7 0
IPS SMPMTs Kelas VIII
ladangnya. Pekerjaan yang paling berat dilakukan di perkebunan nila. Pernah petani-petani di daerah Simpur, Jawa Barat, dipaksa bekerja selama tujuh bulan,
jauh dari desa dan kampung halamannya. Ketika mereka pulang, ternyata sawah ladangnya terlantar.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk cultuur stelsel, dibebaskan dari
pembayaran pajak. Ketentuan ini tentu masuk akal. Tetapi dalam kenyataannya, tidak dihiraukan, petani seringkali masih harus membayar pajak tanah untuk
tanah yang dipakai tanam paksa. Buktinya, pajak-pajak tanah tidak makin turun, tetapi malahan naik terus.
5. Tanaman hasil cultuur stelsel itu diserahkan kepada pemerintah. Jika harganya
lebih besar dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka selisihnya dikembalikan kepada rakyat. Tetapi jangan harap bahwa ketentuan ini dipegang
teguh. Tentu para petani itu kebanyakan buta huruf. Mereka tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Lagi pula, para petani mempercayakan segala
sesuatunya kepada kepala desa dan bupati. Sedangkan di antara pegawai pemerintah itu, banyak pula yang sampai hati mengelabuhi para petani dengan
akibatnya bahwa ketentuan itu tidak dapat dijalankan.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat, misalnya, bencana alam banjir, kekeringan, hama,
dan lain-lain. Ketentuan yang bagus itupun pernah dijalankan. Pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda seringkali melihat panen yang gagal sebagai
kesalahan petani. Jarang yang dapat melihat keadaan yang sebenarnya.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-
kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-
tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan itu, tebu dan nila, adalah yang terpenting. Tebu adalah bahan untuk gula, sedangkan nila bahan untuk mewarnai
kain. Pada bad ke -19 itu pengetahuan kimia tentang bahan pewarna kain belum berkembang, karena itu nila dibutuhkan. Kemudian menyusul kopi, yang merupakan
bahan ekspor yang penting.
Selama tanam paksa, jenis tanaman yang memberi untung banyak ialah kopi dan gula. Karena itu kepada kedua jenis tanaman itu pemerintah memberi perhatian
yang luar biasa. Tanah yang dipakai juga luas. Jumlah petani yang terlibat dalam tanam paksa gula dan kopi adalah besar, laba yang diperoleh juga banyak.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Tetapi
sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran. Rakyat di negeri Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Maklumlah waktu itu
hubungan masih sulit, radio dan hubungan telekomunikasi belum ada, surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Cirebon,
IPS SMPMTs Kelas VIII
7 1
Demak, dan Grobogan lambat laun sampai pula terdengar di negeri Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai-pegawai Belanda yang sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di negeri Belanda terbit dua buah buku yang menentang tanam paksa sehingga semakin
besar kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus. Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang
dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten Kontrak-
kontrak gula ditulis oleh Frans van de Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur-
angsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun
1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah hapus, kecuali kopi di daerah Priangan yang baru dihapuskan pada tahun
1917.
Sumber: Atlas Sejarah Indo. dan Dunia, PT Pembina hal 29
Gambar 5.7 Eduard Douwes
Dekker
Kecakapan Personal dan Sosial
Bagaimana pendapat kelompokmu tentang aturan tanam paksa dan pelaksanaan tanam paksa di lapangan. Tulislah pendapat kelompokmu.
Sumber: Atlas dan lukisan Sejarah Nas Indonesia CV. Baru hal. 138
Gambar 5.8 Daerah Priangan yang subur adalah penghasil kopi dan beras yang baik. Kopi ditanam di
daerah Cianjur dan Priangan Timur
BATAVIA BANTEN
BERAS KOPI
CIREBON
DAERAH PENGHASIL KOPI DAN BERAS DI PRIANGAN
U
7 2
IPS SMPMTs Kelas VIII
5. Pelaksanaan Politik Kolonial Liberal
Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan.
Di negeri Belanda antara tahun 1850-1860 sering terjadi perdebatan tentang untung-ruginya dan baik buruknya tanam paksa. Golongan yang menyetujui tanam
paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappy NHM. Perusahaan NHM ini selama berlakunya
tanam paksa mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil tanam paksa dari Indonesia ke Eropa.
Golongan yang menentang tanam paksa terdiri dari beberapa golongan. Pertama, ialah mereka yang merasa iba mendengar keadaan petani Indonesia yang menderita
akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan, berdasarkan perikemanusiaan. Kebanyakan di antaranya diilhami oleh ajaran agama.
Kedua, ialah golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta. Mereka tidak dapat menerima keadaan di mana pemerintah saja yang memegang
kegiatan ekonomi. Mereka juga menghendaki agar diberi kesempatan untuk berusaha dengan menanam modalnya di Indonesia. Hal demikian baru mungkin dijalankan,
bilamana di Indonesia tidak ada sistem tanam paksa yang disponsori oleh pemerintah. Golongan ini biasa disebut kaum liberal.
Mereka menghendaki agar pemerintah hanya bertindak sebagai pelindung warganya, menyediakan prasarana dan mengatur jalannya hukum, keamanan, dan
ketertiban. Kegiatan ekonomi supaya diserahkan kepada swasta. Pada tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik kolonial liberal yang
sering disebut ”Politik Pintu Terbuka open door policy”. Sejak saat itu pemerintah Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan
modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Periode antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme. Pada waktu itu pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari
pengusaha swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan besar seperti
perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh,
rokok, dan lain-lain.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria dan undang-undang gula.
a. Undang-Undang Agraria Agrarische Wet 1870
Undang-undang ini merupakan sendi dari peraturan hukum agraria kolonial di Indonesia yang berlangsung dari 1870 sampai 1960. Peraturan itu hapus dengan
dikeluarkannya UUPA Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jadi Agrarische Wet itu telah berlangsung selama 90 tahun hampir
mendekati satu abad umurnya. Wet itu tercantum dalam pasal 51 dari Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undang Hindia Belanda.
IPS SMPMTs Kelas VIII
7 3
Menteri jajahan Belanda De Waal, berjasa menciptakan wet ini yang isinya, antara lain sebagai berikut.
Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah. Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah menurut peraturan undang-
undang. Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak
erfpacht yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun, dan seterusnya.
Undang-undang agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua tanah milik penduduk Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Maka pemerintah
Belanda memberi mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang panjang. Sewa-menyewa tanah itu diatur dalam Undang-Undang
Agraria tahun 1870. Undang-undang itu juga dimaksudkan untuk melindungi petani, agar tanahnya tidak lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangan para pengusaha.
Tetapi seringkali hal itu tidak diperhatikan oleh pembesar-pembesar pemerintah.
Dengan dibukanya perkebunan di daerah pedalaman, maka rakyat di desa- desa langsung berhubungan dengan dunia modern. Mereka mulai benar-benar
mengenal artinya uang. Mereka juga mengenal hasil bumi yang diekspor dan barang luar negeri yang diimpor, seperti tekstil. Hal ini tentu membawa kemajuan bagi
petani. Sebaliknya usaha bangsa sendiri banyak yang terdesak, misalnya usaha kerajinan, seperti pertenunan menjadi mati. Di antara pekerja-pekerjanya banyak
yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik. Karena adanya perkebunan- perkebunan itu, Hindia Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan.
b. Undang-Undang Gula Suiker Wet
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkut ke luar
Indonesia, tetapi harus diproses di dalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan
dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi
kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.
Sejak itu Hindia Belanda menjadi negara produsen hasil perkebunan yang
penting. Apalagi sesudah Terusan Suez dibuka, perkebunan tebu menjadi
bertambah luas, dan produksi gula juga meningkat.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-
perkebunan swasta asing di Indonesia
Sumber: Atlas dan lukisan Sejarah Nas Indonesia CV. Baru hal. 143
Gambar 5.9 Anak-anak busung lapar. Tanam paksa menimbulkan
bencana kelaparan, terutama anak-anak yang banyak menderita busung lapar.
7 4
IPS SMPMTs Kelas VIII
seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan
karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan, seperti tambang timah di Bangka dan tambang batu bara di
Umbilin.
Khusus perkebunan di Sumatera Timur yaitu Deli dan Serdang, tenaga kerjanya didatangkan dari Cina di bawah sistem kontrak. Dengan hapusnya sistem
perbudakan, maka sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang paling logis bagi perkebunan-perkebunan Sumatera Timur, untuk memperoleh jaminan bahwa
mereka dapat memperoleh dan menahan pekerja-pekerja untuk beberapa tahun.
Dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut
Koelie Ordonnantie. Koeli Ordonnantie ini, yang mula-mula hanya berlaku untuk Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia Belanda di
luar Jawa, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka menurut kontrak kerja
habis. Di lain pihak juga diadakan peraturan-peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi kekuatan
pada peratuan-peraturan dalam Koeli Ordonnantie, dimasukkan pula peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran, baik
dari pihak majikan maupun dari pihak pekerja. Dalam kenyataan ternyata bahwa ancaman hukuman yang dapat dikenakan terhadap pihak majikan hanya merupakan
peraturan di atas kertas jarang atau tidak pernah dilaksanakan. Dengan demikian ancaman hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran hanya jatuh di atas pundak
pekerja-pekerja perkebunan.
Ancaman hukuman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja
perkebunan yang melanggar ketentuan- ketentuan kontrak kerja kemudian
terkenal sebagai poenale sanctie. Poenale sanctie membuat ketentuan bahwa
pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatera
Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan
kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Lain-lain hukuman dapat
berupa kerja paksa pada pekerja-pekerja umum tanpa pembayaran atau
perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan-ketentuan kontrak kerja.
Sumber: Atlas dan lukisan Sej. Nas Indonesia CV. Baru hal. 141
Gambar 5.10 Kontrak kerja mereka yang tidak punya tanah,
harus bekerja untuk pemerintah. Mereka dipekerjakan jauh dari tempat tinggalnya. Mereka tidak digaji, tidak diberi ongkos jalan,
dan harus mencari makannya sendiri. Sering kali mereka harus bekerja berbulan-bulan lamanya. Selama itu keluarganya hidup
terlantar.