaran pembangunan desa, melainkan lebih diprioritaskan pada penataan lingkungan dan pembuatan
bangunan-bangunan bagi para pedagang wisata. Upaya-upaya pemanfaatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam
secara optimal memiliki kendala-kendala, diantaranya : 1. Jalan dan jembatan menuju kawasan wisata pada saat ini dalam keadaan
rusak. Sebagai alternatif dibangun jembatan yang terbuat dari bambu, yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan sangat licin apabila turun
hujan. Tak jarang kendaraan yang nyaris jatuh dan tergelincir ke arus sungai. Jalan utama menuju lokasi wisata merupakan jalan aspal yang kondisinya
sudah rusak, dengan lebar jalan sekitar 3,5 meter. Rusaknya infrastruktur ini dapat mengurangi jumlah pengunjung yang datang sehingga menjadi salah
satu penghambat bagi pengembangan ekonomi lokal secara optimal. 2. Akses transportasi umum ke lokasi wisata hanya dapat ditempuh dengan
kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat, sedangkan angkutan penumpang umum hanya dalam bentuk ojeg motor dan ongkos yang
dikeluarkan relatif mahal, yaitu sebesar Rp 5.000,00. Hal ini dapat menjadi salah satu penghambat bagi pengembangan ekonomi komunitas lokal.
3. Tingginya abrasi air laut, berdasarkan informasi dari para orang tua dan Kepala UPTD PKP serta pengamatan penulis, sejak tahun 1985 sampai
dengan saat ini abrasi telah mencapai tingkatan relatif parah, yaitu sekitar 300 meter. Jika kondisi ini tidak diimbangi dengan upaya-upaya untuk
mengatasinya maka tingginya abrasi air laut mengakibatkan daratan semakin menyempit, yang pada akhirnya akan menghambat atau mengancam
pengembangan ekonomi lokal dan keberlajutan kawasan wisata tersebut. Upaya-upaya untuk mengatasi hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan
83 UPTD PKP dalam aksi penanaman kembali pohon mangrove sebanyak 150
batang pohon mangrove. 4. Kehadiran para pengunjung, para pedagang kaki lima dan para penyewa ban
di lokasi wisata kerapkali mengakibatkan persoalan-persoalan sampah, penataan area parkir dan terabaikannya pertumbuhan pohon-pohon bakau
mangrove sebagai upaya penanggulangan abrasi air laut yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan. Sementara pada sisi lain pengelola
wisata tidak atau belum begitu respect terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk selanjutnya, Kelompok Pengelola Wisata ini memiliki lahan pembibitan
mangrove yang dikelola sendiri. Namun, upaya-upaya pemeliharaan lingkungan, kebersihan, keindahan, keamanankesehatan dan ketertiban lahan
parkir serta pedagang kaki lima pada kawasan wisata ini seringkali terabaikan pada saat terjadi ledakan pengunjung.
5. Kawasan wisata dilaksanakan di atas tanah timbul yang belum jelas status kepemilikannya. Kawasan ini dapat bertahan karena Ketua Kelompok
Pengelola Wisata sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa dan pada tahun September 2006 Kepala desa sudah tidak lagi menjabat jabatan tersebut
meskipun kembali mencalonkan diri sebagai kepala desa untuk periode tahun berikutnya. Situasi-situasi ini dapat menghambat keberlanjutan kawasan
wisata dan pengembangan ekonomi komunitas lokal.
5.4. Pengembangan Modal Sosial, Gerakan Sosial dan Permasalahan