Ruang Lingkup Kajian Masalah Kajian

6 2. Keindahan alam dan lingkungan pesisir sebagai atraksi atau objek wisata yang ditawarkan dapat tetap terjaga dan terpelihara sehingga kawasan wisata akan tetap berkelanjutan. 3. Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan wahana bagi pengembangan masyarakat, melalui aktivitas ini diupayakan mampu menumbuhkan pola hubungan dan gerakan koperatif dari Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dengan stakeholders atau pihak-pihak penanggung kepentingan, seperti kelembagaan komunitas lokal, kelembagaan swasta dan kelembagaan pemerintah. 4. Peningkatan pola hubungan dan gerakan koperatif dengan stakeholders diharapkan dapat mewujudkan suatu kontrol atau pengendalian sosial dalam upaya meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, seperti adanya fenomena prostitusi terselubung, munculnya potensi konflik keagrariaan, ketidaktransparanan dan kekurangtanggapan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata terhadap aspirasi dan harapan komunitas. Dengan demikian, fokus telaahan dalam kajian ini adalah masalah “Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Topik dari kajian ini adalah bagaimana peranan-peranan sosial dan tata peraturan serta tata nilai yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam upaya mengembangkan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan sehingga mendorong terwujudnya kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas tersebut dengan meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. .

1.2. Ruang Lingkup Kajian

Kelembagaan sering diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat Koentjaraningrat, 1997. Kelembagaan dalam kajian ini diartikan sebagai suatu pranata sosial yaitu sistem tata kelakuan yang diwujudkan dalam sejumlah peranan dan peraturan- 7 peraturan serta sistem nilai yang mengatur hubungan antar manusia yang terikat dalam wadah Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Persoalan utama dalam upaya penguatan kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” bagi upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan ini adalah adanya sejumlah peranan sosial dan sistem nilai serta tata aturan dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” terkait dengan profil kelompok, meliputi aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan. Profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ini diasumsikan mempengaruhi terjadinya permasalahan-permasalahan dalam pengembangan kawasan wisata. Permasalahan-permasalahan tersebut dikategorisasikan meliputi permasalahan terkait dengan aspek ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan.

1.3. Masalah Kajian

Aktivitas pengembangan kawasan wisata disamping memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan, juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu terjadinya kerusakan lingkungan dan konservasi, penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat. Diasumsikan bahwa masalah-masalah tersebut bisa didekati melalui perspektif kelembagaan. Masyarakat lokal telah berinisiatif menumbuhkan suatu kelembagaan yang bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana rekreasi, mereka tergabung dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Selama ini kelompok tersebut telah menunjukkan keberfungsian secara ekonomi, tetapi belum menunjukkan keberfungsian secara sosial, ekologis maupun keagrariaan. Pada saat ini, kelompok tersebut mengalami kondisi sebagai berikut : 1. Tujuan pengembangan kawasan wisata lebih berorientasi pada faktor ekonomi sehingga mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat serta menimbulkan adanya kekurangtanggapan terhadap keindahan dan kelestraian lingkungan atau kawasan wisata. Dengan kata lain, 8 mengabaikan faktor-faktor sosial ekologis sebagai penopang keberlanjutan kawasan tersebut. 2. Pemimpin atau ketua kelompok tidak dipilih melalui suatu proses tertentu. Dasar pertimbangan pemilihan lebih didasarkan pada : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa yang masih aktif. Hal ini telah menumbuhkan adanya sense selaku pelopor dalam pengembangan kawasan wisata sehingga kelompok dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan ekonomi semata- mata dinikmati secara pribadi atau kelompok. 3. Pembagian tugas dan peranan dalam kelompok masih bersifat implisit, sederhana dan belum berfungsi sebagaimana mestinya serta tidak dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan. Hal ini telah menimbulkan ketidaktransparanan intransparency manajemen kelompok. 4. Pola hubungan dan komunilkasi yang terjadi dalam kelompok lebih didasarkan pada pola hubungan kekerabatan dan pertemanan sehingga sulit menerapkan sistem sanksi secara tegas serta mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal, sehingga pemanfaatan tanah timbul sebagai kawasan wisata hanya didasarkan pada izin lisan dari Kepala UPTD Perikanan Kelautan dan Peternakan. Situasi ini menumbuhkan terjadinya potensi konflik keagrariaan potential conflict atau latent conflict. 5. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi maupun konsultasi cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya mendesak. Kondisi ini telah mengabaikan kerjasama dengan kelembagaan lokal yang ada. 6. Lemahnya pengetahuan dalam tata cara menjaga dan memelihara keindahan serta kelestarian lingkungan di kawasan wisata sebagai penopang keberlanjutan kawasan. Apabila kelompok ini kelak menjadi tumpuan harapan bagi penjaga kelestarian alam dan keberlanjutan kawasan, penopang kehidupan sosial sesuai dengan norma, nilai dan aturan-aturan dalam masyarakat serta menjadi penggerak ekonomi lokal, maka apakah yang harus dilakukan? Apakah penguatan kelembagaan menjadi solusi yang tepat? Jika ya, maka perlu beberapa studi awal yang menginventarisasi profil dan keberfungsian kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Untuk dapat 9 melakukan upaya-upaya penguatan kelembagaan secara konstruktif, maka beberapa hal berikut ini harus dilakukan atau dijawab : 1. Bagaimanakah profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam mendukung keberlanjutan kawasan wisata pesisir? 2. Apa sajakah masalah-masalah yang dihadapi oleh kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam mengelola atau melestarikan kawasan wisata? 3. Bagaimanakah alternatif strategi pengembangan masyarakat secara partisipatif melalui penguatan kelembagaan harus disusun bagi pelestarian kawasan wisata?

1.4. Tujuan Kajian