111 Perekonomian Demak berkembang ke arah perdagangan maritim dan
agraria. Ambisi Kerajaan Demak menjadi negara maritim diwujudkan dengan upayanya merebut Malaka dari tangan Portugis, namun upaya ini ternyata
tidak berhasil. Perdagangan antara Demak dengan pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara cukup ramai, Demak berfungsi sebagai pelabuhan transito
penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan memiliki sumber penghasilan pertanian yang cukup besar.
Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518 M, Kerajaan Demak dipimpin oleh Adipati Unus 1518-1521. Ia menjadi Sultan Demak selama tiga tahun.
Kemudian ia digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Trenggana 1521- 1546 melalui perebutan takhta dengan Pangeran Sekar Sedo Lepen. Untuk
memperluas daerah kekuasaannya, Sultan Trenggana menikahkan putra-putrinya, antara lain dinikahkan dengan Pangeran Hadiri dari Kalinyamat Jepara dan
Pangeran Adiwijaya
dari Pajang. Sultan Trenggana berhasil meluaskan kekuasaannya ke daerah pedalaman. Ia berhasil menaklukkan Daha Kediri,
Madiun, dan Pasuruan. Pada saat melancarkan ekspedisi melawan Panarukan, Sultan Trenggana terbunuh. Pada masa Sultan Trenggana, wilayah kekuasaan
Kerajaan Demak sangat luas meliputi Banten, Jayakarta, Cirebon Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.
Wafatnya Sultan Trenggana 1546 menyebabkan kemunduran Kerajaan Demak. Terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Prawato putra Sultan
Trenggana dengan Aria Panangsang keturunan Sekar Sedo Lepen adik Sultan Trenggana. Dalam perebutan kekuasaan itu, Aria Panangsang membunuh
Pangeran Prawoto dan putranya, Pangeran Hadiri. Ratu Kalinyamat dan Aria Pangiri memohon bantuan kepada Adiwijaya di Pajang. Dalam pertempuran
itu, Adiwijaya berhasil membunuh Aria Panangsang. Setelah itu, Adiwijaya memindahkan ibu kota Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun 1568. Peristiwa
ini menjadi akhir dari Kerajaan Demak.
Gambar 4.7 Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Indonesia
Sumber: Ensiklopedi Islam 1, halaman 300
112
5. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada tahun 1568, tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa
Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam
penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Panjawi
. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi
diberi kekuasaan di Pati. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan 1584, putranya yang bernama
Panembahan Senopati Ing Alaga Sutawijaya, menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima tentara Pajang.
Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut Aria Pangiri
menantu Adiwijaya. Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran Banowo
meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten,
sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan
Mataram.
6. Kerajaan Mataram
Gambar 4.8 Wilayah kekuasaan Mataram
Sumber: Chalid Latif, 2000, Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, halaman 19
Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alaga Sutawijaya 1584-1601, pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak
di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan ke
Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram
M A T A R A M
113 daerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi
cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram
melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan.
Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama
Panembahan Seda Ing Krapyak 1601-1613. Pada tahun 1602, Pangeran
Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun
sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya. Pada masa Krapyak ini, Mataram mengadakan kontak pertamanya dengan VOC. Pada tahun 1613
dia mengirim duta kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Kemungkinan Krapyak beranggapan bahwa dia
dan VOC sama-sama memusuhi Surabaya.
Setelah Krapyak meninggal, takhta kerajaan diserahkan kepada anaknya yang bernama Raden
Rangsang yang terkenal dengan gelar Sultan Agung
1613-1645. Dialah raja Mataram terbesar dalam sejarah. Seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk
Madura mengakui kedaulatan Mataram. Pada tahun 1625, ia berhasil menaklukkan Surabaya yang sukar
dikalahkan. Di Jawa Barat, kekuasaan Mataram tertanam di Cirebon, Sumedang, dan Ukur Bandung
sekarang. Cita-citanya untuk mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya tidak berhasil. Banten
yang merupakan saingan utamanya tidak berhasil dikuasai.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram
adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang
didukung oleh hasil bumi yang berupa beras padi. Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan
tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga
menciptakan tradisi Syahadatain dua kalimah syahadat atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram
dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah
Gambar 4.9 Sultan Agung
Sumber: foto-foto.com apahlawan1main.html
114 dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah
kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status
kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil Yogyakarta pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan serangan ke Batavia markas VOC pada tahun 1628 dan 1629
dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa
kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba
lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan
Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara
Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram
kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I 1647-1677. Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh
Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menguasai tanah Jawa yang subur.
Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti,
yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu:
1 Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I. 2
Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi
beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,
Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.