Komunitas Pesisir KERANGKA KAJIAN

II. KERANGKA KAJIAN

2.1. Komunitas Pesisir

Community yang diterjemahkan menjadi komunitas oleh Koentjaraningrat 1990 memiliki pengertian sebagai “suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta oleh suatu rasa identitas komunitas yang memiliki ciri-ciri, yaitu adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas sebagai suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri”. Soekanto 2002 mengartikan community sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa yang mana para anggotanya hidup bersama sehingga merasakan bahwa kelompok dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Keterikatan secara geografis merupakan suatu ciri dasar yang sifatnya pokok sebagai suatu komunitas, tetapi hal ini tidaklah cukup, karena suatu community harus memiliki apa yang dinamakan dengan community sentiment atau perasaan komunitas. Perasaan sebagai suatu komunitas memiliki beberapa unsur, yaitu seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Komunitas pesisir merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah pesisir Desa Sungaibuntu. Dahuri dan Nugroho 2005 mengungkapkan bahwa batas wilayah pesisir tidak luput dari tujuan penggunaan dan pengelolaannya. Penetapan batas wilayah pesisir pada umumnya didasarkan pada tiga kriteria, yaitu : 1. Garis linier secara arbitrer tegak lurus terhadap garis pantai. 2. Berdasarkan pada batas-batas administrasi dan hukum. 3. Berdasarkan karakteristik dan dinamika ekologis, yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah atau kesatuan proses-proses ekologis, seperti daerah aliran air sungai, area pasang surut. Rapat Kerja Nasional Proyek MREP Marine Resource Evaluation and Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Kelautan di Manado pada tanggal 1 sampai dengan 3 Agustus 1994, telah menetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MREP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia LPI 12 dengan skala 1 : 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Bakosurtanal, yakni sejauh 12 mil, sedangkan batas ke arah darat wilayah pesisir mencakup batas administrasi seluruh desa pantai. Dahuri dan Nugroho 2005 mengungkapkan sifat dan karakteristik komunitas pesisir, khususnya komunitas nelayan. Sifat dan karakteristik komunitas nelayan ditentukan oleh interaksi antara faktor-faktor sosial, ekonomi, lingkungan serta faktor ketidakpastian memperoleh penghasilan karena ketergantungan pada musim atau terjadinya kerusakan ekosistem laut yang disebabkan oleh polusi atau penangkapan ikan secara berelebihan, yang pada akhirnya semakin memperburuk hasil tangkapan ikan mereka. Kondisi kehidupan sosial ekonomi para nelayan semakin sulit dengan terjadinya krisis ekonomi dan kenaikan harga bahan bakar minyak BBM. Biaya operasional untuk melaut meningkat menjadi tiga sampai dengan empat kali lipat dari biasanya. Nelayan akan melaut pada saat laut mengalami ombak kecil, yaitu pada bulan November sampai dengan Mei. Para nelayan akan menganggur serta tinggal di rumah pada saat laut mengalami ombak besar, yaitu pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Pada musim ini, penghasilan nelayan menurun drastis, nelayan hanya mencuri waktu disela-sela perubahan angin yang relatif singkat untuk menangkap ikan. Ketergantungan pada musim ini semakin tinggi bagi para nelayan kecil dan pandhiega yang tidak mampu mengakses teknologi penangkapan 90 persen nelayan di Indonesia menguasai teknologi penangkapan tradisional. Kondisi ini memiliki implikasi terhadap perilaku konsumsi. Pada musim penangkapan, nelayan cenderung konsumtif dan relatif kekurangan pada musim paceklik. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup pada musim paceklik, mereka mengembangkan strategi adaptasi tertentu. Strategi adaptasi menurut Bartlett dalam Kusnadi 2000 merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi dimana penduduk tersebut hidup atau bertempat tinggal. Pemilihan tindakan ini dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi. Strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pada musim paceklik, bagi para nelayan kecil dan pandhiega seringkali dilakukan dengan 13 meminjam uang atau barang dengan memanfaatkan hubungan keluarga dan ikatan kekerabatan, tetangga serta teman atau kepada juragan nelayan atau kepada para tengkulak. Konsekuensinya harus ditebus oleh nelayan dengan keharusan menjual ikan tangkapannya kepada juragan nelayan atau kepada para tengkulak. Pola hubungan yang tidak simetris atau tidak seimbang ini sangat mudah berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi. Aspek penting lain pada komunitas pesisir adalah aktivitas wanita dan anak- anak. Pada umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah sebagai pedagang ikan segar maupun ikan olahan, melakukan pengolahan ikan dalam skala kecil di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengolahan ikan. Sementara anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam kegiatan melaut sehingga banyak diantara mereka memiliki pendidikan rendah atau bahkan tidak bersekolah. Aktivitas lain yang dilakukan sebagai suatu upaya bertahan hidup yaitu dengan mencari peluang usaha pada sektor-sektor lain. Salah satu diantaranya yaitu dengan memanfaatkan keindahan alam pesisir bagi kegiatan pariwisata seperti halnya yang terjadi pada unit analisis kajian penulis, yaitu Kelompok Pengelola Kawasan Wisata yang ada pada komunitas pesisir Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Dengan demikian, komunitas pesisir sesuai dengan batasan kajian ini adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah pesisir. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup batas administrasi seluruh desa pantai, dalam hal ini yaitu batas administrasi Desa Sungaibuntu. 2.2. Pariwisata 2.2.1. Pengertian