83 UPTD PKP dalam aksi penanaman kembali pohon mangrove sebanyak 150
batang pohon mangrove. 4. Kehadiran para pengunjung, para pedagang kaki lima dan para penyewa ban
di lokasi wisata kerapkali mengakibatkan persoalan-persoalan sampah, penataan area parkir dan terabaikannya pertumbuhan pohon-pohon bakau
mangrove sebagai upaya penanggulangan abrasi air laut yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan. Sementara pada sisi lain pengelola
wisata tidak atau belum begitu respect terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk selanjutnya, Kelompok Pengelola Wisata ini memiliki lahan pembibitan
mangrove yang dikelola sendiri. Namun, upaya-upaya pemeliharaan lingkungan, kebersihan, keindahan, keamanankesehatan dan ketertiban lahan
parkir serta pedagang kaki lima pada kawasan wisata ini seringkali terabaikan pada saat terjadi ledakan pengunjung.
5. Kawasan wisata dilaksanakan di atas tanah timbul yang belum jelas status kepemilikannya. Kawasan ini dapat bertahan karena Ketua Kelompok
Pengelola Wisata sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa dan pada tahun September 2006 Kepala desa sudah tidak lagi menjabat jabatan tersebut
meskipun kembali mencalonkan diri sebagai kepala desa untuk periode tahun berikutnya. Situasi-situasi ini dapat menghambat keberlanjutan kawasan
wisata dan pengembangan ekonomi komunitas lokal.
5.4. Pengembangan Modal Sosial, Gerakan Sosial dan Permasalahan
5.4.1. Ditinjau dari Perspektif Modal Sosial
Pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” muncul atas inisiatif kepala desa Bapak Tata Husein. Gagasan ini memperoleh dukungan dari para
pemuda sehingga mereka bersedia menunjukkan keterlibatan dan partisipasinya dalam kegiatan tersebut. Dukungan dan partisipasi ini merupakan wujud dari
adanya kepercayaan trust warga terhadap kepala desa. Disamping itu, jika ditinjau dari kemampuan aktivitas wisata pesisir bertahan selama hampir empat
tahun membuktikan suatu fenomena adanya jalinan hubungan komunikasi yang baik antara penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata kepala
desa dengan anggota kelompok pengelola wisata.
84 Kepercayaan ini tidak hanya terjadi dari anggota kelompok pengelola
wisata terhadap penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata, melainkan juga terjadi secara timbal balik resiprocity
yaitu dari
penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata terhadap anggota kelompok. Hal ini terwujud dari kesediaan kepala desa selaku penanggungjawab
atau ketua kelompok pengelola wisata untuk mempercayakan keuangan hasil pembayaran retribusi pengunjung kepada bendahara dengan administrasi atau
pembukuan yang belum tertata dengan tertib. Dengan demikian, kepala desa selaku penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata memahami
serta percaya pada sikap dan tabiat para anggota kelompok serta percaya akan kejujuran honesty mereka.
Dari gambaran tentang pengelolaan wisata di atas, dapat dipahami bahwa aktivitas wisata pesisir dapat terselenggara dan tetap terpelihara sampai saat ini
karena adanya Modal Sosial yang meliputi suatu jalinan relasi yang diwarnai dengan kepercayaan, kejujuran, timbal balik dan kesepemahaman satu sama
lain didalam kelompok yang membentuk suatu kebiasaan aturan-aturan yang disepakati bersama.
Analisis pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” ditinjau dari dimensi-dimensi yang dimiliki Modal Sosial adalah sebagai berikut :
1. Gagasan pengembangan kawasan wisata pesisir dapat terselenggara karena
adanya kesamaan etnik, hubungan kekerabatan dan pertemanan. Tetapi, pola hubungan kekerabatan dan pertemanan ini juga telah menyebabkan
sulit diterapkannya aturan-aturan dan sanksi-sanksi secara jelas, misalnya masih adanya anggota kelompok atau para pedagang di lokasi wisata yang
lalai menjaga kebersihan. Etnik dalam konteks ini lebih terkait pada lokalitas dimana penanggungjawab dan para pengelola kawasan wisata berada, yaitu
sebagai suatu komunitas pesisir Sungaibuntu. Hal ini terkait dengan dimensi integrasi dari suatu Modal Sosial.
2. Adanya pertalian atau linkage dengan komunitas lain di luar komunitas,
diwujudkan dalam bentuk kerja sama dengan : - Perusahaan teh botol, Indosat Mentari, perusahaan rokok gudang garam
dalam wujud pemasangan bendera-bendera dan spanduk-spanduk perusahaan, artis-artis dari kota Karawang. Kerja sama ini biasanya terjalin
dalam situasi terjadi ledakan pengunjung,
85 - Instansi Pemerintah yaitu dengan kepolisian, Unit Pelaksana Teknis Dinas
Perikanan, Kelautan dan Peternakan UPTD PKP Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat dan mulai dirintis kerja sama dengan
Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Namun upaya kerja sama ini belum terwujud secara nyata dan optimal.
Hal ini menunjukkan adanya dimensi pertalian ataulinkage, yaitu bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata telah menjalin ikatan atau kerja
sama dengan komunitas lain di luar komunitas. 3. Selama ini, aktivitas pengembangan kawasan wisata belum tersentuh oleh
suatu bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur tata operasionalnya di lapangan. Segala aktivitas terkait dengan masalah-masalah ekonomi maupun
sosial lebih merupakan masalah yang harus diatasi oleh komunitas itu sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah baik pada tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun propinsi sehingga belum terbentuk suatu integritas
organisasional yang baik antara pihak pemerintah political sector, swasta private sector maupun organisasi swadaya masyarakat. participatory
sector. Hal ini berarti bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata belum menunjukkan suatu bentuk integritas organisasional atau organizational
integrity antara institusi negara dalam menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakan peraturan.
4. Selama ini aktivitas pengembangan kawasan wisata pesisir belum berjalan secara sinergi dengan pihak pemerintah. Aktivitas ini lebih merupakan upaya
praktis dari komunitas lokal dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di wilayahnya, belum ada suatu sikap atau upaya, baik dari pemerintah
maupun swasta untuk memelihara inisiatif dan mengembangkan motivasi komunitas lokal dalam pengembangan kawasan tersebut. Dengan demikian,
pengembangan kawasan wisata pesisir belum menunjukkan adanya dimensi sinergi, yaitu menyangkut relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan
dengan komunitas Untuk memahami pengembangan aktivitas ini ditinjau dari Modal Sosial
dilakukan analisis berdasarkan Tipologi Modal Sosial, yaitu sebagai berikut :
86 a. Gagasan pengembangan kawasan wisata bertujuan untuk membuka alternatif
lahan pekerjaan guna meningkatkan pendapatan anggota kelompok, meskipun masih dibutuhkan upaya peningkatan dan perbaikan agar
memberikan hasil secara lebih optimal, baik dari segi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap maupun dari segi kelengkapan dan kenyamanan suatu
sarana wisata. Dari gambaran tersebut, maka analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran I, yaitu Social Economic Well Being.
b. Adanya suatu stigma negatif terhadap area wisata “Samudera Baru” karena adanya panggung hiburan sekaligus wanita-wanita penghibur pada malam
hari menjadi suatu polemik tersendiri bagi tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Ustadz Gufron :
“Saya pernah mengungkapkan dan mempertanyakan masalah ini kepada Pak Lurah, tapi beliau menjawab bahwa wisata dan kehadiran
wanita-wanita penghibur merupakan dua sisi yang sulit atau tidak bisa dipisahkan”
Dalam wawancara lain, penulis mencoba meminta penjelasan kepada Bapak Cakra Suarawijaya, Bapak Dudin dan Bapak Iman selaku perwakilan
dari para pemuda, mengatakan bahwa : “Kami sejak kecil dibesarkan di sini, tapi kami tidak pernah mencoba
menikmati kehidupan malam seperti itu. Kami tidak merasa terusik dengan kehadiran mereka, karena disamping tempat mereka terpencil
dari pemukiman penduduk, kami juga menganggap bahwa kehidupan seperti itu telah biasa ada di lingkungan kami secara turun temurun,
hanya tempatnya yang berpindah-pindah, meskipun kami tidak tahu kapan kehidupan seperti itu berawal”
Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa sebagian kelompok memandang kehadiran wanita-wanita penghibur di area wisata “Samudra
Baru” sebagai suatu masalah, sedangkan kelompok yang lain memandang kehadiran mereka sebagai sesuatu hal yang biasa, yang telah ada secara
turun temurun. Pada sisi lain, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”
belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi kelembagaan lokal, seperti tokoh-tokoh agama dan para pengelola pondok
pesantren sebagai suatu bentuk kontrol sosial dan basis pengembagan masyarakat yang dapat menopang keberlanjutan kawasan tersebut.
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” seakan-akan terpisah dari kehidupan komunitas lokal. Hal ini sebagaimana diungkapkan
87 oleh Bapak Ni’an Abdullah selaku Ketua LPM Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa Sungaibuntu : “Saya setuju dengan dikembangkannya kawasan wisata “Samudera
Baru” ini, tetapi saya memohon agar kawasan tersebut akhirnya jangan hanya menjadi milik pribadi atau sekelompok orang tertentu
saja, tetapi hasilnya juga harus dapat dinikmati oleh masyarakat”
Disamping itu, kawasan wisata pesisir “Samudera Baru” ini dikembangkan di atas tanah tanah timbul yang belum memiliki izin dan status
pemanfaatan yang jelas. Izin pemanfaatan tanah timbul didasarkan atas izin secara lisan dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan
dan Peternakan UPTD PKP. Hal ini mulai disadari betul oleh Kepala Desa selaku Ketua Pengelola Kawasan Wisata sebagaimana diungkapkan :
“Sebentar lagi jabatan Saya sebagai kepala desa akan berakhir, saya menyadari hal ini dan harus memikirkan status tanah bagi
kelangsungan Samudera Baru.....”
Situasi-situasi demikian apabila tidak diantisipasi dan dibicarakan upaya-upaya pemecahannya dapat mengakibatkan terjadinya konflik
tersembunyi, yang pada akhirnya juga dapat menimbulkan konflik terbuka antara Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” dengan komunitas
setempat. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada
Kuadran II, yaitu Latent Conflict.
c. Gagasan aktivitas wisata pesisir muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi. Data hasil Praktek Lapangan I
menunjukkan bahwa jumlah keluarga miskin tahun 2005 sebanyak 55,75 persen. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada
Kuadran IV, yaitu Coping. Analisis Modal Sosial dapat digunakan untuk menjelaskan konteks
kehidupan masyarakat secara holistik dalam perspektif jaringan networking, baik secara horizontal maupun vertikal :
a. Secara Horizontal, jaringan terbentuk karena adanya ikatan dalam jenjang hubungan kesetaraan, dilakukan dengan sesama anggota kelompok
pengelola, para pedagang, artis-artis kota Karawang dalam mengisi acara- acara hiburan, perusahaan teh botol, Indosat Mentari, perusahaan rokok
gudang garam. Namun, jenjang hubungan kesetaraan ini belum terlaksana secara baik dengan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, kelompok
88 pengelola wisata selama ini masih kurang mengindahkan harapan dan
aspirasi dari komunitas. b. Secara Vertikal, jaringan terbentuk karena adanya kerja sama dengan
lembaga atau instansi Pemerintah, dilakukan dengan pihak kepolisisan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan UPTD PKP
Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat, tetapi kerja sama ini sifatnya tidak dibina secara teratur dan periodik juga mulai dirintis
kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang meskipun belum ada relisasi kegiatan secara nyata.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa dalam pelaksanaan pengorganisasian, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum sepenuhnya
memanfaatkan Modal Sosial secara optimal. Ditinjau dari dimensi pertalian dan perspektif jaringan, baik secara horizontal maupun vertikal dilaksanakan hanya
pada momentum terjadinya ledakan pengunjung. Kerja sama dengan pihak- pihak terkait atau dengan pihak lain agar kawasan wisata lebih menarik para
pengunjung tidak hanya pada momentum liburan lebaran, melainkan pada setiap saat hari libur, misalnya liburan akhir pekan belum dilaksanakan sebagaimana
yang diharapkan. Namun, meskipun kehadiran pengunjung wisata mengalami pasang surut, Kelompok Pengelola Wisata tetap eksist, mereka mengadakan
pertemuan rutin dengan para pedagang di lokasi wisata setiap dua minggu sekali, tetap bergabung dalam menata dan mengelola keindahan area wisata.
Dengan demikian, tipe Modal Sosial yang ada lebih menekankan pada Ikatan Solidaritas Bounded Solidarity dan Nilai Luhur Value Introjection serta Bersifat
Consummatory.
5.4.2. Ditinjau dari Perspektif Gerakan Sosial