Evaluasi Umum EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR “SAMUDERA BARU”

94 proses perumusan kebijakan dan perencanaan, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ini : 1. Belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi dari pihak-pihak terkait, seperti : - Tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat; aparat pemerintah Desa Sungaibuntu, termasuk BPD Badan PerwakilanPermusyawaratan Desa, LPM Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes, meliputi Camat, Kasi. Pemberdayaan Masyarakat Desa PMD, Ke pala Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan UPTD PKP - Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang sebagai basis pengembangan masyarakat. dan kontrol sosial yang dapat menopang keberlanjutan kawasan wisata tersebut. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” seakan-akan terpisah dari kehidupan komunitas lokal. 2. Belum mampu menciptakan interaksi dan relasi yang baik bagi pembentukan jejaring networking secara kolaboratif, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal bagi pengembangan dan keberlanjutan kawasan wisata tersebut.

5.7. Evaluasi Umum

Evaluasi terhadap aktivitas Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal dapat dilihat dari aspek proses awal pengembangan kawasan, pelaksanaan kegiatan, hasil-hasil yang dicapai dan kendala-kendala yang dihadapi serta upaya-upaya yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut. Ditinjau dari segi proses awal pengembangan kawasan wisata, kawasan ini muncul bersumber dari kekuatan lokal, baik dari segi gagasan maupun dari segi sumber pembiayaan, dalam hal ini yaitu dipelopori oleh kepala desa setempat Bapak Tata Husein. Pengembangan kawasan ini ditujukan untuk membuka alternatif atau variasi lahan pekerjaan tambahan bagi masyarakat agar dapat menambah pendapatan dan sebagai sarana rekreasi yang terjangkau oleh semua kalangan mengingat di wilayah Kecamatan Pedes sulit menemukan daerah-daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai area wisata. 95 Ditinjau dari aspek pengembangan masyarakat, munculnya gagasan atau inisiatif komunitas lokal merupakan kekuatan positif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, yang mana selama ini gagasan-gasan dan penentuan-penentuan kebutuhan masyarakat selalu bersumber dari pemerintah. Disamping manfaat dan pengaruh positif yang menopang keberlanjutan sustainable kawasan wisata, sebaliknya pengembangan kawasan ini juga memiliki kendala-kendala maupun dampak-dampak yang dapat mengancam keberlanjutan aktivitasnya. Ditinjau dari aspek pengembangan ekonomi lokal kendala muncul, diantaranya dalam bentuk : - rusaknya jalan dan jembatan menuju kawasan wisata, - sulitnya akses transportasi umum ke lokasi wisata dan hanya dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat, sedangkan angkutan penumpang umum hanya dalam bentuk ojeg motor dan ongkos yang dikeluarkan relatif mahal, yaitu sebesar Rp 5.000,00; - tingginya abrasi air laut, mengakibatkan daratan atau kawasan wisata semakin menyempit serta, - kehadiran para pengunjung, para pedagang kaki lima dan para penyewa ban di lokasi wisata yang kerapkali mengakibatkan persoalan-persoalan sampah, penataan area parkir dan terabaikannya pertumbuhan pohon-pohon bakau mangrove sebagai upaya penanganan abrasi, - pada sisi lain Kelompok Pengelola Kawasan dinilai lalai untuk mengantisipasi dan menemukan solusi dari masalah-masalah tersebut. - kendala lain muncul dari ketidakjelasan status kepemilikan dan pemanfaatan kawasan. Kawasan ini masih dapat bertahan diantaranya disebabkan karena Ketua Kelompok Pengelola Kawasan sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa dan pada September 2006 Kepala desa sudah tidak lagi menduduki jabatannya meskipun kembali mencalonkan diri untuk periode selanjutnya. Situasi-situasi ini dapat menghambat keberlanjutan kawasan wisata dan pengembangan ekonomi komunitas lokal. Dari aspek modal sosial kendala muncul dari adanya trust yang tidak proporsional dalam Kelompok Pengelola Wisata serta berkembangnya kondisi- kondisi yang dapat menumbuhkan terjadinya latent conflict. Trust yang tinggi terhadap ketua cenderung mengakibatkan semua keputusan, instruksi dan kendali berada dibawah tangan ketua kelompok. Sistem kerabatan dan kentalnya 96 hubungan pertemanan mempersulit penerapan aturan-aturan dan sanksi secara tegas serta muncul kecenderungan mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal - pemanfaat an tanah timbul sebagi kawasan wisata hanya didasarkan pada izin lisan dari Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes -. Tidak adanya izin pemanfaatan tanah timbul secara jelas dan tegas serta berkembangnya fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan di kawasan wisata dapat menimbulkan terjadinya latent conflict. Dari aspek sosial pikologis kendala muncul dari adanya kekhawatiran anggota komunitas akan pengaruh fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan yang umumnya terjadi saat malam hari di kawasan wisata. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan para remaja dan kekhawatiran akan mencoreng kembali nama baik Desa Sungaibuntu. Dari segi perencanaan dan kebijakan sosial kendala muncul karena belum terciptanya interaksi dan relasi harmonis, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal bagi pengembangan kawasan wisata berkelanjutan. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi kelembagaan stakeholders, baik kelembagaan lokal, kelembagaan swadaya masyarakat LSM maupun kelembagaan pemerintah. Berdasarkan informasi dan dialog-dialog dengan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, para pedagang di lokasi wisata dan para stakeholders dikaji secara bersama-sama bagaimana upaya penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata melalui alternatif-alternatif pendekatan kelembagaan untuk mengatasi kendala-kendala atau permasalahan tersebut.

VI. ANALISIS TINJAUAN KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR

6.1. Profil dan Potensi Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”

Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” merupakan kelompok yang terbentuk lebih karena hubungan kekerabatan dan pertemanan. Kelompok ini lebih bersifat sebagai kelompok informal, yaitu kelompok yang tidak memiliki struktur tertentu dan aturan dibuat secara tidak tegas. Diantara mereka terdapat kesadaran sebagai bagian dari kelompok, ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain, ada suatu faktor kepentingan yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat, yaitu upaya untuk membuka variasi lahan pekerjaan sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Namun, sistem keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan dan pertemanan jauh lebih menonjol. Hal ini dapat dilihat dari fenomena fakta bahwa secara ekonomi tingkat pendapatan yang diperoleh dari aktivitas wisata mengalami pasang surut, namun demikian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ini tetap mampu bertahan sampai dengan saat ini sejak tahun 2002 sampai dengan 2006. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” beranggotakan sebanyak 10 orang, memiliki latar belakang pendidikan SLTA sebanyak dua orang atau 20 persen, SLTP sebanyak tiga orang atau 30 persen dan SD sebanyak lima orang atau 50 persen. Rendahnya tingkat pendidikan anggota kelompok diasumsikan dapat mempengaruhi tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara tepat dan berkelanjutan. Ditinjau dari jenis kelamin, tingkat keterlibatan perempuan dalam kelompok hanya satu persen atau satu orang. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam aktivitas ini karena perempuan dinilai riskan dan tidak aman jika terlibat dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis, secara umum peran dan keterlibatan perempuan didalam aktivitas-aktivitas ekonomi memang tidak mengalami hambatan, tetapi masih ada pandangan- pandangan yang menganggap bahwa laki-laki lebih gesit dan pekerjaan laki-laki lebih menguras tenaga. Untuk itu, upah laki-laki lebih mahal dibandingkan