Perkembangan Pendidikan di Kerajaan Yang Bercorak Islam
139 Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam
dikendalikan. Pada masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali Jawa yang menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan luar Jawa. Contohnya, Sunan
Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa, Kalimantan, Maluku, Lombok, dan sekitarnya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di Jawa,
pesantren memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan dan pengambilan berbagai kebijakan di keraton-keraton. Misalnya, berdirinya kerajaan Islam Demak
adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dinamika masyarakat Islam pada masa awal dapat ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar perdagangan, dan keraton.
Pelaksanaan ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Nusantara lebih banyak mengikuti mazhab Syafi’i dibanding dengan tiga ma hab lainnya
yaitu mazhab Hanafi, Hambali dan Maliki. Penggunaan ma hab Syafii banyak dilakukan karena ma hab ini mudah beradaptasi dengan adat istiadat setempat.
Di Indonesia, beberapa pelaksanaan syariat Islam banyak bercampur dengan adat istiadat masyarakat setempat. Contoh kerajaan Islam yang memeluk
ma hab Syafi i di antaranya Kerajaan Samudera Pasai yang telah menganut ma hab Syafi i sejak raja Marah Silu atau Sultan Malikul Saleh. Yang paling
menarik adalah perkembangan ma hab Syafi i di Kerajaan Malaka yang sudah dianut sejak masa kekuasaan rajanya yang pertama yaitu Parameswara.
Perluasan agama Islam ma hab Syafi i berbarengan dengan perluasan kekuasaan dan wilayah sultan Malaka. Sampai akhir abad ke-15, ma hab Syafii telah
menguasai daerah pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung Sumatra.
Selain ma hab Syafi i, paham Syi ah juga berkembang pesat di Indonesia. Bukti berkembangnya paham Syi ah di Indonesia dapat dilihat dari berkembangnya
beberapa tradisi Syi ah yang ada di Indonesia. Misalnya peringatan tanggal 10 Muharram sebagai peringatan kaum Syi ah atas meninggalnya Husain,
putra Ali Bin Abi Thalib. Peringatan 10 Muharam sering diwarnai dengan pembuatan hidangan khas yang disebut bubur sura. Nama sura berasal dari
kata Asjura dalam bahasa Iran yang berarti tanggal 10 Muharam. Sisa-sisa pengaruh paham Syi ah terlihat di Aceh dari istilah “bulan Hasan-Husein”
untuk menyebut bulan Muharam.
Perkembangan penting lainnya dari kehidupan keagamaan pada masa kerajaan-kerajaan Islam adalah perkembangan tasawuf dan tarikat. Kata
tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol bulu kambing. Istilah ini
timbul karena ahli tasawuf biasanya memakai baju jubah dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari orang-orang
yang sederhana, tulus, dan taat beribadah kepada Allah. Orang-orang yang menjalankan kehidupan tasawuf disebut sufi. Tasawuf mengembangkan suatu
ajaran dan keyakinan dalam memilih jalan hidup secara uhud atau sederhana,
140 menjauhkan diri dari perhiasan dunia dan melaksanakan intensitas beribadah
untuk mencari rida atau ampunan Allah. Tasawuf merupakan fenomena sosial dan keagamaan yang bercorak Islam.
Unsur-unsur mistisisme yang tampaknya bukan asli dari ajaran Islam tetapi merupakan bentuk sinkretisme dengan budaya lokal menjadikan tasawuf mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tasawuf menjadi salah satu cara untuk menarik masyarakat agar masuk ke dalam agama Islam. Hal
ini bisa kita perhatikan dari begitu pesatnya perkembangan ajaran tasawuf di Indonesia. Kedatangan ahli tasawuf ke Indonesia diperkirakan sejak abad
ke-13, yaitu masa berkembangnya dan tersebarnya ahli tasawuf dari Persia dan India. Kedatangan para ahli tasawuf ini kemudian diikuti dengan proses
penyebaran tasawuf dan diterimanya tasawuf oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu bagian dari ajaran Islam.
Pada abad XVI-XVII di Kerajaan Aceh muncul beberapa ahli tasawuf terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin
ar-Raniri, Syekh Abdurrauf dari Singkel, dan sebagainya. Di Jawa pada
sekitar abad XVI-XVII di antara Walisongo juga ada yang mengajarkan tasawuf, seperti Syekh Siti Jenar, Sunan Bonang, Sunan Panggung, Sunan
Kudus, dan sebagainya.
Berkaitan erat dengan tasawuf adalah tarekat yang dianggap sebagai suatu bentuk atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di Indonesia,
tarekat-tarekat yang mempunyai pengaruh ialah tarekat Qadariah, Naqsyabandiah, Sammaniah, Qusyasyiah, Syattariah, Say iliah, Khalwatiah, dan Tianiah. Ham ah
Fansuri dan pembesar-pembesar Kerajaan Aceh mendapat pengaruh tarekat Qadariah. Di Banten Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir juga mendapat
pengaruh aliran Qadariah.