173 Ada beberapa hal yang menyebabkan VOC mengalami kebangkrutan,
di antaranya sebagai berikut. a.
Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Barang-barang yang diperoleh VOC dari daerah-daerah dan penguasa yang ditaklukkannya,
banyak yang langsung dijual atau diperdagangkan kepada para pedagang asing dan keuntungannya pun masuk ke saku pribadi. Oleh karena itu,
kongsi dagang tersebut mengalami kerugian yang terus-menerus;
b. Di Indonesia, VOC memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, sehingga
dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya dan pengawasan yang sangat besar dan ketat;
c. VOC semakin lemah dalam keuangan karena banyak dikeluarkan untuk
biaya perang.
Untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan tersebut, VOC segera meminta bantuan berupa pinjaman uang kepada pemerintah Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, VOC tidak memiliki pemasukan, sehingga utang VOC kepada pemerintah Belanda semakin menumpuk dan tidak mungkin
sanggup untuk membayarnya. Setelah melihat ketidakberesan dalam tubuh kongsi dagang tersebut, Pemerintah Republik Bataaf segera memberikan
keputusan untuk membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Siapakah pemerintahan Republik Bataaf itu?
2. Prancis
Sesudah VOC dibubarkan, pemerintahan di Nusantara langsung berada di bawah pemerintahan Belanda. Namun semenjak tahun 1806, ketika Raja
Louis Napoleon diangkat menjadi raja Belanda, sehingga Indonesia secara
tidak langsung telah berada di bawah kekuasaan Prancis. Di Eropa, musuh bebuyutan Prancis adalah Inggris. Prancis di bawah Napoleon Bonaparte
masih belum mampu menaklukkan Inggris. Untuk itu, kehadiran Inggris di Asia Tenggara telah mengancam kedudukan Belanda di Indonesia yang telah
menjadi daerah kekuasaan Prancis.
Dalam menghadapi masalah dengan Inggris, pada tahun 1808, Louis Napoleon menunjuk Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal
di Indonesia. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris. Untuk keperluan itu, Daendels membangun
jalan raya Grote Postweg dari Anyer sampai Panarukan yang panjangnya
1.100 km. Dengan jalan tersebut, pasukan Belanda akan dapat bergerak cepat. Dalam pembangunan jalan tersebut, pemerintahan Hindia-Belanda di
bawah komando Daendels menggunakan tenaga kerja dari bangsa Indonesia yang dikerahkan lewat para penguasa pribumi. Dikatakan tidak kurang 1000
174 orang pekerja perhari harus disediakan para bupati di setiap daerah untuk
dipekerjakan sebagai tenaga rodi untuk menyukseskan pelaksanaan pembangunan jalan tersebut. Selain membangun jalan raya, Daendels juga mendirikan pabrik
senjata dan mesiu, serta membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon.
Gambar 6.14 Herman William Daendels; pada masa pemerintahannya,
Rakyat Indonesia banyak yang dijadikan sebagai tenaga rodi
Sumber: perso.wanadoo.fr...amirauxdaendels.htm
Di bidang pemerintahan, Daendels mengubah sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan Eropa. Dalam pelaksanaannya, pulau Jawa dibagi
menjadi sembilan wilayah yang disebut perfektur. Setiap perfektur dikepalai oleh seorang residen, dan setiap residen membawahi beberapa bupati. Para
bupati diberi gaji tetap dan tidak diperkenankan meminta upeti kepada rakyat. Dengan diterapkan sistem pemerintahan yang seperti itu maka wibawa para
bupati menjadi merosot di mata rakyat. Sementara itu, kekuasaan raja masih diakui, tetapi tetap harus tunduk terhadap semua peraturan yang dibuat pemerintah
Hindia-Belanda.
Gambar 6.15 Peta jalan pos yang dibangun oleh Daendels
Sumber: Chalid Latif, 2000, Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, halaman 29
175 Sistem pemerintahan Daendels diterapkan sangat keras dan disiplin, serta
cenderung bertangan besi. Hal ini menyebabkan Daendels tidak disukai oleh berbagai pihak, baik oleh aparat pemerintah yang membantunya maupun oleh
penguasa dan rakyat pribumi. Hubungan antara pribumi dengan Daendels menjadi buruk. Rencana perlawanan yang menentang pemerintahan Daendels
di berbagai daerah mulai bermunculan. Untuk mempertahankan kedudukannya, Daendels membutuhkan banyak uang. Dengan sikap berani, Daendels menjual
tanah negara kepada pihak swasta asing. Dalam transaksi jual beli tersebut disepakati bahwa selain menguasai tanah, si pembeli juga menguasai penduduk
yang tinggal di tanah tersebut. Perilaku Daendels yang demikian itu telah menyebabkan ia dipanggil dan kemudian kedudukannya di Indonesia digantikan
oleh Gubernur Jenderal Janssens. Dalam menjalankan tugasnya, Janssens ternyata kurang cakap dan lemah. Hal itu terbukti, dengan adanya Perjanjian
Tuntang, yang isinya bahwa kekuasaan Belanda atas Indonesia diserahkan oleh Janssens kepada Inggris.
3. Inggris
Sebelum Perjanjian Tuntang 1811, sebenarnya Inggris telah datang ke Indonesia. Perhatian atas Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F. Drake
singgah di Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya, ekspedisi lainnya dikirimkan pada akhir abad ke-16 melalui kongsi dagang yang diberi nama East Indies
Company
EIC. EIC ini mengemban misi untuk mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Pada tahun 1602, armada Inggris sampai di Banten dan
berhasil mendirikan loji di sana. Pada tahun 1604, Inggris mengadakan perdagangan dengan Ambon dan Banda, tahun 1609 mendirikan pos di Sukadana
Kalimantan, tahun 1613 berdagang dengan Makassar, dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia. Dalam usaha perdagangan itu, Inggris mendapat
perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir Inggris dari Indonesia. Setelah terjadi peristiwa Ambon Massacre,
EIC mengundurkan diri dari Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei
sampai memperoleh kesuksesan. Inggris kembali berkuasa di Indonesia melalui keberhasilannya memenangkan perjanjian Tuntang pada tahun 1811. Selama
lima tahun 1811-1816, Inggris memegang pemerintahan dan kekuasaannya di Indonesia.
Indonesia mulai tahun 1811 berada di bawah kekuasaan Inggris. Inggris menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal
di Indonesia. Beberapa kebijakan Raffles yang dilakukan di Indonesia antara lain sebagai berikut.