Perkembangan kesenian di Kerajaan yang bercorak Islam di
142 Masjid yang memiliki bentuk atap bersusun kemudian menjadi bentuk
masjid yang memiliki kekhasan tersendiri dalam perkembangan sejarah Islam di Indonesia. Bangunan masjid beratap susun memiliki denah yang berbentuk
bujur sangkar yang biasanya ditambah dengan serambi di depan atau di samping. Fondasinya kuat dan agak tinggi dan di bagian depan atau samping terdapat
kolam. Nampaknya gaya arsitektur Masjid Agung Demak selalu dijadikan contoh bagi pembangunan masjid-masjid yang beratap susun lainnya di Jawa.
Hal ini terlihat dari gaya arsitektur masjid-masjid di Jawa yang umumnya sama dengan arsitektur masjid Demak sebagai bangunan masjid tertua di
Pulau Jawa. Hal ini terlihat jelas pada bangunan masjid yang dibangun oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Banten.
Beberapa masjid kuno yang memiliki atap bertingkat, yaitu sebagai berikut. a.
Masjid yang beratap dua tingkat , seperti Masjid Agung Cirebon yang dibangun pada abad ke-16, Masjid Katangka di Sulawesi Selatan yang
dibangun pada abad ke-17, Masjid Angke, Tambora, dan Marunda di Jakarta yang dibangun sekitar abad ke-18.
b. Masjid yang beratap tiga tingkat,, seperti Masjid Agung Demak di Jawa
Tengah dan Masjid Baiturrahman di Aceh. c.
Masjid yang beratap lima tingkat, seperti Masjid Agung Banten.
Gambar 5.4 Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Indonesia
Sumber: Ensiklopedi Islam 1, halaman 300
Seni kaligrafi merupakan perkembangan dari seni ukir dan seni pahat. Di Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan beberapa keraton lain, terdapat suatu
ukiran kayu komposisi huruf-huruf Arab, yang menggambarkan suatu tokoh atau binatang.
143
Gambar 5.5 Seni kaligrafi
Sumber: Soekmono Jilid 3, halaman 87
Seni musik merupakan salah satu bidang kesenian yang tidak luput dari pengaruh budaya Islam. Hal ini dapat kita lihat dari munculnya kesenian musik
seperti terbangan, qasidah, gambus, yang berkembang di daerah Jawa dan Sumatra. Jelas sekali bahwa jenis-jenis musik yang disebutkan di atas tidak
pernah dikenal sebelumnya pada masa pra-Islam. Jadi artinya jenis-jenis musik tersebut lahir sebagai suatu proses yang diakibatkan oleh penyebaran Islam
di Indonesia khususnya di pulau Jawa dan Sumatra. Satu hal yang menarik bahwa terjadi pula semacam bentuk kesenian gabungan antara kesenian tradisional
pribumi dengan Islam. Hal ini dapat kita lihat dari seni tembang terutama dalam jenis Laras Madya yang meskipun menggunakan teks-teks Jawa tetapi
berisi shalawatan atau semacam puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw.
Bidang seni lainnya yang berkembang pada masa Islam adalah seni tari. Beberapa contoh seni tari yang dipengaruhi oleh budaya Islam di antaranya
adalah Tari Srandul, Kuntulan, Emprak, serta Seudati. Di beberapa daerah terdapat seni tari yang diiringi dengan pembacaan shalawat dan bacaaan lainnya
dari Al-Qur an, seperti permainan debus dan Seudati Aceh. Permainan debus berkembang di bekas pusat kerajaan Islam seperti Banten, Minangkabau,
Aceh, dan sebagainya.
Satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah peranan kesenian pertunjukan wayang dalam proses penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Riwayat-
riwayat menceritakan bagaimana salah seorang walisongo, yaitu Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai satu bentuk hiburan yang telah lama berkembang
dan digemari masyarakat, kemudian dijadikan media sarana dalam proses penyebaran Islam. Sunan Kalijaga memiliki kemahiran dalam memainkan
pertunjukan wayang yang diiringi dengan gamelan, yaitu suatu perangkat bunyi-
144 bunyian yang terdiri dari kuningan dan kayu, gendang, suling, dan rebab.
Sebagai upah dari pertunjukan wayang yang diberikan oleh Sunan Kalijaga maka dia meminta kepada para penonton tersebut untuk mengucapkan dua
kalimah syahadat. Pengucapan dua kalimah syahadat sering dipahami sebagai sebuah pintu masuk bagi siapa saja yang akan memeluk Islam. Dengan demikian,
melalui media wayang ini, Sunan Kalijaga dengan mudah dapat menarik orang untuk menjadi pemeluk agama Islam.
Gambar 5.6 Tari Seudati
Sumber: www.wikipedia.com
Di sisi lain masuknya pengaruh agama Islam merubah tradisi seni wayang itu sendiri terutama yang berkaitan dengan lakon atau cerita yang ditampilkan.
Sistem kepercayaan Islam tidak mengenal Trimurti dan sistem dewa-dewa. Kemudian para wali mengubah sistem hierarki kedewaan tersebut dengan
mengalihkan cerita bahwa dewa-dewa tersebut ditempatkan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan bukan sebagai Tuhan. Pada akhirnya tersusunlah cerita-
cerita baru yang bernapaskan keislaman seperti Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan lain-lain. Selain itu juga disusun suatu silsilah baru tokoh-tokoh wayang
yang sama sekali berlainan dengan silsilah Hindu asli.