Tahap pernikahan PERKEMBANGAN TRADISI ISLAM DI BERBAGAI DAERAH ABAD XV - XVIII
135 Namun demikian, tradisi iarah tidak hanya dilakukan pas menjelang
atau sewaktu Hari Raya Idul Fitri, pada hari-hari tertentu orang-orang ada yang melakukan nandran dengan maksud atau tujuan lain, seperti meminta
kekuatan gaib pada makam keramat, meminta berkah, rejeki, atau kekayaan. Tradisi ini tentu bukan ajaran Islam tetapi tradisi lokal yang sudah dipengaruhi
Hindu-Buddha dan akhirnya Islam, sehingga tradisi nandran dilengkapi, umpamanya dengan membakar kemenyan, dupa, menabur bunga-bungaan, air, dan dibacakan
ayat-ayat Al-Qur an. Dari tradisi iarah seperti itu sangat kental dengan perpaduan budaya lokal, Hindu-Buddha, dan Islam.
Masuknya pengaruh agama Islam pada masyarakat Indonesia melalui proses sinkretisme yang memadukan antara budaya-budaya asli, budaya Hindu-
Buddha dan budaya Islam itu sendiri. Apabila kita melihat budaya Islam yang berkembang pada masyarakat Indonesia memiliki banyak perbedaan dengan
budaya Islam yang berkembang di daerah kelahirannya yaitu di Ja irah Arab. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi suatu pembauran antara budaya lama
yang telah berkembang di masyarakat dengan budaya Islam sebagai budaya baru yang kemudian masuk dan lebih mewarnai. Muncullah pada akhirnya
tradisi-tradisi yang memiliki nuansa keislaman, akan tetapi kalau kita rujuk lebih jauh tradisi tersebut bukanlah tradisi yang dikembangkan oleh agama
Islam itu sendiri dalam pengertian tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Tradisi ini bisa kita lihat dalam struktur genealogis raja-raja di kerajaan- kerajaan Islam di Indonesia yang senantiasa selalu menempatkan dirinya sebagai
keturunan Nabi Muhammad, bahkan mengaitkannya dengan Nabi Adam. Dalam silsilah genealogis raja-raja Jawa misalnya, selalu mengklaim dirinya keturunan
para Dewa pengaruh Hinduisme yang memiliki akar genealogis dengan konsep nur-roso
dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang kemudian melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai nenek
moyang raja-raja Jawa. Konsep nur-roso dan nur-cahyo ini sangat berkaitan dengan konsep agama Islam yang juga mengenal adanya konsep nur-Muhammad
yang telah ada jauh sebelum jasadnya sendiri dilahirkan. Demikian pula kita bisa lihat silsilah yang dibuat oleh raja-raja Banten, Demak ataupun Cirebon
yang selalu mengaitkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Demikian pula dalam hal legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja. Agar rakyat mau tunduk pada perintah dan kekuasaan raja, dibuatlah
suatu simbol dan konsep-konsep yang menunjukkan kekuasaan raja. Simbol dan konsep-konsep tersebut meskipun bernapaskan Islam akan tetapi kalau
kita rujuk lebih jauh lagi, tampaknya merupakan pengaruh dari kebudayaan sebelumnya yaitu budaya Hindu-Buddha. Di antara raja-raja Islam banyak
yang menggunakan gelar-gelar yang menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia terpilih atau bahkan wakil Allah yang berhak untuk memerintah dan membuat
tunduk semua manusia di muka bumi. Misalnya Raja Merah Silu dari Kerajaan
136 Samudera Pasai menggunakan gelar zillu’Illahi fi’al-Alam bayang-bayang
Tuhan di muka bumi, penguasa Mataram di Jawa mengklaim dirinya sebagai Khalifatullah
wakil Allah, Sultan Alauddin Ri ayat Syah dari Aceh menggunakan gelar Sayyidi al-Mukammil Tuanku Yang Sempurna. Sementara itu gelar-
gelar pra-Islam seperti Raja, Dipertuan, Pangeran, Panembahan dan Susuhunan tetap dipertahankan bersamaan dengan munculnya gelar-gelar baru seperti
Sultan ataupun Syah.
Gelar-gelar tersebut bukanlah gelar yang memang diajarkan oleh agama Islam, sebab Islam sendiri menolak sentralitas kekuasaan dan pengidentikan
manusia, raja, atau penguasa dengan Tuhan. Bahkan Islam memandang semua manusia itu pada dasarnya sama sebagai makhluk ciptaan dan hamba Allah,
tidak ada keistimewaan antara satu manusia dengan manusia lainnya, kecuali ketakwaannya. Gelar-gelar yang digunakan oleh para raja yang menunjukkan
legitimasi kekuasaannya tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya Hindu- Buddha dengan budaya Islam. Dalam agama Hindu dikenal konsep
Dewa-Raja
yang memandang bahwa seorang penguasa dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu atau Indra. Begitu pula dalam agama
Buddha dikenal adanya konsep Boddhisatwa yang biasa digunakan para penguasa untuk mengidentikkan dirinya dengan sang Buddha yang tercerahkan
dan dengan sukarela meninggalkan Nirwana untuk membantu pembebasan umat manusia di dunia. Dengan masuknya agama Islam, konsep-konsep ini
kemudian diubah lagi dengan menggunakan simbol-simbol yang bernapaskan Islam untuk membangun legitimasi kekuasaan para raja.
Begitu kuatnya sinkretisme dalam proses penyebaran agama Islam bisa kita lihat pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang proses
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Cerita mengenai Walisongo menjadi bukti begitu kuatnya unsur-unsur magis-religius yang
dikembangkan pada cerita seputar penyebaran Islam. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga dalam kisah-kisahnya begitu banyak unsur mistiknya, bahkan sampai
sekarang orang-orang pantai utara Jawa mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Begitu juga cerita-cerita adanya kiai-kiai sakti yang dapat
salat di Mekkah dalam waktu sekejap, kemudian pulang kembali ke pesantrennya atau kiai yang dapat menghilang, dapat berkhutbah di dua tempat pada waktu
bersamaan. Cerita-cerita semacam ini juga terdapat di daerah luar Jawa.
Tradisi upacara-upacara ritual keagamaan yang dahulu banyak dilakukan pada masa Hindu-Buddha diteruskan pada masa Islam. Tentu saja ritual tersebut
mengalami perubahan isi dengan mengambil konsep-konsep Islam. Sebagai contoh, upacara Pangiwahan di Jawa yang dimaksudkan agar manusia
menjadi wiwoho atau mulia dengan cara melakukan upacara-upacara pada fase-fase kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan
sebagainya.