136 Samudera Pasai menggunakan gelar zillu’Illahi fi’al-Alam bayang-bayang
Tuhan di muka bumi, penguasa Mataram di Jawa mengklaim dirinya sebagai Khalifatullah
wakil Allah, Sultan Alauddin Ri ayat Syah dari Aceh menggunakan gelar Sayyidi al-Mukammil Tuanku Yang Sempurna. Sementara itu gelar-
gelar pra-Islam seperti Raja, Dipertuan, Pangeran, Panembahan dan Susuhunan tetap dipertahankan bersamaan dengan munculnya gelar-gelar baru seperti
Sultan ataupun Syah.
Gelar-gelar tersebut bukanlah gelar yang memang diajarkan oleh agama Islam, sebab Islam sendiri menolak sentralitas kekuasaan dan pengidentikan
manusia, raja, atau penguasa dengan Tuhan. Bahkan Islam memandang semua manusia itu pada dasarnya sama sebagai makhluk ciptaan dan hamba Allah,
tidak ada keistimewaan antara satu manusia dengan manusia lainnya, kecuali ketakwaannya. Gelar-gelar yang digunakan oleh para raja yang menunjukkan
legitimasi kekuasaannya tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya Hindu- Buddha dengan budaya Islam. Dalam agama Hindu dikenal konsep
Dewa-Raja
yang memandang bahwa seorang penguasa dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu atau Indra. Begitu pula dalam agama
Buddha dikenal adanya konsep Boddhisatwa yang biasa digunakan para penguasa untuk mengidentikkan dirinya dengan sang Buddha yang tercerahkan
dan dengan sukarela meninggalkan Nirwana untuk membantu pembebasan umat manusia di dunia. Dengan masuknya agama Islam, konsep-konsep ini
kemudian diubah lagi dengan menggunakan simbol-simbol yang bernapaskan Islam untuk membangun legitimasi kekuasaan para raja.
Begitu kuatnya sinkretisme dalam proses penyebaran agama Islam bisa kita lihat pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang proses
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Cerita mengenai Walisongo menjadi bukti begitu kuatnya unsur-unsur magis-religius yang
dikembangkan pada cerita seputar penyebaran Islam. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga dalam kisah-kisahnya begitu banyak unsur mistiknya, bahkan sampai
sekarang orang-orang pantai utara Jawa mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Begitu juga cerita-cerita adanya kiai-kiai sakti yang dapat
salat di Mekkah dalam waktu sekejap, kemudian pulang kembali ke pesantrennya atau kiai yang dapat menghilang, dapat berkhutbah di dua tempat pada waktu
bersamaan. Cerita-cerita semacam ini juga terdapat di daerah luar Jawa.
Tradisi upacara-upacara ritual keagamaan yang dahulu banyak dilakukan pada masa Hindu-Buddha diteruskan pada masa Islam. Tentu saja ritual tersebut
mengalami perubahan isi dengan mengambil konsep-konsep Islam. Sebagai contoh, upacara Pangiwahan di Jawa yang dimaksudkan agar manusia
menjadi wiwoho atau mulia dengan cara melakukan upacara-upacara pada fase-fase kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan
sebagainya.
137
Kegiatan 5.1
Tradisi-tradisi upacara lainnya, misalnya upacara-upacara yang dihubungkan dengan hari-hari bersejarah dalam Islam seperti kelahiran Nabi, Isra Mi raj,
dan sebagainya. Yang lebih terkenal dan banyak dilakukan adalah tradisi memperingati kelahiran Nabi Muhammad sering disebut dengan Maulid atau
Maulud dengan melakukan upacara-upacara seperti tabut di daerah Sumatra atau Sekaten dalam tradisi masyarakat Yogyakarta.
Buatlah suatu tulisan tentang tradisi yang hidup di lingkungan sekitarmu yang menunjukkan adanya percampuran tradisi lokal dengan tradisi Islam.
B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN, KESENIAN, DAN KE- SUSASTRAAN DI KERAJAAN YANG BERCORAK ISLAM DI
INDONESIA
1. Perkembangan Pendidikan di Kerajaan Yang Bercorak Islam
di Indonesia Pendidikan merupakan salah satu
perhatian sentral masyarakat Islam. Apalagi hal ini ditegaskan dalam Al-Qur an yang
menyebutkan bahwa: “menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan
muslimat”
atau “tuntutlah ilmu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”
dan diperkuat pula oleh ucapan Nabi Muhammad saw. yang menyuruh kaum muslimin untuk
mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Dengan demikian, perhatian orang-orang Islam terhadap pendidikan begitu kuat.
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan sangat penting sebagai salah satu upaya dalam proses penyebaran agama Islam. Untuk itu, dikembangkan
suatu bentuk pengajaran yang sangat sederhana dengan sistem halaqah. Pada awalnya, penyelenggaraan pendidikan agama dilaksanakan di masjid, langgar
atau surau. Masjid selain berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan salat juga tempat diselenggarakannya pengajaran agama. Pelajaran yang diberikan
adalah pelajaran membaca Al-Qur an, tata cara peribadatan, akhlak, dan keimanan.
Lembaga-lambaga pendidikan yang dibangun pada masa Islam ini bukanlah lembaga pendidikan yang pertama ada di Indonesia. Lembaga pendidikan
yang dibangun oleh Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga
Kata-kata kunci
• pendidikan • kesenian
• kesusastraan
138 keagamaan dan sosial yang sudah ada sebelumnya pada masa Hindu-Buddha.
Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Buddha menjadi pesantren,
umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, demikian pula
masyarakat Aceh mentransfer lembaga masyarakat Meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Perkembangan penting dari pendidikan pada masa perkembangan Islam adalah lahirnya pendidikan pesantren. Pendidikan yang diselenggarakan di
pesantren jauh lebih mendalam dibandingkan dengan pendidikan yang dilaksanakan di mesjid, langgar, atau surau. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren
disebut santri, sedangkan gurunya biasa disebut Kiai. Materi pelajaran yang diberikan meliputi membaca serta tafsir Al Qur an, fiqih, tauhid, dan akhlak.
Sumber-sumber pelajaran menggunakan kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama sekitar abad ke-7 atau abad ke-8 di Timur Tengah atau sering disebut
dengan Kitab Kuning. Santri memiliki sikap yang sangat hormat kepada guru, dia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh guru. Selama
mengikuti pelajaran di pesantren, santri harus mondok menginap di pesantren. Walaupun ada juga santri yang tidak mondok, biasanya santri tersebut berasal
dari daerah sekitar tempat pesantren itu berada.
Untuk mengikuti pelajaran dari satu tahap materi pelajaran ke materi berikutnya ditentukan oleh guru. Belum ada kurikulum tertulis seperti sekarang.
Metode mengajar yang dikembangkan di pesantren biasanya menggunakan dua metode yaitu sistem Salaf sorogan dan sistem Bandongan. Sistem
salaf sorogan adalah metode pengajaran yang bersifat individual yaitu seorang santri diajar secara langsung oleh kiai, ustad , ataupun santri senior. Sistem
bandongan adalah sistem pengajaran yang bersifat umum dan bersama-sama semacam ceramah umum yang disampaikan oleh seorang ustad ataupun kiai
yang dihadiri oleh semua santri. Lamanya mengikuti pendidikan di pesantren tidak tentu, gurulah yang akan menyatakan seorang santri itu sudah menguasai
ilmu yang diberikannya. Santri yang telah selesai mengikuti pendidikan di pesantren akan menyebarkan ilmu yang ia milikinya kepada masyarakat, dengan
menjadi tokoh agama ataupun mendirikan pesantren di tempat tinggalnya.
Lembaga-lembaga pendidikan semacam pesantren, surau, atau meunasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan yang vital di Indonesia. Pada awal
perkembangan Islam, lembaga ini menjadi pusat penyebaran agama Islam dan wadah untuk mencetak intelektual muslim. Sejak masa awal, bahkan
sampai sekarang lembaga pendidikan pesantren dan sejenisnya tetap dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga yang membentuk moral dan intelektual muslim.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, khususnya Jawa, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren.
139 Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam
dikendalikan. Pada masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali Jawa yang menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan luar Jawa. Contohnya, Sunan
Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa, Kalimantan, Maluku, Lombok, dan sekitarnya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di Jawa,
pesantren memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan dan pengambilan berbagai kebijakan di keraton-keraton. Misalnya, berdirinya kerajaan Islam Demak
adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dinamika masyarakat Islam pada masa awal dapat ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar perdagangan, dan keraton.
Pelaksanaan ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Nusantara lebih banyak mengikuti mazhab Syafi’i dibanding dengan tiga ma hab lainnya
yaitu mazhab Hanafi, Hambali dan Maliki. Penggunaan ma hab Syafii banyak dilakukan karena ma hab ini mudah beradaptasi dengan adat istiadat setempat.
Di Indonesia, beberapa pelaksanaan syariat Islam banyak bercampur dengan adat istiadat masyarakat setempat. Contoh kerajaan Islam yang memeluk
ma hab Syafi i di antaranya Kerajaan Samudera Pasai yang telah menganut ma hab Syafi i sejak raja Marah Silu atau Sultan Malikul Saleh. Yang paling
menarik adalah perkembangan ma hab Syafi i di Kerajaan Malaka yang sudah dianut sejak masa kekuasaan rajanya yang pertama yaitu Parameswara.
Perluasan agama Islam ma hab Syafi i berbarengan dengan perluasan kekuasaan dan wilayah sultan Malaka. Sampai akhir abad ke-15, ma hab Syafii telah
menguasai daerah pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung Sumatra.
Selain ma hab Syafi i, paham Syi ah juga berkembang pesat di Indonesia. Bukti berkembangnya paham Syi ah di Indonesia dapat dilihat dari berkembangnya
beberapa tradisi Syi ah yang ada di Indonesia. Misalnya peringatan tanggal 10 Muharram sebagai peringatan kaum Syi ah atas meninggalnya Husain,
putra Ali Bin Abi Thalib. Peringatan 10 Muharam sering diwarnai dengan pembuatan hidangan khas yang disebut bubur sura. Nama sura berasal dari
kata Asjura dalam bahasa Iran yang berarti tanggal 10 Muharam. Sisa-sisa pengaruh paham Syi ah terlihat di Aceh dari istilah “bulan Hasan-Husein”
untuk menyebut bulan Muharam.
Perkembangan penting lainnya dari kehidupan keagamaan pada masa kerajaan-kerajaan Islam adalah perkembangan tasawuf dan tarikat. Kata
tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol bulu kambing. Istilah ini
timbul karena ahli tasawuf biasanya memakai baju jubah dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari orang-orang
yang sederhana, tulus, dan taat beribadah kepada Allah. Orang-orang yang menjalankan kehidupan tasawuf disebut sufi. Tasawuf mengembangkan suatu
ajaran dan keyakinan dalam memilih jalan hidup secara uhud atau sederhana,